HASIL Sensus Penduduk lengkap 1980 ternyata tidak begitu
mengejutkan. Angka yang diungkap Biro Pusat Statistik (BPS)
pekan ini tidak jauh berbeda dengan yang diumumkan pada awal
tahun. Istilah angka pertumbuhan penduduk "Ji Sam Su" (2,34%)
yang sempat menggemparkan itu ternyata juga kurang tepat karena
menurut hasil cacah jiwa lengkap angkanya cuma 2,32%. Toh itu
masih lebih tinggi dibanding perkiraan pertumbuhan 2% yang
sebelumnya sering digembar-gemborkan.
Yang membuat mata terbelalak justru angka pemilikan tanah.
Jumlah buruh tani, dibanding Sensus Pertanian 1973, menggembung
dari 3,2% menjadi 14,9% atau hampir 5 kali lebih besar. Keluarga
petani yang memiliki tanah kurang dari setengah hektar meloncat
dari 45,7% menjadi 63,1%. Petumbuhan rumah tangga petani
rata-rata 2,8% setahun -- lebih tinggi dari pertumbuhan penduduk
Indonesia. Pemilikan tanah di bawah 0,5 ha ternyata paling besar
di Jawa. Sekitar 3,3 juta petani hanya mempunyai tanah kurang
dari 0,25 ha (dari 4,4 juta petani dan 2,2 juta (dari 3,49
juta) memiliki tanah antara 0,25 0,5 ha. Kesimpulannya, jumlah
petani gurem dan buruh tani semakin merajalela.
Apa penyebabnya? BPS sendiri tampaknya berhati-hati dan hanya
mengomentari: "Kiranya pada waktu ini masih terlalu dini untuk
mencari alasan yang dapat dipakai guna menjelaskan perubahan
tersebut." Alasannya karena data-data hasil sensus, terutama
pencacahan sample, belum selesai diolah.
Hasil sensus itu menunjukkan: selama dasawarsa ini memang telah
terjadi pengalihan tanah secara besar-besaran. Banyak orang
berduit membeli tanah petani yang terjepit kebutuhan hidup.
"Atau petani gurem itu ditindih utang dengan bunga tinggi oleh
petani kaya," kata Dr. Sajogyo, Guru besar Sosiologi Pedesaan
IPB. Ahli sosiologi yang meletakkan tolok ukur kemiskinan
menurut tingkat kecukupan pangan itu juga menambahkan, "petani
gurem praktis terikat secara ekonomis dengan petani kaya. "
Gejala semacam ini memang menarik. "Ada kecenderungan untuk
memisahkan petani dari tanahnya," kata Kepala BPS M.
Abdulmadjid. Ada juga teori lain yang menyebutkan, petani kecil
terpaksa menjual tanahnya karena biaya produksi lebih besar dari
hasilnya. Artinya, tanah mereka memang tidak produktif lagi
untuk digarap secara intensif dengan "padat modal".
Program Bimas yang disebarluaskan pemerintah ternyata belum
mampu mengatasi perubahan sosial di pedesaan akibat pengalihan
pemilikan tanah itu. Kecuali hanya memberi kredit bagi usaha
meningkatkan produksi pangan, program Bimas ternyata tidak
pernah menjangkau lapisan bawah petani yang haus modal. "Program
Bimas kenyataannya lebih menguntungkan petani kaya," kata
Sajogyo pada TEMPO pekan lalu.
Pendapat Sajogyo ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Menurut
pengamatan Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), petani yang
memiliki tanah kurang dari setengah hektar justru yang paling
banyak menunggak kredit. "Setelah petani gurem itu macet,
tinggal petani kaya yang menikmati kredit Bimas itu," kata
Sekjen HKTI Ir. Usman Hasan. Bahkan ia juga mengkritik program
kredit Bimas yang sebenarnya tidak cocok untuk petani yang punya
tanah sempit. "Mereka tidak bankable," katanya. Untuk itu, perlu
ada perbaikan pola seperti sistem pengelompokan petani Tebu
Rakyat Intensifikasi (TRI). Insinyur pertanian lulusan
Universitas Sumatera Utara (USU) itu juga melihat adanya
kebijaksanaan yang tidak menguntungkan , petani dalam hal
tanah. "Akibatnya, tidak hanya landreform yang diperlukan, tapi
reformasi agraria secara keseluruhan," kata Usman Hasan.
Usman melihat sulitnya mengatasi kemelut tanah ini. Sistem
birokrasi yang menanganinya masih terkotak-kotak. Pertanian
dikelola oleh Departemen Pertanian sedang tanah iurus
Departemen Dalam Negeri. "Seakan tanah dianggap terlepas sama
sekali dari pertanian," katanya.
Cacah jiwa 1980 ternyata tidak hanya menyajikan angka yang bisa
membuat kening berkerut. Bidang pendidikan menunjukkan kemajuan
yang berarti. Jumlah anak usia 7-12 tahun semakin banyak yang
bisa mengenyam bangku sekolah. Hasil Sensus 1980 menunjukkan
84,7% anak usia sekolah tertampung. Ini merupakan loncatan besar
dibanding hasil Sensus 1971 yang sebesar 59,9%. "Kemajuan yang
sangat besar dalam satu dasawarsa, terutama akibat adanya SD
Inpres," kata Abdulmadjid. Yang lebih menggembirakan lagi ialah
angka putus sekolah yang menyempit. Cuma 5,1% di antara mereka
ini yang terpaksa keluar sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini