PERANG Arab-Israel bisa jadi bakal memasuki babak yang lebih kisruh. Coba. Menurut sebuah teori mutakhir, orang Yahudi sebetulnya tidak harus menempati negara Israel yang sekarang. Dengan kata lain, Shimon Peres dan rekan sebangsanya itu salah kapling. Dan kesalahan ini sudah berlangsung ribuan tahun. Demikianlah kesimpulan yang ditarik Prof. Kamal Salibi, sejarawan pada Universitas Amerika di Beirut, dalam bukunya yang menggemparkan, The Bible Came from Arabia. Di Jerman Barat, tempat buku itu diterbitkan oleh majalah Der Spiegel, perbantahan segera bangkitdl kalangan akademisi. Kamal, Kristen Libanon berusia 55 tahun itu, tidak membantah akar sejarah Yahudi di Palestina pada masa Yesus. Bahkan ia tidak menyangkal kehadiran umat Nabi Musa itu dl tempatnya yang sekarang pada zaman Perjanjian Lama. Tetapi di sini awal kontroversi itu--Perjanjian Lama, kata Kamal, "Berhubungan dengan cerita yang bermain di sekitar perbukitan pantai yang subur di bagian barat Arab - yang kini dikenal sebagai Provinsi Asir dan Hejaz Selatan di bawah Saudi." Di tempat itulah, menurut Kamal, Daud dan Sulaiman mendirikan kerajaannya. Di situ pula asal mula Yudaisme, serta agama Kristen dan Islam. Bila ditarik lebih jauh, Kamal tampaknya ingin mengatakan bahwa sekali waktu Nabi Musa itu pernah menjadi penduduk Arab. Repotnya, Kamal Salibi tidak bisa dipandang enteng. "Ia mempertaruhkan reputasinya yang tangguh dalam menampilkan gagasan eksplosif ini," tulis Jim Muir dari Times. Profesor ini sudah mengarang sejumlah buku sejarah tentang Libanon, Syria, dan Arab, yang sampai kini dihargai tinggi. Dalam menyuguhkan teori "salah kapling" ini pun, ia didukung oleh setumpuk data geografis dan linguistik. Bermula dari ketidakpuasannya menghadapi sumber sejarah Arab Purba yang sangat terbatas, Kamal berpaling mempelajari segi linguistik dan nama-nama tempat di Jazirah yang dltelitlnya itu. Kebetulan, pada 1977, Arab Saudi menerbitkan semacam daftar yang memuat ribuan nama tempat di kerajaan itu. Ternyata, hampir semua nama tempat di dalam Alkitab berpusat di kawasan dengan pan jang 600 km dan lebar 200 km, di Provinsi Asir dan Hejaz Selatan yang sekarang. "Semua koordinat tempat yang dinukilkan di dalam Alkitab Ibrani bisa dilacak di kawasan ini," tulis Kamal. Untuk menguji teorinya, Kamal memang menggunakan naskah asli Perjanjian Lama yang - menurut dia banyak disalahtafsirkan para ahli yang kemudian. Suatu contoh ialah MSRYM di dalam naskah asli, yang selama ini ditafsirkan sebagai "Mesir". Menurut Kamal, MSRYM itu adalah kawasan di sekitar Kampung Misrima dan Al-Misr, di selatan Asir. Jadi, di Misrima dan Al-Misr itulah dulu umat Israel diperbudak, bukan di Mesir. Dari situ pula Musan pemimpin umat ini ke padang gurun, menuju "tanah yang dijanjikan". HYRDN, yang di dalam tafsir konvensional dikaitkan dengan "Sungai Yordan", menurut Kamal, salah kaprah. HYRDN itu berarti pegunungan, dan menggambarkan kawasan yang mendominasi Asir, memanjang paralel ke Laut Merah, dari Hejaz Selatan ke Pegunungan Yaman. Bagi yang tidak sependapat dengan teorinya, Kamal meminta referensi spesifik Alkitab yang membuktikan pertautan nama Yordan sebagai sebuah sungai. Kota Daud dengan sendirinya bukanlah Yerusalem, seperti yang dipercayai selama ini. Kota Suci itu, menurut Kamal, terletak di daerah pegunungan yang terlindung, sekitar 80 km arah ke selatan, di tempat yang kini memakai nama Qa'qeat Sian - alias Bukit Sion. Juga istilah yang berkali-kali muncul dalam Alkitab, Tehom, yang selalu diartikan "yang dalam", menurut Kamal, sesungguhnya menunjuk kepada Tihama, pantai gurun sepanjang tepian Laut Merah. Bisa dimaklumi, bila penemuan Kamal ini merisaukan banyak pihak. Pemerintah Arab Saudi, misalnya, tentulah tidak bergirang hati bila ternyata "tanah yang dijanjikan" itu hanya beberapa kilometer di selatan Kota Mekkah. Yang jelas, sebuah peta baru kini muncul, dan menyangkut silang sengketa yang sudah berumur ribuan tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini