LIMA hari terakhir bulan Agustus diisi oleh kegiatan ilmiah yang menyalanyala di dua kota: Jakarta dan Yogya. Di kedua pusat perguruan tinggi tertua di Indonesia itu berlangsung dua seminar tentang tema yang sama, yaltu energl matahan. Keduanya disponsori oleh, antara lain, UNESCO - lem6aga pendidikan, ilmu, dan kebudayaan PBB. Dan keduanya dihadiri oleh "pawang-pawang matahari" andalan, baik domestik maupun mancanegara, paling tidak dalam ukuran ASEAN. Di Jakarta, panitia seminar ditangani Jurusan Fisika FMIPA UI. Dilangsungkan 27 s/d 30 Agustus, Konperensi dan Loka Karya Regional tentang Fisiha Energi dan Pendidikan Fisika ini dihadiri sekitar 50 peserta dari dalam negeri, serta tamu dari Muangthai, Malaysia, India, Vietnam, Filipina, dan RRC. Korea Selatan dan Sri Lanka, yang juga diundang, belakangan mengundurkan diri. Tujuan utama konperensi ini, seperti diceritakan Muliawati G. Siswanto, sekretaris panitia, "Memformulasikan langkah terbaik untuk mengajarkan fisika di sekolah dan perguruan tinggi." Dasar pikirannya, kalau kita berbicara tentang energi alternatif, yang kebutuhannya cenderung meningkat di negeri berkembang, kita Juga harus memikirkan pendidikan fisika untuk mencetak ahli di bidang itu. Sekitar 21 makalah, tampaknya, disasarkan pada empat hal: mencari sistem energi matahari yang sederhana dan menggunakan bahan lokal, analisa hasil sistem energi matahari, alih teknologi, serta pendidikan energi alam untuk sekolah lanjutan tingkat atas dan perguruan tinggi. "Sasaran terakhir itu permintaan UNESCO," kata Muliawati. Lembaga ini menyumbangkan 30% dari biaya konperensi yang sekitar Rp 30 juta. Departemen P & K dan UI menyumbang 30O, dan kantor Menristek 30% . "Sisanya didapat dari usaha lain," tutur Muliawati, sarjana fisika yang tengah mengikuti program doktor di bidang ilmu bahan-bahan. Di Yogya, panitiadiketuai oleh - siapa lagi kalau bukan - M.S.A. Sastroamidjojo, dari Pusat Penelitian Penerapan Tenaga Matahari P3TM UGM. Seminar Regional tentang Pengeringan denganEnergi Matahari, 28 s/d 31 Agustus itu, "Akan dihadiri sekitar 50 peserta ASEAN, serta peninjau dari Selandia Baru dan Australia," kata pencipta alat pengering tembakau berenergi matahari, yang biasa dipanggil Pak Seno itu. Kini, menurut dia, sistem pengeringan yang kurang baik menyebabkan Bulog kehilangan 10% bahan pangan pascapanen. Untuk kasus seperti itulah, antara lain, solar drying ditawarkan. Apalagi, dalam soal ini kesulitan. teknis sudah diatasi. "Semuanya merupakan teknologi madya dan rendah," ujar Pak Seno. Tetapi, mengapa tidak diusahakan menggabungkan saja kedua seminar itu ? Padahal, "Keduanya merupakan kegiatan yang sama, dan dalam waktu yang bersamaan pula," kata Dr. Parangtopo, ketua Jurusan Fisika FMIPA UI, yang mengetuai panitia Jakarta. "Saya tidak tahu ada seminar semacam itu di Jakarta," kata Pak Seno kepada TEMPO, pekan lalu. Menurut Parangtopo dan Muliawati, Pak Seno sudah dikirimi undangan bulan Maret lalu, bahkan diminta duduk dalam panitia. "Entahlah, kami [maksudnya panitia Jakarta] jadi nggak ngerti, dan tidak mau bersaing," ujar Parangtopo. Anehnya, ketua Jurusan Fisika FMIPA UGM, Prof. Dr. Ir. Prayoto, malah ikut panitia Jakarta dan duduk dalam komite pengarah. Prayoto sendiri, yang bersama Pak Seno duduk dalam National Point of Contact, semacam penghubung kegiatan Asean Physics Education Network (Aspen), menilai kedua seminar itu dalam tingkat yang sama, yaitu regional. Cuma, kalau konperensi di Jakarta menjangkau dua aspek - pendidikan fisika dan fisika energi - seminar di Yogya hanya menyangkut satu aspek - teknologi dan energi pengeringan. Menurut Prayoto, ahii teknik nuklir lulusan Universitas California, Los Angeles (UCLA), AS, negeri berkembang mengalami hambatan dalam pendldlkan fisika karena kurang fasilitas, tenaga pengajar berbobot, kegiatan penelitian ilmiah, dan publikasi. "Secara kasar, Output lembaga pendidikan tidak lebih dari 120 per tahun," katanya. Sebagian besar kemudian bekerja di sektor swasta, bukan di bidang pendidikan. Tetapi kesenjangan seperti ini, agaknya, tidak merata di semua negeri berkembang. Di Malaysia, "Sekarang belum ada kegentingan tenaga," tutur Prof. M. Zawawi Ismail dari Universiti Kebangsaan Malaysia, yang menghadiri konperensi di Jakarta. Adapun Prof. Lie Chun, dari Jurusan Fisika Universitas Beijing, RRC, mengemukakan bahwa penggunaan energi surya di Negeri Panda itu masih tipis. "Kami banyak menggunakan energi air." katanya sambil terus tersenyum, karena merasa senang bisa datang ke Jakarta. Toh, para tamu ini agak terpana mendengar adanya seminar yang sama di kota lain. Dengan nada agak menyesal, Zawawi bertanya, "Mengapa dibuat?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini