Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASIH ingat tragedi gelapnya Madura selama dua bulan lebih pada 1999? Kasus itu terjadi akibat putusnya kabel bawah laut yang mengalirkan listrik dari Gresik, Jawa Timur, ke Madura. Menurut Perusahaan Listrik Negara (PLN), peristiwa fatal itu terjadi gara-gara ulah kapal MV Kota Indah. Karena itu, melalui pengacara negara dari Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, PLN menuntut ganti rugi Rp 157 miliar dari Kota Indah di Pengadilan Negeri Surabaya.
Menurut Zulbahri Munir selaku ketua tim kuasa hukum penggugat, jaringan kabel bawah laut sepanjang empat kilometer itu putus dihajar jangkar Kota Indah. Beberapa jam sebelum kejadian, Jumat, 19 Februari 1999, Kota Indah diketahui hendak menuju Pelabuhan Tanjungperak, Surabaya. Waktu itu, kapal berbendera Singapura milik Pacific International Line PTE Ltd. itu sarat muatan.
Namun, Kota Indah kemudian oleng dan hanyut terbawa gelombang, sehingga posisinya berada di daerah terlarang bagi kapal. Daerah larangan itu ditandai dengan adanya rambu suar. Beberapa saksi melihat fakta itu. Bahkan, ada saksi yang memotret Kota Indah saat sedang mengangkat jangkarnya yang tersangkut kabel.
Akibatnya, kabel putus. Seketika itu juga aliran listrik bertenaga 70 megawatt (beban listrik waktu malam) dan 15 megawatt (waktu siang) ke Madura terhenti. Denyut kehidupan di empat kabupaten Pulau Garam itu pun bak mati. Tak terhitung kerugian yang timbul, termasuk kerepotan 3,5 juta jiwa warga Madura akibat terhentinya pasokan listrik.
Tapi kuasa hukum Kota Indah, Trimoelja D. Soerjadi, menepis dalil penggugat. Trimoelja menganggap penggugat terlalu menyederhanakan persoalan dengan menyimpulkan Kota Indah sebagai penyebab putusnya kabel hanya karena kapal itu kebetulan hanyut dan diduga berada di lokasi kejadian.
Padahal, menurut Trimoelja, keterangan saksi yang mengaku melihat Kota Indah sedang mengangkat jangkar yang terlilit kabel masih diragukan. Demikian pula foto jangkar terbelit kabel. ”Jangkar Kota Indah ada ujungnya, tapi jangkar di foto tak berujung dan berlubang,” kata Trimoelja.
Ternyata, Rabu dua pekan lalu, majelis hakim yang diketuai Arsyad Sanusi menolak gugatan PLN. Sebab, Kota Indah dianggap tak terbukti berada di area kabel bawah laut. Jadi, ”Tak mungkin jangkar kapal itu mengait kabel,” ujar Arsyad.
Majelis hakim malah menyalahkan PLN yang tak menanam kabel di tanah di bawah laut. Sesuai dengan peraturannya, jaringan listrik dengan kabel di bawah laut yang berisiko tinggi seharusnya ditanam sampai kedalaman tiga meter di bawah tanah.
Untuk soal itu, Zulbahri menyangkalnya. Katanya, PLN telah menanam kabel di bawah tanah di area sepanjang 800 meter dari pantai Gresik. Setelah area itu, kabel dibentangkan di dasar laut sepanjang 350 meter, untuk kemudian ditanam lagi sampai ke pantai Madura. Masalahnya, tak jelas di area mana sesungguhnya kabel yang terputus tadi.
Yang juga menjadi masalah, kalau bukan Kota Indah, lantas apa penyebab tragedi fatal itu? Ada dugaan, kabel itu sudah aus sehingga gampang putus. Soalnya, kabel tadi terbukti ditumbuhi organisme laut, termasuk siput dan tiram. Sekali lagi Zulbahri menolak anggapan ini. ”Kabel itu ditanam di bawah laut sejak 1986 dan mampu bertahan selama 50 tahun. Tidak mungkin putus karena aus,” katanya.
Yang pasti, peristiwa putusnya kabel bawah laut di situ sudah lima kali terjadi. Namun, sampai kini, tak pernah bisa diketahui faktor penyebabnya. Bahkan, dari semua kasus itu, hanya Kota Indah, yang hingga sekarang masih dilarang meninggalkan Pelabuhan Tanjungperak, yang diperkarakan. Menurut Trimoelja, itu gara-gara Presiden B.J. Habibie menduga adanya subversi pada peristiwa 19 Februari 1999. Karena itu, Kota Indah enggan memberikan kompensasi senilai US$ 2,5 juta sebagaimana tawaran damai dari PLN.
Belum lagi tuntas soal penyebab tragedi Madura gelap, kini merebak isu suap dalam proses perkara Kota Indah. Kabarnya, Kota Indah telah memberikan uang suap Rp 11 miliar—sebesar Rp 3 miliar di antaranya mengalir ke rekening hakim Arsyad. Kontan, Arsyad membantahnya. ”Itu fitnah yang kejam,” ucap Arsyad, yang menegaskan bahwa vonisnya sudah berdasarkan bukti-bukti di persidangan.
Hp.S., Zed Abidien (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo