Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Teluk Jakarta yang airnya berwarna cokelat keruh, Dasman memulai siangnya dengan sebuah sial. Saat perahu ojeknya sedang membelah laut, tiba-tiba ”blep...blep...blep”, mesin perahu mati. Bukan rusak atau kehabisan solar, melainkan karena baling-baling perahunya terbelit sampah plastik. Tukang ojek perahu di dermaga Bogasari I, Jakarta Utara, itu pun menggerutu, ”Ngadat seperti ini sering kali terjadi.”
Masalah sampah plastik tidak hanya dirasakan pengojek perahu seperti Dasman. Nun di seberang samudra, para nelayan di Seattle, Amerika Serikat, juga mengalami hal yang sama. ”Dua pertiga dari nelayan yang kami wawancarai sering kena masalah karena sampah plastik. Akibatnya, penghasilan mereka menurun,” demikian ditulis oleh Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency atau EPA).
Plastik, semua orang mafhum, merupakan sampah yang sulit terurai di tanah. Dia bisa tahan beribu-ribu tahun di dalam tanah atau di air. Padahal, ada begitu banyak sampah yang berserak di bumi Jakarta. Bila dalam satu hari sekitar 705 ton sampah plastik dibuang oleh penduduk kota itu, dalam satu tahun—bila sampah plastik tak ada yang diolah—sampah itu akan menggunung menjadi 257 ribu ton. Dan Jakarta akan menjadi hutan plastik.
Di Inggris juga sami mawon. ”Tiap tahun diperkirakan penduduk negeri itu membuang 10 miliar tas kresek,” kata Richard Swannell dari Waste and Resources Action Program, lembaga swadaya yang peduli pada masalah sampah.
Berbagai cara mengatasi masalah sampah plastik sudah diupayakan, salah satunya adalah dengan cara membakar. Tapi metode ini memicu masalah baru: polusi udara. Di Eropa dan Amerika, cara penanganan semacam ini sudah mulai ditinggalkan. Banyak ahli bioteknologi melirik cara lain, yaitu membuat plastik yang mudah terurai di alam (biodegradable plastics).
Bioplastik—begitu sebagian ilmuwan menyebutnya—berbeda dengan plastik biasa yang dibuat dari turunan minyak bumi. Plastik ramah lingkungan ini dibuat dari bahan tumbuhan dan bakteri. Toyota, raksasa otomotif asal Jepang, misalnya, membuat plastik hijau ini dari gula tebu. Pakar bioteknologi dari Hawaii Natural Energy di Honolulu, Jian Yu, membuat plastik jenis ini dari sisa-sisa makanan.
Cara membuatnya tak rumit. Sisa makanan dari berbagai restoran itu dicampur air. Cairan ini kemudian disimpan di tabung yang kedap udara dan hangat suhunya. Setelah beberapa minggu, bakteri anaerob (bakteri yang hidup tanpa oksigen) memecah molekul pada makanan dan menghasilkan asam laktat dan asam butirat.
Asam ini kemudian dimasukkan ke tabung dengan penyaring khusus (lihat infografik). Di tabung ini ada bakteri yang dikembangkan-biakkan dalam cairan yang dialiri udara steril. Yu memakai bakteri Ralstonia eutropha. Di cairan itu ditambahkan unsur sulfur dan fosfat sebagai sumber makanan bakteri. Bakteri kemudian menyerap asam laktat dan mengubahnya menjadi polimer (bahan baku plastik). ”Polimer ini lebih murah 10 kali ketimbang polimer yang terbuat dari gula murni,” kata Yu.
Pakar bioteknologi dari University College Dublin, Irlandia, Kevin O’Connor dan Patrick Ward, beberapa waktu lalu mengumumkan bahwa bioplastik ini juga bisa dibuat dari styrene, bahan yang banyak ditemukan di pabrik styrofoam (gabus) yang selama ini dikenal menjadi biang kanker.
Styrene itu dengan bantuan bakteri Pseudomonas putida kemudian diubah menjadi plastik yang mudah diuraikan oleh mikroba di alam. ”Bakteri temuan kami bisa mengubah limbah styrene menjadi berguna,” ujar O’Connor, senang.
Bioplastik ini, bila dibuang ke alam, dijamin akan habis dimakan mikroba tanah hanya dalam waktu 10 minggu dan bukan ribuan tahun seperti plastik konvensional. Itu terjadi bila suhu dan kelembapan udaranya cukup kondusif, yakni 60 derajat Celsius dengan kelembapan udara 55 persen.
Bioplastik inilah yang kini sedang ditunggu-tunggu para pencinta lingkungan. Di Jerman, misalnya, sekarang sudah diproduksi plastik hijau untuk botol sampo, walau jumlahnya masih terbatas, baru 0,3 juta ton per tahun. Ini jauh lebih sedikit dibandingkan dengan plastik jenis lama, yang mencapai 85 juta ton per tahun. Di Jepang, Toyota sejak Agustus tahun lalu telah memproduksi bioplastik 1.000 ton per tahun dari pabrik mereka seluas 5.000 meter persegi. Plastik itu digunakan untuk membuat dashboard (papan instrumen) sedan Prius.
Bila kelak bioplastik ini populer, Dasman, juga ribuan nelayan di dunia lainnya, tak akan lagi terjebak di ”hutan plastik”.
Pruwanto, Yuliawati (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo