Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Riwayat Mesir Kuno penuh dengan ritual. Sederet upacara oleh penduduk saat itu dilakukan untuk menghormati firaun maupun penyembahan para dewa. Ritual keagamaan adalah salah satu ritual paling umum yang terjadi sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada sebuah ritual keagamaan, orang-orang Mesir Kuno—termasuk para pemimpinnya—berdoa dalam kondisi berlutut, sujud, maupun berdiri dengan hormat di depan patung dewa. Ritual ini kerap diiringi dengan tarian, lagu religi, persembahan, hingga pemurnian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain ritual keagamaan, penduduk Mesir Kuno juga memiliki ritual kematian. Bangsa Mesir Kuno meyakini kematian bukan benar-benar akhir dari kehidupan, melainkan penghalang tipis yang memisahkan manusia dengan dunia. Ritual kematian Mesir Kuno bertujuan untuk melanjutkan kehidupan di dunia lain yang pada dasarnya tidak berbeda dengan dunia nyata.
Oleh karena itu, Mesir Kuno sangat identik dengan praktik pembalseman atau pengawetan mayat. Mereka menghadirkan tiga model peti yang mewakili tiga metode pembalseman. Metode yang dianggap paling mahal di antara ketiganya adalah yang mengikuti metode mumifikasi tubuh Dewa Maut Osiris.
Proses Pembalseman Mesir Kuno alias Mumifikasi
Metode pembalseman yang digunakan orang Mesir Kuno disebut juga sebagai “mumifikasi”. Melalui proses khusus, mereka menghilangkan semua kelembaban dari mayat hingga menyisakan bentuk kering yang tidak mudah membusuk. Penting dalam kepercayaan mereka untuk mengawetkan mayat dengan cara sehidup mungkin. Praktik bangsa Mesir Kuno ini sangat sukses sehingga manusia modern kini dapat melihat tubuh mumi serta memperkirakan seperti apa ia hidup 3.000 tahun lalu.
Mumifikasi dipraktikkan hampir sepanjang sejarah Mesir Kuno awal. Mumi pertama dari zaman prasejarah mungkin tercipta tak sengaja. Secara kebetulan, pasir kering dan udara (Mesir hampir tidak memiliki catatan curah hujan yang terukur) mengawetkan beberapa mayat yang terkubur di lubang dangkal yang digali ke dalam pasir. Kemudian sekitar 2600 SM, selama Dinasti Keempat dan Kelima, bangsa Mesir mulai membuat mumi dengan sengaja.
Peti mati kuno nekropolis Al-Asasif, yang ditemukan di sebuah nekropolis kuno di dekat Luxor, Mesir, 19 Oktober 2019. Para arkeolog telah menggali 30 peti mati kayu tertutup dengan mumi di dalamnya di "El-Assasif”, sebuah nekropolis kuno di dekat Luxor, Mesir. REUTERS/Mohamed Abd El Ghany
Praktik mumifikasi terus berlanjut dan berkembang selama lebih dari 2.000 tahun, hingga Periode Romawi (sekitar 30 sampai 364 M). Kualitas mumifikasi bervariasi dalam satu periode, tergantung pada harga yang dibayarkan untuk itu. Mumi terbaik yang disiapkan dan diawetkan adalah dari Dinasti Kedelapan Belas hingga Dinasti Kedua Puluh Kerajaan Baru (1570–1075 SM), termasuk mumi Tutankhamun dan firaun terkenal lainnya.
Proses mumifikasi memakan waktu setidaknya 70 hari. Pendeta khusus bekerja sebagai pembalsem atau pembuat mumi yang merawat dan membungkus mayat. Selain mengetahui ritual dan doa yang benar untuk dilakukan pada berbagai tahapan, para pendeta juga membutuhkan pengetahuan yang mendetail tentang anatomi manusia.
Langkah pertama dalam mumifikasi adalah membuang semua bagian internal atau “jeroan” yang mungkin cepat rusak. Otak diangkat dengan hati-hati memasukkan alat logam khusus yang terhubung melalui lubang hidung untuk mengeluarkan potongan-potongan jaringan otak. Itu adalah operasi rumit yang dapat dengan mudah merusak wajah. Rongga tengkorak kemudian akan dicuci menggunakan arak kurma dan zat wangi-wangian lain.
Berikutnya, organ perut dan dada diangkat melalui sayatan yang biasanya dibuat di sisi kiri perut. Pembalsem atau pembuat mumi hanya menyisakan hati karena organ tersebut dipercaya sebagai pusat keberadaan dan kecerdasan manusia. Sementara organ lain diawetkan secara terpisah. Paru-paru, lambung, dan usus ditempatkan dalam kotak atau toples kanopi yang kemudian dikuburkan bersama mumi.
Pada praktik mumifikasi yang lebih baru, organ diawetkan, dibungkus, dan ditaruh kembali di dalam tubuh. Meski begitu, toples kanopi yang tidak terpakai tetap menjadi bagian dari ritual penguburan.
Pembalsem selanjutnya menghilangkan semua kelembapan dengan menutupinya menggunakan natron, sejenis garam tarantula yang memiliki sifat mengeringkan yang sangat tinggi. Beberapa paket natron tambahan juga diletakkan di dalam tubuh mayat. Tahap inilah yang menghabiskan waktu selama 70 hari.
Ketika tubuh telah benar-benar kering, pembalsem mengeluarkan natron tambahan dari dalam tubuh mayat, kemudian mencucinya hingga tak ada lagi natron yang tersisa. Hasil dari proses ini adalah bentuk tubuh manusia yang sangat kering, tetapi masih dapat dikenali. Untuk membuat mumi tampak lebih hidup lagi, bagian tubuh yang cekung diisi dengan linen dan bahan lain, termasuk mata palsu.
Setelahnya, mayat direndam menggunakan cairan perekat untuk nantinya masuk ke proses pembungkusan dengan ratusan meter kain linen. Para pendeta dengan hati-hati melilitkan kain linen panjang ke seluruh tubuh mayat. Mereka bahkan kadang membungkus setiap jari tangan dan kaki secara terpisah sebelum membungkus seluruh tangan atau kaki.
Untuk melindungi mayat dari kecelakaan, sebuah jimat ditempatkan di antara bungkus. Doa serta kata-kata magis juga turut tertulis pada helai kain linen tertentu. Pendeta seringkali meletakkan topeng wajah di antara lapisan perban kepala. Pada beberapa kesempatan, mayat dilapisi kembali dengan resin hangat dan pembungkusan dilanjutkan sekali lagi.
Sebagai tahap akhir, mayat dibungkus dengan kain kafan terakhir dan mengikatnya menggunakan bilah linen. Mumi pun sempurna.
Mengapa Orang Mesir Kuno Mengawetkan Mayat?
Orang Mesir Kuno percaya bahwa tubuh mumi adalah rumah bagi jiwa atau roh seseorang. Jika tubuh hancur, roh mungkin akan hilang. Gagasan tentang “roh” sendiri sangat kompleks, yakni melibatkan tiga roh: ka, ba, dan akh.
Ka, “kembaran” orang tersebut, akan tetap berada di makam dan membutuhkan persembahan. Sementara ba atau “jiwa” bebas terbang keluar dari kubur dan kembali ke sana. Kemudian ada akh, mungkin diterjemahkan sebagai “roh”, yang harus melakukan perjalanan melalui dunia bawah menuju penghakiman terakhir dan masuk ke akhirat. Bagi orang Mesir Kuno, ketiganya adalah hal penting.
Siapa Saja yang Dimumifikasi?
Setelah meninggal, firaun Mesir biasanya dimumifikasi dan dikuburkan di makam yang rumit. Anggota bangsawan dan pejabat juga sering mendapat perlakuan yang sama, bahkan orang biasa sekalipun. Namun, perlu diingat kembali bahwa prosesnya sangat mahal.
Seorang anggota arkeologi Mesir merestorasi salah satu mumi yang termasuk dalam artefak Raja Tutankhamun, di pusat konservasi Museum Mesir Agung, di Kairo, Mesir, 30 Januari 2018. REUTERS/Amr Abdallah Dalsh
Beberapa hewan juga dimumifikasi untuk alasan agama. Banteng suci dari dinasti awal memiliki kuburan sendiri di Sakkara. Babon, kucing, burung, serta buaya yang juga memiliki makna religius terkadang turut dimumifikasi, terutama pada dinasti-dinasti selanjutnya.
Doktrin Kematian
Tindakan suatu kaum terhadap mayat sesamanya tentu berhubungan erat tentang kepercayaan mereka tentang hari akhir. Bagi orang Mesir Kuno sendiri, terdapat beberapa pandangan terkait hal itu.
Ada ketidakpastian pendapat orang Mesir Kuno soal akhir dunia, seperti halnya mengapa dan bagaimana dunia akan hancur, apakah kehancuran itu pasti, serta apakah dunia akan kembali dalam kelahiran baru. Terdapat banyak pertanyaan yang muncul. Persepsi khusus di antara orang Mesir Kuno tentang akhir dunia dapat diamati dalam beberapa catatan tua.
NIA HEPPY, SYAHDI MUHARRAM (SUMBER: HURGHADA LOVERS)
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terle