Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Melepas Ubi Sempurna

Penelitian yang menelan hampir 250 juta. Percobaan percobaan penyilangan dilakukan. (ilt)

1 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA tiga perkara serius yang dihadapi dunia ubi jalar. "Produktivitas, hama cylas, dan penyakit kudis," kata Bambang Guritno, kepala Pusat Penelitian Tanaman Ubi-Ubian, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Di lembaga itu, bulan lalu, ketiga masalah tadi dijawab dengan penemuan 27 klona baru ubi jalar, hasil penelitian dan penyilangan sejak tiga tahun silam. Seluruh percobaan penyilangan, sebetulnya, menemukan 127 klona. Tetapi, "Setelah diseleksi di lokasi percobaan Malang dan Lampung, 27 itulah yang dianggap benar-benar lulus," ujar Nur Basuki. Ia, di samping Bambang, tergabun,, dalam tim lima peneliti yang menilik ubi-ubian ini. Dari 27 klona itu, tampil satu andalan dalam produktivitas, dengan nomor seleksi 961. Ini hasil persilangan klona CI 444-2/14 koleksi laboratorium pusat penelitian itu dengan klona "Penduduk" - jenis yang paling banyak ditanam para petani. Dalam pengujian selama dua kali panen, 96-1 mempersembahkan umbi 60 ton/ha - fantastis bila dibandingkan dengan hasil rata-rata petani ubi jalar konvensional yang 7,4 ton/ha. Di samping bobot ekstra itu, 96-1 juga menghemat waktu. Ia bisa dipanen setelah 120 hari tanam. Ubi biasa membutuhkan 180 hari. Maka, "Dalam satuan luas dan satuan waktu, klona baru ini jelas menguntungkan," tutur Nur Basuki, sarjana pertanian Unbraw, seperti halnya Bambang. Penyilangan dilakukan dengan mengawinkan bunga. Biji yang lahir dari perkawinan inilah yang menghasilkan klona baru. Kemudian dilakukan perbanyakan melalui tangkai tanaman, seperti yang lazim ditempuh para petani. Ke-27 klona baru tadi, yang sudah dinilai stabil, merupakan hasil persilangan rujuh ubi jalar biasa dengan lima ubi jalar koleksi laboratorium. Dalam ketahanan terhadap hama cylas muncul klona dengan nomor seleksi 46-5, 47-1, dan 47-2. Dari hasil uji lab, ketiga klona baru itu ditemukan menyimpan kandungan ipomoea maron dalam kadar tinggi. Kandungan ini berupa persenyawaan yang tidak disukai hama cylas. Ketika ditanam di lokasi percobaan Lampung, 24 klona diserang hama, yang tiga itu kebal. Terhadap penyakit kudis, ke-27 klona itu ternyata tahan. YANG menonjol juga dari klona baru ini ialah kadar pati yang tinggi. Berkisar antara 21% dan 27% berat basah, di atas kadar pati ubi jalar kampung, yang 18% sampai 24% berat basah. Artinya, klona baru ini bisa ditawarkan sebagai tanaman pengganti beras, juga sebagai bahan baku etanol, yang kini sedang dikembangkan BPPT. Lembaga terakhir ini memang ikut bekerja sama dalam penelitian ubi jalar itu. Mengapa percobaan dilakukan di Malang dan Lampung? "Tempat-tempat itu mewakili dua keadaan tanah di Indonesia," sahut Wani Hadi Utomo, 34, doktor tanah dari Universitas Adelaide, Australia. Tanah di sekitar Malang, dengan jenis aluvial dan merupakan endapan asal sungai, khas jenis tanah yang terdapat diseluruh Jawa. Lampung mewakili karakter tanah luar Jawa, dengan jenis podzolik merah-kuning, berkadar fosfat rendah, keasaman tinggi, dan mengandung aluminium yang peka erosi. Iklim juga menentukan. Lampung mencatat 90% hujan, hanya dua bulan kering dalam setahun. Sedang di Jawa, musim kering dan hujan sama-sama enam bulan. Jadi, "Kedua lokasi percobaan itu sekaligus mewakili ekosistem basah dan ekosistem kering," kata Wani menambahkan. Ternyata, ke-27 klona itu mampu berproduksi stabil di dua lahan dengan iklim dan jenis tanah yang berbeda. Penelitian ini menghabiskan Rp 200 juta dana bantuan International Development Research Centre (IDRC), lembaga penelitlan yang berpusat di Kanada. Juga dana Banpres yang dalam dua tahun terakhir mencapai Rp 27,5 juta. Dalam hal teknis, lembaga penelitian Unbraw bekerja sama dengan Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. Akhir tahun ini, klona baru tadi dilepas untuk para petani. Juga ditanam secara khusus di kebun BPPT di Lampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus