ISAK tangis penuh sukacita mewarnai persidangan kasus penyelundupan cendana di Pengadilan Negeri Surabaya, Rabu pekan lalu. Pengusaha beken asal NTT, Tanu Tjie Tanuwidjaja, 40 tahun, larut dalam emosi sukacita bersama keluarganya, begitu majelis hakim yang diketuai Ahmad Hassan membebaskannya dari tuduhan menyelundupkan serbuk kayu cendana. Berselang satu jam kemudian, di ruang sidang yang sama, kasus kedua penyelundupan 75 ton serbuk cendana Tanuwidjaja juga divonis bebas oleh majelis yang diketuai Ida Bagus Adnyana. Inilah antiklimaks drama penyelundupan yang mendudukkan Direktur CV Horas, Tanuwidjaja, 40 tahun, di kursi pesakitan. Ternyata, dakwaan Jaksa M.H. Ritonga yang begitu antusias, dan mendapat dukungan penuh Jaksa Agung Sukarton Marmosudjono almarhum, kandas. Tanuwidjaja, tokoh pencetus lahirnya organisasi pengusaha cendana APIKC (Asosiasi Pengusaha Industri Kayu Cendana) tersandung perkara di pelabuhan transit Surabaya. Pengusaha yang mendapat pujian sebagai pengusaha industri yang berprestasi dari Gubernur NTT itu, pada 14 Maret 1989, hendak mengapalkan 40 ton "aneka dupa wangi" senilai US$ 116 ribu ke Taiwan. Ketika itulah aparat bea cukai di pelabuhan Perak mencium bau wangi-wangian dan menahan cendana asal Tengau, Kupang, itu. Langkah seperti ini, kata Ritonga, sesuai dengan kawat Dirjen Perdagangan Luar Negeri tertanggal 7 Januari 1988, yang menyatakan bahwa kayu cendana dalam segala bentuknya "haram" diekspor. Tapi Tanuwidjaja tidak gentar. Sebab, berbagai instansi yang mengurusi ekspor di Kupang menganggap langkahnya benar. Pada 27 September 1989 Tanu kembali mengapalkan 75 ton serbuk "aneka dupa wangi", senilai US$ 225 ribu dolar, menuju Singapura. Tentu saja, langkah kedua Tanu ini membikin bea cukai Surabaya tersinggung. Tanuwidjaja dinilai meremehkan penyidikan. Di hadapan majelis, Ritonga menyebut Tanuwidjaja dengan sengaja melakukan penyelundupan. Barang kiriman yang disebutkan sebagai "aneka dupa wangi", kata jaksa, ternyata cendana murni dalam bentuk serpih dan serbuk. Jaksa tak asal mengarang. Hasil penelitian Laboratorium Farmasi Universitas Airlangga menyebut barang yang dieskpor itu cendana murni. Sebab itu, untuk kedua kasus di atas, Ritonga menuntut Tanuwidjaja terbukti menyelundup dan dijatuhi hukuman masing-masing 7 dan 4 tahun penjara serta denda Rp 22 juta dan Rp 25 Juta. Tapi Tanu membantah keras. Melalui penasihat hukum John Waliry, terdakwa menggelar surat-surat bukti yang mengesahkan pengiriman barang tersebut. Mulai dari persetujuan ekspor dari Gubernur NTT, rekomendasi Kanwil Perdagangan dan Perindustrian NTT, dan juga persetujuan ekspor dari Dirjen Perdagangan Luar Negeri tertanggal 12 September 1988. Bahkan, kata Tanu, "Pada bulan Oktober 1988 saya juga mengirim 30 ton ke Taiwan. Toh tidak diapa-apakan." Keterangan terdakwa juga diperkuat saksi Markus Ratukore dari Kanwil Perindustrian NTT. Kepada majelis, Markus menjelaskan bahwa aneka dupa wangi itu tak lain dari campuran limbah industri kerajinan kipas, patung, dan tasbih. Serbuk dan serpihan limbah itu juga campuran dari kayu cendana, kayu sonokeling, kayu papi (exocarpus latifalio), kulit kayu gembor, dan lili serta bambu dan eboni. Malah Markus mengatakan, dengan diterapkannya pasal penyelundupan, justru instansi-instansi di NTT tersinggung. Bahkan Gubernur Hendrikus Fernandez sampai merasa perlu mengadakan rapat koordinasi untuk mengimbangi sikap kaku bea cukai dan kejaksaan Surabaya. Sebelum mengapalkan aneka dupa wangi tahap kedua seberat 75 ton, Pemda melibatkan Polwil, Korem, Kejati NTT dalam pemeriksaan pendahuluan. Kedua majelis hakim ternyata lebih berpegang pada surat-surat resmi pemda NTT itu. Apalagi hasil Labkrim Mabes Polri, anehnya, menyebutkan serbuk itu sebagai campuran kayu wangi-wangian -- bukan cendana murni. Ditambah lagi dengan keluarnya Paket Kebijaksanaan 28 Mei 1990 (Pakmei) yang membolehkan ekspor kayu cendana dalam segala bentuk. Agus Basri dan Jalil Hakim (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini