Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengenang Arsitek "Telinga Gajah"

Profil arsitek Ir. Sayudi yang meninggal dunia. Karirnya dalam arsitektur modern & beberapa karyanya/disain-disainnya a.l: gedung sekretariat ASEAN, gedung MPR. gedung Canefo, dsb.(tek)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KINI keindahan gedung Braga Permai di Bandung sudah tertelan kehadiran bangunan toko mentereng di kiri kanannya. Tapi masih di tahun 60-an, gedung bekas Maison Boogerijen itu paling anggun dan menonjol di Jalan Braga. Bangunan itu melambangkan langkah pertama para arsitek muda Indonesia saat itu, mengisi khazanah arsitektur nasional. Bersama Ir. Suwondo B. Sutedjo dan Ir. Bianpoen, Ir. Suyudi menciptakan bangunan itu. Ketiganya waktu itu baru lulus dari Jerman' Barat dan bergabung dengan Biro Arsitek Estetika di Bandung. Di antara mereka, Ir. Suyudi sudah lebih berpengalaman. Di luarnegeri ia sempat bekerja sebagai pembantu perancang pada beberapa biro arsitek. Bahkan terakhir ia bekerja sebagai arsitek penuh pada Biro Arsitek Hentrich und Pettschnig di Dusseldorf, Jerman Barat. Dua pekan lalu Ir. Suyudi meninggal dunia dalam usia 53 tahun. Penyakit lever, yang sudah diidapnya sejak masih di Jerman Barat, akhirnya merenggut nyawanya. "la terlalu menganggap ringan penjagaan terhadap kesehatan dirinya," ujar F. Silaban. "Asal merasa sembuh sedikit, ia sudah bekerja lagi." Arsitek senior itu mengantar (18 Juni) jenasah Ir. Suyudi di pemakaman Tanah Kusir, Jakarta, dengan kata perpisahan, mewakili Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Dalam periode 20 tahun karirnya sebagai arsitek, Ir. Suyudi banyak meninggalkan karya besar. "Ia seorang arsitek yang sangat produktif," ujar Ir. Suwondo B. Sutedjo yang juga menjabat Ketua Tim Penilai Arsitektur DKI Jaya. Lebih 30 bangunan besar dirancang Suyudi, termasuk gedung Kedubes Prancis, gedung Deperhub RI, Pusat Grafika Indonesia, Forestry Centre Complex, beberapa gedung kedutaan RI di luar negeri, gedung Sekretariat ASEAN dan puncak keberhasilannya ialah gedung MPR di Senayan. Semula gedung MPR itu dirancang untuk Conefo (Conference of the New Emerging Forces) di kala Indonesia meninggalkan forum PBB di tahun 1960-an. "Siang malam waktu itu beliau bekerja keras mewujudkan cita-cita Bung Karno menandingi PBB," kenang Suwondo. Suwondo sendiri tidak turut langsung dalam proyek raksasa itu. "Saya membantu dengan cara lain," katanya. Ketika itu Suwondo mengajar di Bagian Arsitektur ITB, menyeleksi dan menyediakan tenaga dari kalangan asistennya. "Dengan mereka inilah Suyudi membuat tim inti untuk menuangkan ide gedung Conefo itu." Menurut Suwondo, hanya sekali terjadi konsultasi dengan pihak asing, yaitu Swiss. Ini meliputi konsultasi teknis khusus mengenai superstructure atau bentangan atap melengkung itu. Dan memang terutama konstruksi atap ini yang membuat kagum banyak pihak juga kadang menyesatkan. Pernah seorang pejabat tinggi Filipina yang berkunjung ke ITB menanyakan apakah bentuk atap itu mencerminkan suatu unsur kebudayaan Indonesia. "Ia menduga bentuk itu melambangkan telinga gajah di Sumatera," cerita Suwondo. Tapi atap melengkung itu suatu cara nlembentang suatu ruangan besar. Cara yang dimungkinkan oleh teknologi mutakhir, dan tidak melambangkan suatu unsur kebudayaan Indonesia. Masyarakat sebetulnya mengharapkan suatu gedung mencerminkan kebudayaan khas negeri ini. Pernah gambar gugusan gedung Conefo itu dimuat dalam sebuah majalah arsitektur di Amerika Serikat. Komentarnya ialah bahwa gedung itu bisa saja didirikan di Hawaii, misalnya. Pendapat ini dirasakan juga oleh kalangan arsitek Indonesia. Ini bukan tanpa sebab. "Zaman itu (tahun 50-an dan 60-an) arsitektur modern diangap estahlisbed, tidak ada problem lagi dan tinggal menerapkan saja," ujar Suwondo. Arsitektur modern itu sudah dianggap mapan dan berlaku untuk seluruh dunia. Modifikasi -- jika ada -- hanya karena pengaruh regional berupa alam dan iklim setempat, serta tata cara hidup. Seluruh sekolah arsitektur menerapkan kaidah arsitektur modern itu. Tapi kemudian kaidah itu mulai dipertanyakan, terutama setelah Jane Jacobs menerbitkan bukunya, The Death of American Cities. Dalam buku itu Jacobs menguji kebenaran kaidah arsitektur modern itu dan bertanya mengapa manusia merasa dirinya terasing, justru dalam lingkungan arsitektur modern itu. Akhirnya berkembanglah dua aliran arsitektur: Late Modern dan Post Modern. Yang pertama itu masih mempertahankan kaidah lama. Sebaliknya Post Modern sama sekali meninggalkan kaidah lama itu. Penganut aliran baru ini tidak merasa terikat lagi pada prinsip murni arsitektur modern. Nyentrik "Suyudi, dan juga saya, dididik di aman arsitektur modern itu dianggap sudah mapan," cerita Suwondo. "Karena itu bisa dimengerti mengapa karya Suyudi masih mewakili aliran itu." Ir. Utomo Brodjonagoro, arsitek senior pada PT Gubahlaras, biro arsitek pimpinan almarhum Suyudi, menceritakan bahwa De Stijl berpengaruh besar pada karya Suyudi. De Stijl ialah suatu kumpulan yang didirikan tahun 1917 di Negeri Belanda dan memperjuangkan kaidah arsitektur modern. Suyudi sempat menjadi anggota kumpulan ini dan banyak dipengaruhi, "terutama pada keruwetan bentuk yang tampak mengarah nyentrik," kata Utomo. "Tapi Suyudi tidak sepenuhnya mengambil prinsip itu untuk dikembangkan di Indonesia," kata Wibowo, seorang komisaris PT Gubahlaras. "Hasil Suyudi dalam beberapa disainnya justru berusaha memadukan masalah lingkungan dan kebutuhan yang selaras dengan pribadi Indonesia," katanya lagi. Apakah itu harapan Wibowo atau penilaian obyektif belum jelas. "Kami masih terus bergulat mencari identitas nasional dalam arsitektur modern," ujar Suwondo. "Itu tidak gampang." Kadang-kadang orang bertanya mengapa kita tidak bisa menghasilkan bentuk arsitektur modern yang bisa dibedakan dari arsitektur lainnya, seperti misalnya arsitektur Jepang. Menurut Suwondo, juga Suyudi berusaha mencapai bentuk yang bisa dikenal dan diterima di Indonesia sebagai sesuatu yang mencerminkan bentuk Indonesia baru. Tapi Jepang tidak pernah dijajah dan kebudayaannya berkembang praktis tanpa pengaruh luar. Arsitektur Indonesia praktis terhenti beberapa abad lalu dengan tercapai topnya dalam bentuk arsitektur rumah Toraja, Batak atau lainnya. Juga Suyudi, menurut Suwondo, selalu mendambakan arsitektur yang berciri khas Indonesia. Untuk menyambung kembali perkembangan arsitektur Indonesia yang khas diperlukan banyak kader. "Ini perlu pendidikan," ujar Suwondo. "Sayang, pak Suyudi tak lama jadi pendidik." Sekalipun ada perbedaan dalam konsepsi perwujudan arsitektur, Silaban sangat mengagumi Suyudi. "Apa saja yang ia tangani, ada jaminan bahwa secara estetis menjadi baik," kata Silaban. "Dia orang pintar dan halus pribadinya. Selalu ingat akan sesamanya." Suyudi diketahui pernah membuatkan rumah untuk pengemudinya, padahal ia sendiri juga tidak terlalu berada. "Honorarium disain gedung MPR saja belum seluruhnya selesai," kata Silaban. Menggantikan Prof. Ir. V.R. van Romondt, Suyudi mengajar sebagai Ketua Bagian Arsitektur ITB. Ia keburu dipanggil Bung Karno uDtuk mendisain gedung Conefo, yang kemudian menjadi gedung MPR itu. Selesai gedung Conefo, Ir. Suyudi ditawarkan mendisain gedung Kedubes Prancis di Jakarta. Ia diminta oleh Claude Cheysson, Dubes Prancis waktu itu. Kini menjabat Menlu Prancis, Cheysson konon pernah sangat mengagumi gedung Conefo itu. Gedung Kedubes Prancis itu di sisi Jalan Thamrin tentu saja tak bisa diharapkan mencerminkan kebudayaan Indonesia. "Saya kira yang menonjol kaidah arsitektur modern saja," ujar Suwondo . Keterlibatan Suyudi dengan kaidah arsitektur modern itu juga tampak dalam berbagai gedung karya lainnya, seperti Forestry Centre, Gedung Deperhub dan paling akhir gedung Sekretariat ASEAN. "Bukan saja suatu karya arsitektur yang agung, tapi gedung itu membentuk utuh dengan lingkungannya," kata Suwondo kagum. Silaban berpendapat bahwa sebaiknya sebuah gedung itu sejuk oleh aliran udara yang bebas dan tersaring pepohonan di halaman luas, sedang terik sinar matahari dihadang emper-emper. "Tidak oleh AC," katanya. Nurpontjo, arsitek senior pada PT Gubahlaras, mengatakan cukup banyak karya Suyudi terutama dalam bentuk perumahan yang sama sekali tidak pakai AC. Ketika mendisain gedung Conefo dulu, Suyudi memang menginginkan agar udara dalam gedung itu dilegakan oleh udara bebas dari luar. Dengan taman yang luas Suyudi bisa mendisain gedung itu tanpa mengandalkan AC. "Tapi kenyataan angin lebih banyak masuk dan justru mengganggu sidang," ujar Ir. Utomo Brodjonagoro dari PT Gubahlaras. "Kertas beterbangan, butiran air hujan masuk dan lebih parah lagi burung-burung pun ikut masuk. " Karena itu kemudian ditutup gedung itu dan dilengkapi dengan AC. Ir. Suyudi meninggalkan seorang istri dan empat anak. "la seorang suami dan bapak yang baik," kata Ny. Hadimah Suyudi masih diliputi duka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus