KINI keindahan gedung Braga Permai di Bandung sudah tertelan
kehadiran bangunan toko mentereng di kiri kanannya. Tapi masih
di tahun 60-an, gedung bekas Maison Boogerijen itu paling anggun
dan menonjol di Jalan Braga. Bangunan itu melambangkan langkah
pertama para arsitek muda Indonesia saat itu, mengisi khazanah
arsitektur nasional. Bersama Ir. Suwondo B. Sutedjo dan Ir.
Bianpoen, Ir. Suyudi menciptakan bangunan itu.
Ketiganya waktu itu baru lulus dari Jerman' Barat dan bergabung
dengan Biro Arsitek Estetika di Bandung. Di antara mereka, Ir.
Suyudi sudah lebih berpengalaman. Di luarnegeri ia sempat
bekerja sebagai pembantu perancang pada beberapa biro arsitek.
Bahkan terakhir ia bekerja sebagai arsitek penuh pada Biro
Arsitek Hentrich und Pettschnig di Dusseldorf, Jerman Barat.
Dua pekan lalu Ir. Suyudi meninggal dunia dalam usia 53 tahun.
Penyakit lever, yang sudah diidapnya sejak masih di Jerman
Barat, akhirnya merenggut nyawanya. "la terlalu menganggap
ringan penjagaan terhadap kesehatan dirinya," ujar F. Silaban.
"Asal merasa sembuh sedikit, ia sudah bekerja lagi." Arsitek
senior itu mengantar (18 Juni) jenasah Ir. Suyudi di pemakaman
Tanah Kusir, Jakarta, dengan kata perpisahan, mewakili Ikatan
Arsitek Indonesia (IAI).
Dalam periode 20 tahun karirnya sebagai arsitek, Ir. Suyudi
banyak meninggalkan karya besar. "Ia seorang arsitek yang sangat
produktif," ujar Ir. Suwondo B. Sutedjo yang juga menjabat Ketua
Tim Penilai Arsitektur DKI Jaya.
Lebih 30 bangunan besar dirancang Suyudi, termasuk gedung
Kedubes Prancis, gedung Deperhub RI, Pusat Grafika Indonesia,
Forestry Centre Complex, beberapa gedung kedutaan RI di luar
negeri, gedung Sekretariat ASEAN dan puncak keberhasilannya
ialah gedung MPR di Senayan. Semula gedung MPR itu dirancang
untuk Conefo (Conference of the New Emerging Forces) di kala
Indonesia meninggalkan forum PBB di tahun 1960-an. "Siang malam
waktu itu beliau bekerja keras mewujudkan cita-cita Bung Karno
menandingi PBB," kenang Suwondo.
Suwondo sendiri tidak turut langsung dalam proyek raksasa itu.
"Saya membantu dengan cara lain," katanya. Ketika itu Suwondo
mengajar di Bagian Arsitektur ITB, menyeleksi dan menyediakan
tenaga dari kalangan asistennya. "Dengan mereka inilah Suyudi
membuat tim inti untuk menuangkan ide gedung Conefo itu."
Menurut Suwondo, hanya sekali terjadi konsultasi dengan pihak
asing, yaitu Swiss. Ini meliputi konsultasi teknis khusus
mengenai superstructure atau bentangan atap melengkung itu. Dan
memang terutama konstruksi atap ini yang membuat kagum banyak
pihak juga kadang menyesatkan.
Pernah seorang pejabat tinggi Filipina yang berkunjung ke ITB
menanyakan apakah bentuk atap itu mencerminkan suatu unsur
kebudayaan Indonesia. "Ia menduga bentuk itu melambangkan
telinga gajah di Sumatera," cerita Suwondo.
Tapi atap melengkung itu suatu cara nlembentang suatu ruangan
besar. Cara yang dimungkinkan oleh teknologi mutakhir, dan tidak
melambangkan suatu unsur kebudayaan Indonesia.
Masyarakat sebetulnya mengharapkan suatu gedung mencerminkan
kebudayaan khas negeri ini. Pernah gambar gugusan gedung Conefo
itu dimuat dalam sebuah majalah arsitektur di Amerika Serikat.
Komentarnya ialah bahwa gedung itu bisa saja didirikan di
Hawaii, misalnya.
Pendapat ini dirasakan juga oleh kalangan arsitek Indonesia. Ini
bukan tanpa sebab. "Zaman itu (tahun 50-an dan 60-an) arsitektur
modern diangap estahlisbed, tidak ada problem lagi dan tinggal
menerapkan saja," ujar Suwondo.
Arsitektur modern itu sudah dianggap mapan dan berlaku untuk
seluruh dunia. Modifikasi -- jika ada -- hanya karena pengaruh
regional berupa alam dan iklim setempat, serta tata cara hidup.
Seluruh sekolah arsitektur menerapkan kaidah arsitektur modern
itu.
Tapi kemudian kaidah itu mulai dipertanyakan, terutama setelah
Jane Jacobs menerbitkan bukunya, The Death of American Cities.
Dalam buku itu Jacobs menguji kebenaran kaidah arsitektur modern
itu dan bertanya mengapa manusia merasa dirinya terasing, justru
dalam lingkungan arsitektur modern itu. Akhirnya berkembanglah
dua aliran arsitektur: Late Modern dan Post Modern. Yang pertama
itu masih mempertahankan kaidah lama. Sebaliknya Post Modern
sama sekali meninggalkan kaidah lama itu. Penganut aliran baru
ini tidak merasa terikat lagi pada prinsip murni arsitektur
modern.
Nyentrik
"Suyudi, dan juga saya, dididik di aman arsitektur modern itu
dianggap sudah mapan," cerita Suwondo. "Karena itu bisa
dimengerti mengapa karya Suyudi masih mewakili aliran itu." Ir.
Utomo Brodjonagoro, arsitek senior pada PT Gubahlaras, biro
arsitek pimpinan almarhum Suyudi, menceritakan bahwa De Stijl
berpengaruh besar pada karya Suyudi.
De Stijl ialah suatu kumpulan yang didirikan tahun 1917 di
Negeri Belanda dan memperjuangkan kaidah arsitektur modern.
Suyudi sempat menjadi anggota kumpulan ini dan banyak
dipengaruhi, "terutama pada keruwetan bentuk yang tampak
mengarah nyentrik," kata Utomo. "Tapi Suyudi tidak sepenuhnya
mengambil prinsip itu untuk dikembangkan di Indonesia," kata
Wibowo, seorang komisaris PT Gubahlaras. "Hasil Suyudi dalam
beberapa disainnya justru berusaha memadukan masalah lingkungan
dan kebutuhan yang selaras dengan pribadi Indonesia," katanya
lagi.
Apakah itu harapan Wibowo atau penilaian obyektif belum jelas.
"Kami masih terus bergulat mencari identitas nasional dalam
arsitektur modern," ujar Suwondo. "Itu tidak gampang."
Kadang-kadang orang bertanya mengapa kita tidak bisa
menghasilkan bentuk arsitektur modern yang bisa dibedakan dari
arsitektur lainnya, seperti misalnya arsitektur Jepang. Menurut
Suwondo, juga Suyudi berusaha mencapai bentuk yang bisa dikenal
dan diterima di Indonesia sebagai sesuatu yang mencerminkan
bentuk Indonesia baru.
Tapi Jepang tidak pernah dijajah dan kebudayaannya berkembang
praktis tanpa pengaruh luar. Arsitektur Indonesia praktis
terhenti beberapa abad lalu dengan tercapai topnya dalam bentuk
arsitektur rumah Toraja, Batak atau lainnya. Juga Suyudi,
menurut Suwondo, selalu mendambakan arsitektur yang berciri khas
Indonesia.
Untuk menyambung kembali perkembangan arsitektur Indonesia yang
khas diperlukan banyak kader. "Ini perlu pendidikan," ujar
Suwondo. "Sayang, pak Suyudi tak lama jadi pendidik."
Sekalipun ada perbedaan dalam konsepsi perwujudan arsitektur,
Silaban sangat mengagumi Suyudi. "Apa saja yang ia tangani, ada
jaminan bahwa secara estetis menjadi baik," kata Silaban. "Dia
orang pintar dan halus pribadinya. Selalu ingat akan sesamanya."
Suyudi diketahui pernah membuatkan rumah untuk pengemudinya,
padahal ia sendiri juga tidak terlalu berada. "Honorarium disain
gedung MPR saja belum seluruhnya selesai," kata Silaban.
Menggantikan Prof. Ir. V.R. van Romondt, Suyudi mengajar sebagai
Ketua Bagian Arsitektur ITB. Ia keburu dipanggil Bung Karno
uDtuk mendisain gedung Conefo, yang kemudian menjadi gedung MPR
itu.
Selesai gedung Conefo, Ir. Suyudi ditawarkan mendisain gedung
Kedubes Prancis di Jakarta. Ia diminta oleh Claude Cheysson,
Dubes Prancis waktu itu. Kini menjabat Menlu Prancis, Cheysson
konon pernah sangat mengagumi gedung Conefo itu.
Gedung Kedubes Prancis itu di sisi Jalan Thamrin tentu saja tak
bisa diharapkan mencerminkan kebudayaan Indonesia. "Saya kira
yang menonjol kaidah arsitektur modern saja," ujar Suwondo .
Keterlibatan Suyudi dengan kaidah arsitektur modern itu juga
tampak dalam berbagai gedung karya lainnya, seperti Forestry
Centre, Gedung Deperhub dan paling akhir gedung Sekretariat
ASEAN. "Bukan saja suatu karya arsitektur yang agung, tapi
gedung itu membentuk utuh dengan lingkungannya," kata Suwondo
kagum.
Silaban berpendapat bahwa sebaiknya sebuah gedung itu sejuk oleh
aliran udara yang bebas dan tersaring pepohonan di halaman luas,
sedang terik sinar matahari dihadang emper-emper. "Tidak oleh
AC," katanya.
Nurpontjo, arsitek senior pada PT Gubahlaras, mengatakan cukup
banyak karya Suyudi terutama dalam bentuk perumahan yang sama
sekali tidak pakai AC. Ketika mendisain gedung Conefo dulu,
Suyudi memang menginginkan agar udara dalam gedung itu dilegakan
oleh udara bebas dari luar. Dengan taman yang luas Suyudi bisa
mendisain gedung itu tanpa mengandalkan AC. "Tapi kenyataan
angin lebih banyak masuk dan justru mengganggu sidang," ujar Ir.
Utomo Brodjonagoro dari PT Gubahlaras. "Kertas beterbangan,
butiran air hujan masuk dan lebih parah lagi burung-burung pun
ikut masuk. " Karena itu kemudian ditutup gedung itu dan
dilengkapi dengan AC.
Ir. Suyudi meninggalkan seorang istri dan empat anak. "la
seorang suami dan bapak yang baik," kata Ny. Hadimah Suyudi
masih diliputi duka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini