SEORANG cendekiawan Arab menulis masygul: "Kita memenuhi semua keinginan imperialisme, sementara kita berteriak menentangnya." Dan dunia Arab tak mendengarnya, juga di tengah gemeretak suara rantai tank Irak yang menyerbu sudut-sudut Kuwait yang kecil, dan corong-corong radio memekik, memuja atau memaki, "Saddam Hussein, sang penakluk". Saya tak tahu di mana cendekiawan itu sekarang. Fouad Ajami, dalam bukunya yang cemerlang, The Arab Predicament, menyebut namanya dan mengutipnya: Sami al-Jundi, yang menuangkan kekecewaannya ke dalam sebuah buku yang terbit di Beirut di tahun 1969 itu. Kekecawaan Al-Jundi adalah kekecewaan seorang idealis. Ia anggota pemula partai Partai Ba'th -- partai yang paling berhasil dan juga paling gagal di Timur Tengah kini. Atas nama Ba'th kekuasaan otoriter berdiri di Syria dan di Irak selama ini, dan atas nama Ba'th pula dunia Arab tetap saja seperti dulu: beringas, berdarah, berantakan. Tak bisa dielakkan, Sami al-Jundi pada akhirnya memang harus menulis tentang sebuah "dunia yang kalah", dunia Arab yang tak kunjung bisa mengembalikan orang Palestina ke tanah air mereka, dunia Arab yang malah saling merusak, dunia Arab yang tak henti-hentinya mencari obat tapi hanya menemukan penyakit. Di tahun 1940, Partai Ba'th mula-mula didirikan sebagai satu terapi. Sejumlah anak muda muncul. Mereka diilhami oleh sastrawan Michel Aflaq, yang dengan katakata yang berbunga menghendaki runtuhnya tradisi "kolot" yang selama ini membelenggu dunia Arab dan memimpikan suatu persatuan Arab dengan dasar yang baru. Dasar itu "nasionalisme". Tapi "nasionalisme" macam apa? Sami al-Jundi menyebut, bagaimana dia dan teman-teman segenerasinya membaca Also Sprach Zarahus-ra dari Nietzsche dan Mein Kampf dari Hitler. Tampaknya "nasionalisme" yang membayangi Partai Ba'th adalah nasionalisme yang berbau Jerman: nasionalisme yang cenderung menghantam manusia yang lemah, karena yang lemah bukanlah manusia unggul atau Uebermenesch seperti yang dibayangkan Nietzsche. Tak aneh pula bila "nasionalisme" yang dibawakan kaum Ba'this adalah nasionalisme yang integralistis, yang kolektivistis, di mana individu harus tenggelam, dan semua tunduk ke dalam suara seia-sekata, rukun terpimpin -- seperti kemudian jadi seruan Hitler. Memang memikat nasionalisme corak ini di tengah dunia Arab yang terus-menerus kalah, yang tak putus-putusnya terpecah-pecah. Tetapi kemudian terlihat apa yang terjadi. Kecenderungan untuk memuja kekuatan dan kekerasan menyebabkan partai itu terdorong ke arah militer. Dengan segera orang-orang berseragam dan bersenjata pun mendominasi Ba'th. Kecenderungan kepada keseiasekataan yang gemuruh juga mendorong partai itu ke arah kekuasaan yang kian antidemokrasi. Kombinasi senjata dan semangat kolektivis itu memudahkan sang pemimpin -- Hafez Assad di Syria atau Saddam Hussein di Irak -- untuk menahan, membunuh, menyingkirkan lawan politik dan pendapat. "Saya yakin dunia yang kalah ini tak akan memaafkan saya karena mereka menolak pemberontakan individu yang sendirian. Buku-bukuku dilarang di kebanyakan negeri Arab," tulis Al-Jundi dalam Al Ba'th "Baik yang progresif maupun yang reaksioner, orang yang berkuasa di negeri-negeri itu membuktikan bahwa pikiran yang memberontak adalah musuh yang paling mereka takuti." Kita kenal benar cerita ini, di negeri-negeri di mana tak kunjung lahir suatu civil sociefy yang sebenarnya, di mana hukum tak berkuasa, di mana keadilan tak ditentukan oleh mahkamah yang bebas, di mana negara bisa menggunakan kekerasannya dengan sewenang-wenang. Herankah kita bila tanpa membangun civil sociefy seperti itu, nasionalisme itu akhirnya menumbuhkan suatu "budaya" yang cuma mengakui bahwa yang kuat, yang keras, adalah yang benar? Herankah kita bila tank-tank Irak bisa tanpa risi memasuki Kuwait dan merebut kekuasaan di negeri kecil ini? Siapa yang bersenjata akan menentukan segalanya. Imperialisme lama diganti dengan penindasan baru. Lagi pula, Kuwait adalah contoh dari nasib dunia Arab yang lain: sebuah wilayah, tempat bedil mungkin ada tapi patriotisme adalah barang aneh. Sejumlah orang Kuwait di London nampak menangis, tapi kita boleh ragu adakah negeri ini akan dipertahankan rakyatnya sampai titik darah penghabisan. Di mana demokrasi tak ada, dan warga hanya terpaksa mengikuti. perintah dari atas, bagaimana ada rasa ikut memiliki sebuah negeri? Di mana petrodolar berjuta-juta, yang bisa memboyong orang ke mana saja, bagaimana keterikatan kepada satu tempat dan satu lingkungan begitu penting? Fouad Ajami sesungguhnya berbicara tentang uang minyak dan negeri seperti Kuwait: "Dalam sejarah besar peradaban, tak pernah ada kemungkinan eksit begitu mudah tersedia." "Nasionalisme" Irak dan kerapuhan Kuwait: mungkin kita sedang melihat dua gejala sedang bertemu, dengan sedih. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini