Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUAT industri, air merupakan kebutuhan vital. Tanpa air, mesin pabrik tak bisa beroperasi. Karenanya, dibutuhkan air yang tentu saja bukan air sembarangan. Setidaknya kandungan racun, logam, ataupun mineral pengganggu pada air dimaksud harus bisa diminimalisasi. Kalau tidak, pergerakan komponen kecil seperti jarum pada mesin industri tekstil bisa terganggu.
Untuk itu, dunia industri selama ini memenuhi kebutuhan air dengan mengandalkan teknik penukaran ion, reverse osmosis, dan elektrodialisis. Teknik yang dianggap paling canggih seperti penukaran ion mengandalkan resin (serbuk fiber). Di sini, resin yang ditempatkan pada beberapa bak penyaring air akan menangkap mineral dan mengolahnya menjadi air bersih.
Namun, cara yang mampu memproses air sebanyak 80 meter kubik sejam itu punya keterbatasan serius. Soalnya, resin hanya bisa tahan untuk jangka waktu pemakaian selama 18 jam. Selanjutnya, proses harus dihentikan karena resin harus diregenerasi dulu dengan bahan kimia, yang bisa menelan waktu hampir 12 jam.
Tentu saja kendala itu menimbulkan akibat beruntun. Kuantitas air yang dihasilkan, misalnya, menjadi tidak konstan akibat resin yang diregenerasi berkali-kali. Ongkos pun membengkak karena umur efektif resin hanya setahun. Dan yang lebih mengkhawatirkan, limbah proses itu juga bersifat tidak ramah lingkungan karena berlimpahnya pemakaian bahan kimia.
Kondisi itulah yang menggugah I Gede Wenten, 38 tahun. Dosen Jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) itu memang punya sederet reputasi penemuan teknologi yang berbobot. Ia pernah membuat teknik penyaringan bagi industri bir di Eropa. Penerima Suttle Award pada 1994 (tertinggi untuk penelitian di bidang filtrasi dan membran) itu juga memodifikasi ginjal buatan bernama Hemotek.
Khusus untuk teknologi pemrosesan air, Wenten belum lama ini menemukan teknologi electro-demineralization continuous (EDC). Teknologi baru itu masih mengandalkan resin, memang. Namun, berbeda dengan teknologi sebelumnya, pada EDC resin hanya bertugas menangkap mineral. Sedangkan proses penetralan racun, logam, ataupun mineral pengganggu menggunakan bantuan elektroda jenis hiperaktif.
Hasilnya, ternyata resin jadi tidak mudah rusak. Dengan demikian, kontinuitas proses pemurnian air terjamin. Kualitas kemurnian air yang dihasilkan memang tak berbeda dengan hasil pada teknologi sebelumnya. Namun, kuantitas air yang dihasilkan EDC jauh lebih banyak, yakni 150 meter kubik per jam. Itu berarti hampir dua kali lipat dari hasil pada teknologi sebelumnya.
Tentu saja yang paling penting adalah proses pemurnian air yang tak terputus-putus. Karena resin tak perlu dicuci lagi setiap 18 jam, umur pemakaiannya bisa mencapai lima tahun. Walhasil, dengan tiadanya proses regenerasi resin, limbah bahan kimia yang mesti digelontorkan pabrik ke sungai atau wilayah umum lainnya juga tak ada lagi.
Bagi kalangan pengusaha, teknologi itu agaknya bisa menjadi pilihan. Sebab, dari segi ongkos pun bisa efisien. Bandingkan dengan teknologi sebelumnya berupa penukaran ion, yang membutuhkan biaya proses pemurnian Rp 20 ribu per meter kubik, sementara EDC hanya butuh biaya Rp 2 ribu untuk volume yang sama. Bila diperluas, devisa pun bisa dihemat. Belanja resin yang mencapai US$ 150 juta setahun terpangkas menjadi hanya US$ 30 juta.
Kecuali itu, EDC tak cuma unggul untuk proses pemurnian air tanah atau air tercemar garam. Ia juga bisa digunakan untuk memurnikan air limbah. Umpamanya, limbah industri yang mengandung logam dan zat warna, dengan catatan jenis air limbah semacam itu harus dikenai perlakuan awal dulu untuk menghilangkan racun.
Tak mengherankan bila teknologi EDC penemuan Wenten itu kini dipuji berbagai pihak. "EDC adalah teknologi pemurnian air yang paling spektakuler di dunia," ujar Bambang Supriyadi, Presiden Direktur PT Bhuana Ambara Manunggal, perusahaan yang mensponsori penelitian Wenten itu. Bambang merasa yakin bahwa mesin yang akan dibuat berdasarkan teknologi EDC akan disambut hangat oleh pasar mancanegara.
Sekalipun demikian, keadaan sehari-hari Wenten tak secerah prestasinya. Tilik saja ruang kerja ayah dua anak itu di salah satu lantai di Gedung Laboratorium Teknik ITB. Ruang berukuran sembilan meter persegiseluas kamar kos mahasiswayang terletak di ujung lorong itu berkesan pengap.
Boleh jadi itu lantaran minimnya dana pemerintah untuk kegiatan ilmiah para peneliti seperti Wenten. Toh, Wenten mengaku gairah penelitiannya tak terganggu oleh paradoks itu. "Saya tetap berusaha menemukan teknologi spektakuler paling lama dalam setahun," kata putra nelayan yang doktor lulusan Danmark Tekniske Hoskole, Denmark, itu.
Yusi A. Pareanom, Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo