Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tani-Tani Tanpa Tanah

Hasil sensus penduduk lengkap 1980, jumlah petani tanpa tanah petani gurem meningkat pesat. Program Bimas yang disebar luaskan pemerintah ternyata belum mampu mengatur perubahan sosial di pedesaan.(nas)

4 Juli 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HASIL Sensus Penduduk lengkap 1980 ternyata tidak begitu mengejutkan. Angka yang diungkap Biro Pusat Statistik (BPS) pekan ini tidak jauh berbeda dengan yang diumumkan pada awal tahun. Istilah angka pertumbuhan penduduk "Ji Sam Su" (2,34%) yang sempat menggemparkan itu ternyata juga kurang tepat karena menurut hasil cacah jiwa lengkap angkanya cuma 2,32%. Toh itu masih lebih tinggi dibanding perkiraan pertumbuhan 2% yang sebelumnya sering digembar-gemborkan. Yang membuat mata terbelalak justru angka pemilikan tanah. Jumlah buruh tani, dibanding Sensus Pertanian 1973, menggembung dari 3,2% menjadi 14,9% atau hampir 5 kali lebih besar. Keluarga petani yang memiliki tanah kurang dari setengah hektar meloncat dari 45,7% menjadi 63,1%. Petumbuhan rumah tangga petani rata-rata 2,8% setahun -- lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk Indonesia. Pemilikan tanah di bawah 0,5 ha ternyata paling besar di Jawa. Sekitar 3,3 juta petani hanya mempunyai tanah kurang dari 0,25 ha (dari 4,4 juta petani dan 2,2 juta (dari 3,49 juta) memiliki tanah antara 0,25 0,5 ha. Kesimpulannya, jumlah petani gurem dan buruh tani semakin merajalela. Apa penyebabnya? BPS sendiri tampaknya berhati-hati dan hanya mengomentari: "Kiranya pada waktu ini masih terlalu dini untuk mencari alasan yang dapat dipakai guna menjelaskan perubahan tersebut." Alasannya karena data-data hasil sensus, terutama pencacahan sample, belum selesai diolah. Hasil sensus itu menunjukkan: selama dasawarsa ini memang telah terjadi pengalihan tanah secara besar-besaran. Banyak orang berduit membeli tanah petani yang terjepit kebutuhan hidup. "Atau petani gurem itu ditindih utang dengan bunga tinggi oleh petani kaya," kata Dr. Sajogyo, Guru besar Sosiologi Pedesaan IPB. Ahli sosiologi yang meletakkan tolok ukur kemiskinan menurut tingkat kecukupan pangan itu juga menambahkan, "petani gurem praktis terikat secara ekonomis dengan petani kaya. " Gejala semacam ini memang menarik. "Ada kecenderungan untuk memisahkan petani dari tanahnya," kata Kepala BPS M. Abdulmadjid. Ada juga teori lain yang menyebutkan, petani kecil terpaksa menjual tanahnya karena biaya produksi lebih besar dari hasilnya. Artinya, tanah mereka memang tidak produktif lagi untuk digarap secara intensif dengan "padat modal". Program Bimas yang disebarluaskan pemerintah ternyata belum mampu mengatasi perubahan sosial di pedesaan akibat pengalihan pemilikan tanah itu. Kecuali hanya memberi kredit bagi usaha meningkatkan produksi pangan, program Bimas ternyata tidak pernah menjangkau lapisan bawah petani yang haus modal. "Program Bimas kenyataannya lebih menguntungkan petani kaya," kata Sajogyo pada TEMPO pekan lalu. Pendapat Sajogyo ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Menurut pengamatan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), petani yang memiliki tanah kurang dari setengah hektar justru yang paling banyak menunggak kredit. "Setelah petani gurem itu macet, tinggal petani kaya yang menikmati kredit Bimas itu," kata Sekjen HKTI Ir. Usman Hasan. Bahkan ia juga mengkritik program kredit Bimas yang sebenarnya tidak cocok untuk petani yang punya tanah sempit. "Mereka tidak bankable," katanya. Untuk itu, perlu ada perbaikan pola seperti sistem pengelompokan petani Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Insinyur pertanian lulusan Universitas Sumatera Utara (USU) itu juga melihat adanya kebijaksanaan yang tidak menguntungkan , petani dalam hal tanah. "Akibatnya, tidak hanya landreform yang diperlukan, tapi reformasi agraria secara keseluruhan," kata Usman Hasan. Usman melihat sulitnya mengatasi kemelut tanah ini. Sistem birokrasi yang menanganinya masih terkotak-kotak. Pertanian dikelola oleh Departemen Pertanian sedang tanah iurus Departemen Dalam Negeri. "Seakan tanah dianggap terlepas sama sekali dari pertanian," katanya. Cacah jiwa 1980 ternyata tidak hanya menyajikan angka yang bisa membuat kening berkerut. Bidang pendidikan menunjukkan kemajuan yang berarti. Jumlah anak usia 7-12 tahun semakin banyak yang bisa mengenyam bangku sekolah. Hasil Sensus 1980 menunjukkan 84,7% anak usia sekolah tertampung. Ini merupakan loncatan besar dibanding hasil Sensus 1971 yang sebesar 59,9%. "Kemajuan yang sangat besar dalam satu dasawarsa, terutama akibat adanya SD Inpres," kata Abdulmadjid. Yang lebih menggembirakan lagi ialah angka putus sekolah yang menyempit. Cuma 5,1% di antara mereka ini yang terpaksa keluar sekolah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus