Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mencampur Jeruk dan Apel

Pengadilan Federal Amerika Serikat menyidangkan kasus pengajaran teori intelligent design yang membahas asal-usul alam semesta di sekolah. Pro-kontra apakah teori ini ilmu pengetahuan atau bukan pun terus berlanjut.

28 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu hari penting bagi masyarakat Pennsylvania, Amerika Serikat. Puluhan wartawan berjubel menunggu di luar gedung Pengadilan Federal Harrisburg Pennsylvania. Suasana riuh ketika Matthew Chapman, lelaki yang sebelumnya tak banyak dikenal, muncul. Dia menyempatkan diri untuk datang karena pengadilan mempersoalkan teori kakek buyutnya, Charles Darwin, ahli biologi yang menggagas teori evolusi. Wartawan pun berebut mewawancarainya.

Kasus ini bermula ketika sekolah Dover Area mewajibkan pengajaran teori intelligent design kepada para siswanya. Teori ini disandingkan dengan mata pelajaran biologi tentang evolusi yang diajarkan di kelas 9. Teori itu menjelaskan bahwa evolusi bukanlah fakta dan tidak mampu menerangkan asal-usul kehidupan atau munculnya bentuk-bentuk kehidupan yang sangat kompleks.

Rupanya ada orang tua dari delapan siswa yang tidak setuju dengan langkah yang dilakukan pemimpin sekolah. Mereka mengajukan gugatan ke pengadilan dengan permohonan penghapusan teori intelligent design dari kurikulum pelajaran biologi. Mereka beralasan teori ini berpotensi menggiring siswa kepada cara pandang kitab suci terhadap makhluk hidup, yang pada gilirannya akan bertentangan dengan undang-undang dasar yang memisahkan gereja dengan negara.

Pada 26 September, pengadilan mulai menyidangkan kasus yang menjadi kontroversi di Amerika Serikat ini. ”Intelligent design hanya menjadi label Dewan Sekolah yang bernafsu mengajarkan kreasionisme,” kata Eric Rothschild, yang mewakili penggugat. Tuduhan itu dibantah Patrick Gillen, pengacara sekolah Dover Area. Menurut Gillen, teori ini merupakan gagasan baru dan gerakan ilmu pengetahuan yang sedang mengepakkan sayapnya. Dewan Sekolah, katanya, bermaksud mengajarkan ilmu pengetahuan pada tingkat yang lebih lanjut.

Juli lalu, Pew Research Center melakukan jajak pendapat terhadap 2.000 responden yang dipilih secara acak. Hasilnya cukup mengejutkan. Sebanyak 64 persen responden setuju teori baru itu diajarkan bersanding dengan teori evolusi.

Asumsi dasar teori ini berangkat dari keyakinan bahwa alam semesta dan segala kehidupan yang ada di dalamnya, yang begitu kompleks, dihasilkan dari agen atau sesuatu yang cerdas. Mereka menolak konsep seleksi alamiah seperti yang dinyatakan dalam evolusi Darwin. ”Seleksi alam tak akan bisa melahirkan makhluk yang kompleks.” Mereka juga mengklaim teorinya melebihi pemikiran Darwin, bahkan teori mutakhir yang mampu menjelaskan asal-usul kehidupan.

Kontroversi teori ini semakin panas setelah Discovery Institute mempublikasikan kajiannya melalui internet pada 1999. Lembaga yang bermarkas di Seattle ini memang jadi salah satu pendukungnya. Sejumlah ilmuwan lintas disiplin menjadi pendiri dan peneliti, misalnya Phillip E. Johnson (profesor emeritus hukum), Stephen C. Meyer (filsuf), dan Jonathan Wells (biolog). Dua tokoh yang terkenal di barisan ini adalah William Dembski (ahli matematika, filsafat, dan teologi) dan Michael Behe (profesor biologi di Lehigh University dan ahli biokimia). Buku Behe yang berjudul Darwin’s Black Box terbitan 1996 masuk jajaran buku laris.

Ada dua hal yang mereka anggap meruntuhkan teori Darwin, yaitu revolusi molekuler dalam biologi—seperti kloning—dan kajian baru dalam matematika yang meragukan proses seleksi alamiah dari evolusi. Untuk dua hal ini, Behe dan Dembski menjadi juru bicaranya. Tokoh lain yang juga kondang di kubu ini adalah Harun Yahya, ilmuwan Turki, yang kajiannya tentang penciptaan alam banyak mengutip Al-Quran.

Gagasan itu ditentang banyak ilmuwan. Yang paling nyaring suaranya adalah Richard Dawkins, ahli biologi yang menjadi guru besar di Oxford University. Menurut dia, teori intelligent design menyederhanakan kompleksitas awal mula dan gerak kehidupan dengan argumennya soal sang pencipta. Sambil menyindir, para pengkritik bertanya, ”Jadi, apa dan siapa yang menciptakan sang pencipta?”

Para pengkritik lainnya, US National Academy of Sciences, menilai teori intelligent design bukanlah ilmu pengetahuan, karena klaim mereka tidak dapat diuji melalui eksperimen. Pendapat senada juga diutarakan Pastor George Coyne, Direktur Vatican Observatory. Dia menyalahkan kebijakan yang menyandingkan teori ini dalam satu mata pelajaran dengan evolusi. Keduanya beda, katanya, ibarat apel dengan jeruk.

Para pengecam juga menilai intelligent design merupakan wajah baru dari kreasionisme (aliran penciptaan). Aliran ini meyakini apa yang tertulis dalam Injil tentang sejarah penciptaan alam. Aliran ini dikembangkan di Indonesia oleh sekumpulan cendekiawan yang mendirikan Lembaga Sains Penciptaan Indonesia (LSPI) pada 1995. Yohannes Surya, fisikawan yang giat mendidik pelajar Indonesia mengikuti Olimpiade Fisika, mengakui ikut mendirikan lembaga itu. Namun, tidak sampai setahun, dia mengundurkan diri karena kreasionisme terlalu ekstrem menolak teori evolusi.

”Saya masih percaya adanya evolusi di level mikro, misalnya pada jerapah (yang lehernya bertambah panjang karena tiap hari mereka harus mendongak makan dedaunan yang tinggi letaknya),” katanya.

Surya menceritakan ilustrasi menarik tentang sejarah mobil yang bisa menjelaskan kontroversi di atas. Misalnya, ada makhluk luar angkasa yang setiap tahun mengunjungi bumi dan mencatat sejarah mobil. Berarti dia memiliki data per tahun tentang sejarah transportasi yang dimulai dari gerobak.

Alkisah, ada dua orang yang mendiskusikan data itu. Orang pertama bilang, terjadinya mobil karena satu proses panjang yang dimulai dari makhluk berkaki empat. Tiba-tiba kakinya lenyap dan berganti menjadi roda. Ekornya juga lenyap. Nah, katanya, ini semua terjadi melalui evolusi yang lama sehingga mobil itu semakin cepat dan sempurna seperti saat ini.

Namun, orang kedua membantah. ”Itu karena ada yang mendesain,” katanya. Dimulai dari makhluk berkaki empat, lalu muncul makhluk lain yang menggantikan sebagai alat transportasi. Alhasil, setiap saat muncul desain baru hingga bentuknya yang sekarang. Menurut Yohannes Surya, masyarakat tidak bisa melarang berkembangnya kedua pandangan itu. Keduanya juga tidak boleh mengklaim sebagai yang paling benar. ”Sampai suatu saat kebenaran akan muncul,” ujarnya.

Di Pennsylvania, debat ”barang lama” itu masih bergulir.

Untung Widyanto (CNN, MSNBC, Newyorker)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus