SEORANG ibu yang bermaksud buang air di Kali Progo,
Yogyakarta, tiba-tiba terkejut. Ada jilatan api yang berdansa di
permukaan sungai. Ada apa? Ternyata sentir (lampu minyak)nya
yang terbalik dan jatuh ke sungai, kontan mebakar minyak yang
sudah menggenang tipis-tipis di permukaan air. Anehnya, dari
mana asal minyak tanah bercampur bensin itu? Selidik punya
selidik, ternyata sambungan pipa minyak Cilacap-Yogya yang
melintasi Kali Progo ada yang bocor, sehingga minyak yang
sebenarnya tidak boleh mengembara ke mana-mana jadi merembes
menembus tebing sungai, dan mengapung di atas air. Kejadian itu
cukup mengejutkan masyarakat di tepi Kali Progo akhir 1974,
takut kejadian itu terulang lagi. Namun Pertamina yang punya
pipa itu buru-buru memanggil lagi kontraktornya, maskapai Jepang
NKK untuk memperbaiki sambungan las-lasan itu. Dan sampai
sekarang belum tersiar lagi berita dari Yogya, bahwa pipa itu
bocor lagi sehingga orang terpaksa mandi air sungai bercampur
minyak.
Insiden kecil itu -- yang tidak sampai merenggut korban jiwa --
menunjukkan betapa vitalnya hasil karya tukang las yang
mengerjakan sambungan pipa minyak itu. Bukan hanya pipa, tapi
masih banyak lagi sambungan bagian dalam instalasi minyak dan
cairan lain kini sangat tergantung pada karya tukang patri
instalasi-instalasi raksasa itu. Seperti ketel PLTU Tanjung
Priok, yang pernah bocor 4 tahun yang lalu, menyebabkan
pembangkit listrik berbulan-bulan impoten pada saat PLTA
Jatiluhur juga lagi kering dan tidal mampu menerangi rumah dan
pabrik-pabrik di Jakarta. Kebakaran besar di Semarang beberapa
tahun yang lalu antara lain juga disebabkan karena bocoruya pipa
minyak di tengah kota berpenduduk 650 ribu jiwa itu, yang sempat
menelan sejumlah korban jiwa dan harta jutaan rupiah. Itu
sebabnya, sektor industri ini baik yang ditangani oleh PUTL
maupun Pertamina sudah lama mengandalkan keamanan konstruksi
insalasinya pada tukang inspeksi yang dibayar tinggi dengan
teknologi yang paling mutakhir.
Bukan Tengkorak
Tantangan yang dihadapi para surveyor ini memang unik. Mereka
harus memeriksa sambungan pelat dan pipa-pipa sebesar belalai
gajah itu, tanpa merusaknya. Non-destructive testing, begitulah
istilah kerennya. Menurut satu maskapai yang cukup banyak makan
garam di bidang itu, Sucofindo, ada 5 macam "pemeriksaan tanpa
merusak" itu. Yang pertama -- dan inilah cara baru yang sedang
populer sekarang pemeriksaan yang mirip pemotretan dengan sinar
Roentgen di rumah-rumah sakit. Namanya juga X-ray inspecting.
Sambungan pipa dan pelat baja yang harus mampu menahan tekanan
dan suhu tinggi itu "dipotret" sepotong demi sepotong, kemudian
filmnya dicuci dan hasilnya memang seperti foto Roentgen. Hanya
bedanya di sini yang dipertontonkan bukan tulang-tulang rusuk
atau tengkorak yang retak, melainkan sambungan las-lasan yang
diperbesar beberapa kali. Mata yang terlatih dengan petunjuk
dari buku kemudian menganalisa potret-potret itu, untuk
memutuskan mana bagian yang sudah "oke" dan mana yang harus
diulangi. Dalam kamera sinar-X itu, digunakan lapisan Titanium
yang kalau ditembaki elektron-elektron akan memantulkan cahaya
yang tidak tertangkap mata, bisa menembus barang-barang padat
dan dapat bereaksi dengan pemmukaan negatif film yang
peka-cahaya. Prinsipnya sederhana, bukan ?
Cara kedua, sedikit lebih berbahaya sebab di situ digunakan
bahan radioaktif seperti Iridium 192, yang punya waktu rontok
144 hari (half life time = 72 hari). Yang digunakan untuk
"memotret" sambungan las-lasan adalah sinar gamma-nya, dengan
prinsip mirip pemotretan dengan sinar-X. Karena cara ini lebih
berbahaya, medan yang mau diperiksa harus benar-benar
dibersihkan dari semua oknum yang tidak berkepentingan. Sedang
isotop sebesar isi potlot yang dipakai, terbungkus rapi dalam
selubung baja tahan karat, dan tidak boleh tersentuh langsung ke
tubuh surveyornya. Bahkan berhadap-hadapan langsung dengan
sumber sinar gamma itu pun tidak boleh, karena akibatnya bisa
berbahaya bagi kesehatan. Selama ini di sektor jasa-jasa ini
telah dua orang surveyor yang jadi korban. Yakni seorang
karyawan maskapai Adivet ketika memeriksa instalasi proyek LNG
Arun di Aceh, dan seorang karyawan Lekomeras di Badak, Kal-Tim.
Korban yang di Arun menderita ionisasi butir-butir darah merah
(haemoglobine)nya dan tangannya luluh karena memegang isotop
yang radiasinya masih berkekuatan 100 Curie. Sedang korban di
Badak hanya kena radiasi 40 Curie karena berusaha memasang
kembali isotop yang copot dari selubungnya, di bawah air. Jadi
agak terlindung juga dari radiasi, meski tidak sempurna.
Mengingat besarnya bahaya bagi karyawan yang langsung menangani
barang itu maupun orang-orang lain yang kemungkinan berada di
sekitar sana, tidak semua perusahaan jasa-jasa boleh bermain
dengan bahan radio-aktif itu, melainkan hanya mereka yang sudah
punya izin dari Dirjen BATAN. Dan sementara ini, baru Sucofindo
itulah yang punya izin BATAN. Kendati hal itu tidak menutup
kemungkinan banyaknya surveyor asing yang berbasis di Singapura,
tapi juga beroperasi di sini tanpa izin instansi pemegang
wewenang pernukliran itu.
Pribumi, Bukan Asing?
Selain cara-cara yang rada serem itu, masih ada 3 cara testing
yang tidak begitu besar risikonya. Yakni pemeriksaan dengan
pantulan gelombang suara berfrekwensi tinggi (ultrasonic
testing), pemeriksaan dengan pusaran-pusaran besi berani
(eddy-currert & magnetic particle testing), dan pemeriksaan
dengan perembesan semacam cat (dye penetrant method). Dalam
ketiga cara itu bukan hasil pemotretan yang dianalisa, tapi
karakteristik "sidik" pantulan suara, perembesan garis-garis
kutub magnetis, dan perembesan cat tersebut. Sidik-sidik itulah
yang dipelajari untuk menentukan bcsar-kecilnya cacad dalam
sambungan las-lasan itu, untuk dilaporkan pada pemilik proyek
bouwheer). Dari laporan itu, pemilik proyek juga dapat
membanding-bandingkan hasil karya setiap tukang las -- serta
perusahaan yang mengontraknya.
Menurut Pengamatan TEMPO, Pengelasan dalam proyek penyulingan
minyak Pertamina di Cilaeap misalnya, jauh lebih baik mutunya
ketimbang pengelasan pada proyek PLTU di Semarang. Meskipun di
kedua proyek itu yang bekerja adalah tukang-tukang las pribumi,
bukan orang asing. Hanya bedanya, kontraktor proyek Cilacap
asiny (Fluor Eastern Inc.) yang berani menggaji tukang lasnya 5
sampai 10 dollar sejam (sekitar Rp 2000 - Rp 4000/jam) sedang
kontraktor PLTU Semarang (PT Bisma-Boma-Indra) hanya menggaji
tukang-tukang yang sangat vital pekerjaannya itu Rp 1000 sehari.
Plus pengawas, yang kurang ketat. Walhasil, meskipun semula
diperhitungkan ongkos pembangunan proyek PLTU Semarang itu
relatif lebih ringan dari pada proyek Cilacap, banyaknya
las-lasan yang harus diulangi di Semarang menyebabkan total
jenderal ongkosnya jadi mahal juga.
Masih ada satu jenis pekerjaan perusahaan surveying, yang
termasuk non-destructive testing itu. Yakni pemeriksaan lapisan
pelindung pipa bawah laut (cathodic protection testing).
Supaya tidak berkarat dan kemudian bolong, pipa-pipa bawah laut
seperti yang terhampar di lepas pantai Cilacap itu harus
dilapisi satu jenis logam tertentu. Tebal-tipisnya lapisan itu
ditentukan oleh perbedaan potensial antara pipa dan tanah (dasar
laut), yang harus minimal 0,25 Volt. Lebih dari itu, kemungkinan
lebih besar bahwa pipa itu akan dimakan karat, bocor dan minyak
merembes ke muka laut dengan segala akibat-akibat jelek bagi
manusia dan ikan. Makanya, untuk memeriksa sambungan pipa (yang
dilas di atas muka laut) dan lapisan pelindungnya itu, para
surveyor harus bisa menyelam lengkap dengan Voltmeternya,
mengetes tebalnya lapisan pelindung itu. Satu pekerjaan rutin
bagi surveyor, sebab di bawah laut siapa yang dapat menduga?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini