BARANGKALI sudah menjadi suratan nasib, langkah Hubble harus tersaruk-saruk. Perjalanan teleskop terbang milik Amerika, yang kini mengorbit pada ketinggian 611 km di atas bumi, itu seperti tergiring melewati titik-titik sial. Dan belum lagi sempat bergaya, Hubble harus menerima kenyataan yang pahit: ada klaim yang menolaknya sebagai telesop paling canggih. Hubble mengangkasa 25 April silam, dengan menunggang pesawat ulangalik Amerika, Columbia. Namun, baru saja tiba di orbitnya, cermin reflektor utamanya tidak bekerja secara sempurnya. Maka, dia seperti kejangkitan "rabun jauh", tak sanggup menangkap cahaya samar dari bintang-bintang di ujung langit. Panel suryanya, yang menghimpun dan mengubah energi matahari menjadi listrik, juga ngadat. Maka, pada malam hari, dia memerlukan tambahan energi dari batere yang dibawanya. Sebelum itu, peluncuran Hubble telah tertunda. Sedianya Hubble mengangkasa pada 1986. Namun, gara-gara orbiter AS Challenger meledak, pada Februari 1986, Hubble pun terpaksa nongkrong di hanggar pabrik pesawat terbang Lockheed California, dengan ongkos perawatan Rp 18 milyar/bulan. "Penderitaan" Hubble ini bisa dikisahkan lebih panjang jika ditoleh kebelakang lagi: proposalnya beberapa kali ditampik masuk ke program NASA. Hanya lantaran kegigihan Prof. Dr. Lyman Spitzer (pemrakarsanya) saja, Hubble lolos dari lubang jarum, dan selesai dibangun 1985 dengan biaya US$ 2,1 milyar, sekitar Rp 3,8 trilyun. Para astronom AS begitu berharap, teleskop terbang ini bisa secepatnya beraksi di orbitnya, membidik gambar bintang-bintang di langit serta sudut-sudut alam semesta, dan mengirim hasil pandangan matanya ke bumi. Laporan pandangan mata Hubble dipercaya lebih baik daripada teleskop mana pun, yang dipasang di permukaan bumi -- karena mata Hubble tak akan terhalang oleh kabut atmosfer, awan, atau bintik-bintik air hujan. Tapi harapan untuk mengangkat Hubble sebagai teleskop paling jeli kini diempaskan oleh klaim konsorsium lembaga astronomi Eropa Barat, yang beranggotakan delapan negara. Konsorsium ini, bulan lalu, mengaku telah berhasil membangun sebuah teleskop bumi yang secanggih Hubble. "Ketajaman gambar yang kami peroleh tak kalah dengan Hubble," ujar Harry van der Land, direktur konsorsium itu. Perakitan teleskop darat itu sudah rampung beberapa waktu lalu di Garching, Jerman Barat. Mulai Agustus ini, menurut Van der Land, teleskopnya akan mulai diuji coba. Kalau tak ada aral, teleskop canggih Eropa itu akan dipasang di La Silla, Cili, melengkapi peralatan yang telah ada. Klaim dari Garching itu tentu mengancam pamor Hubble. Secara blak-blakan Van der Land menunjuk titik lemah teleskop terbang itu terletak pada sistem pengolahan data optiknya. "Hubble masih menggunakan teknologi tahun 1960-an," katanya. Memang program Hubble, yang telah dimulai pada 1971, bertumpu pada teknologi 1960-an dan tak sempat memanfaatkan sistem koreksi optik otomatis, yang baru berkembang belakangan. Teknologi ini memungkinkan adanya koreksi oleh komputer, terhadap kelemahan data optik. Teknik itulah yang menjadi andalan teleskop Eropa. Seperti halnya Hubble (jika dalam keadaan normal), teleskop konsorsium Eropa itu mampu menangkap sinyal cahaya yang redup, 25 kali lebih redup dari batas penglihatan rata-rata teleskop bumi. Kemampuan itu memungkinkan mereka menangkap berkas cahaya bintang-bintang di pinggir jagat raya, yang jaraknya bermilyar tahun cahaya -- kecepatan rambat cahaya itu 300 ribu km/detik. Kesetaraan teleskop AS dan Eropa Barat itu berlaku pula pada kemampuannya membedakan dua buah obyek yang berdekatan -- dalam astrofisika dinyatakan dalam besaran arc second. Besaran ini mengacu kemampuan lensa memilah obyek menjadi unit-unit kecil, ekuivalen dengan sudut 1/3600 derajat. Makin kecil nilai arc second, teleskop dinilai makin canggih. Teleskop Hubble dirancang dengan tingkat ketelitian 0,10 arc second. Berbeda sedikit saja dengan teleskop konsorsium Eropa, yang 0,17 arc second. Dengan ketelitian setinggi itu, konon kedua teleskop itu mampu melihat sekeping koin, berukuran uang logam Rp 100, dari jarak 3.000 km. Tapi kemampuan yang fantastis itu belum bisa dipamerkan oleh Hubble. Gara-gara terdapat cacat pada cermin utamanya, Hubble kehilangan 40 derajat dari kemampuannya. Cacat pada cermin itu membuat gangguan serius, pantulan cahayanya sebagian mencari jalan sendiri tak mengarah ke titik fokus. Maka, secara kuantitas, cahaya yang diterima kelima kamera Hubble berkurang. Pengurangan cahaya itu terjadi baik pada spektrum cahaya tampak, inframerah, maupun ultraviolet. Salah satu akibatnya, teleskop terbang ini tak mampu melihat bintang-bintang yang ada di pinggir jagat raya ini. Kepekaannya pun menyusut dari 0,1 menjadi 0,8-0,9 arc second. Cacat pada cermin utama Hubble, yang berdiameter 2,35 m itu, memang tak mudah ditangani. Pihak NASA kini berupaya mereparasi, antara lain, dengan jalan mengubah-ubah posisi cermin utama itu agar diperoleh hasil pantulan terbaik. Selain itu, sedang diupayakan pula agar program komputer yang ada bisa mengolah data cahaya itu secara lebih efisien sehingga laporan yang dikirim ke bumi secara kuantitas lebih banyak. Perbaikan dengan mengirim astronaut ke sana masih dipikirkan oleh NASA. Pada rencana semula, reparasi secara manual itu baru akan dilakukan pada 1993. Namun, ahli-ahli astronomi AS mendesak agar paling lambat akhir 1992, NASA harus mengirim astronaut ke Hubble, untuk memperbaiki atau mengganti cermin utamanya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini