Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perumahan anggota Dewan Perwakilan Rakyat di Kalibata, Jakarta Selatan, dibekap gelap, awal Juni lalu. Jam sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika gerimis jatuh dan menyebarkan udara dingin. Beberapa anggota satuan pengamanan terlihat berkumpul di teras sebuah rumah di Blok C-2.
Di ruang tengah, penyanyi Franky Sahilatua dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman, tengah bercakap-cakap. ”Katanya, kita mau digerebek polisi?” tanya Franky pada Djoko, sang pemilik rumah dinas.
”Kenapa?” anggota Fraksi Partai Amanat Nasional itu bertanya.
”Karena melindungi orang asing,” jawab Franky.
Djoko menepis kekhawatiran pelantun lagu-lagu balada itu. ”Nggak, aku sudah tanya ke Pak Firman Gani (Kepala Polda Metro Jaya—Red.).” Di sebuah kamar di lantai dua rumah jabatan Djoko, pagi itu, menumpang tidur Wong Siong He, 54 tahun, pengusaha Malaysia yang sedang dirundung masalah keimigrasian.
Dua bulan berselang, di awal Agustus, Djoko Edhi S. Abdurrahman harus beperkara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena ”membela” Siong He. Pria Madura ini digugat Muhammad Indra, Direktur Pengawasan dan Penindakan Keimigrasian (Wasdakim), Departemen Hukum dan HAM, karena dianggap mencemarkan nama baiknya.
Djoko digugat bersama sejumlah media di bawah Grup Jawa Pos, antara lain harian Jawa Pos, Indo Pos, Rakyat Merdeka, dan Non Stop. Lewat pengacara O.C. Kaligis, Indra menuntut ganti rugi material dan imaterial sebesar Rp 10,2 miliar, serta memasang permintaan maaf di beberapa media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut. Penggugat juga menuntut sita jaminan atas kantor Grup Jawa Pos di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Delapan tahun lalu, Wong Siong He menikahi Sulasih di Tuban, Jawa Timur, dengan KTP palsu. Sejak itu, ia bak warga negara Indonesia. Wong bahkan membuka usaha pengadaan dan penyewaan alat berat. Dalam bisnis inilah, ia kemudian punya piutang pada relasi bisnisnya, Babay, sebesar Rp 2 miliar, dan Po Kwan senilai Rp 62 miliar.
Rupanya Babay dan Po Kwan tahu kelemahan Siong He. Mereka lantas minta tolong Simon, seorang pengusaha hiburan dan pendatang artis asing, yang dikenal punya koneksi pejabat-pejabat dinas imigrasi pusat. ”Simon mengadukan KTP palsu Siong He agar segera ditangkap dan dideportasi,” kata Suradi, kerabat Sulasih. Motifnya, dengan deportasi Siong He, Babay dan Po Kwan berharap akan bebas dari utang.
Staf Wasdakim kemudian menangkap Sing He. Pria asal Serawak, Malaysia, itu dijebloskan ke dalam tahanan Kantor Imigrasi Kuningan, Jakarta Selatan, selama tiga hari. Seluruh dokumen keimigrasiannya disita.
Di tahanan, Wong dimintai tebusan Rp 500 juta oleh petugas imigrasi. Dengan janji bakal dibebaskan. Sulasih bahkan terpaksa membayar panjar Rp 50 juta, plus dua buah telepon seluler terbaru, yang harganya berkisar Rp 6–7 juta per unit. Telepon genggam ini diberikan langsung kepada seorang pegawai imigrasi. Sedangkan uang Rp. 50 juta diantar langsung oleh Suradi dan Simon ke ruang Direktur Wasdakim, Muhammad Indra.
Suradi mengaku, Simon mengantarnya sampai ruang tamu kantor Indra. ”Simon kemudian membawa uang itu ke kamar kerja Indra. Saya disuruh menunggu di luar,” kata Suradi kepada Tempo. Simon hanya setengah jam di ruangan Indra. Ia kemudian keluar, menemui seorang petugas tahanan imigrasi.
Kepada Tempo, Indra membantah menerima uang Rp 50 juta, meski mengaku Simon datang ke ruangannya. ”Dia datang sendiri, hanya 2–3 menit. Saya bahkan tidak bicara padanya karena sedang banyak staf saya di dalam,” kata Indra. Dia menindak Siong He karena yang bersangkutan diketahui sudah melampaui batas waktu mukim (overstay) dan memalsukan KTP. Perkara pemalsuan KTP sudah dilimpahkan ke polisi. ”Tidak ada pemerasan atau apa pun,” ucapnya.
Padahal, menurut Suradi, Simon bercerita bahwa dirinya ditunjuk Indra sebagai penjamin pembebasan Siong He. ”Dia tidak ada kaitan dengan Siong He. Kerabat pun bukan, kok jadi penjamin,” kata Suradi. Anehnya, Simon mengajukan syarat, Siong He diwajibkan tinggal di sebuah hotel di kawasan Mangga Dua, Jakarta Utara, dengan dua kamar. Satu untuk seorang wanita staf Wasdakim, satu lagi kamar untuk Siong He. ”Menurut Siong He, dia harus tinggal di situ sampai melunasi utang tebusan Rp 450 juta,” ujar mayor Angkatan Laut ini.
Merasa diperas, Suradi mengadu kepada sahabatnya, penyanyi Franky Sahilatua. Karena Franky kenal baik dengan Djoko Eddie, ia lantas mengantarkan Suradi ke Senayan. ”Susah kalau Franky yang minta (tolong), soalnya kursiku punya dia,” aku anggota Komisi Bidang Hukum ini, yang antara lain membawahkan Departemen Hukum dan HAM. Setelah Djoko mau membantu, Suradi melarikan Siong He dari hotel dan membawanya ke Kalibata untuk mendapatkan perlindungan.
Sidang gugatan Indra meruapkan masalah pelik. Bisakah seorang anggota parlemen digugat karena pernyataan-pernyataannya? ”Yang saya lakukan adalah bagian dari kontrol anggota Dewan pada lembaga yang diawasinya,” kata Djoko, yang memilih maju bersidang tanpa pengacara itu. Peran tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota DPR. Bahkan di salah satu pasalnya disebutkan, anggota parlemen memiliki kekebalan (imunitas) dalam tugasnya.
Djoko sebenarnya sudah mengadukan kasus ”pemerasan” oleh Indra ini kepada atasan yang bersangkutan, yakni Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, secara tertulis. Pengaduan ini, lantaran tak sempat dilaporkan dalam agenda rapat dengar pendapat komisi, Juni, kini tengah diproses oleh inspektorat jenderal departemen tersebut.
Susahnya, Djoko yang dikenal suka bicara blak-blakan di Senayan tampaknya tak bisa memendam kasus ini dari ciuman pers. Proses pemeriksaan Indra tentu kalah cepat dengan pemberitaan media massa. Indra merasa kehormatannya tercoreng. ”Kalau dia mau melaporkan saya, silakan saja, tapi bukan dibuka di koran. Apalagi sampai diungkap di depan anak buah saya,” kata Indra.
Menurut O.C. Kaligis, kuasa hukum Indra, dalih Djoko berlindung di balik UU Susduk tak tepat. ”Itu kan bukan lex spesialis,” katanya. Tak ada ketentuan yang melarang seorang anggota parlemen digugat, apalagi pernyataannya berbau fitnah. ”Tidak ada bukti Indra terima uang.”
Kelompok Jawa Pos sendiri memilih jalur di luar pengadilan. ”Kami sedang dalam proses perdamaian,” kata Irwan Setiawan, Pemimpin Redaksi Indo Pos. Mereka sudah meminta maaf dan memuat hak jawab Indra.
Kini tinggal Djoko sendiri di gelanggang sidang. Apalagi, saksi kunci Wong Siong He juga ”hilang” entah ke mana. ”Saya menolak kompromi dengan korupsi,” ungkap Djoko bertekad. Maka, sidang pun terus berlanjut.
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo