SEBENTAR lagi, patung Selamat Datang di tengah-tengah bundaran
HI akan dikepung satu pencakar langit baru lagi. Hotel Mandarin,
bertingkat 28. Dengan demikian, selain jalan raya dan pelataran
parkir, hampir tidak ada tanah datar lagi di sekeliling bundaran
HI itu. Bayangkan saja: di situ berdiri Hotel Indonesia yang
bertingkat 17, hotel Asoka yang sedikit lebih rendah, President
Hotel dan Wisma Nusantara yang berlantai 30, dan sebentar lagi
hotel Mandarin. Sedikit di luar lingkaran berdiri gedung Kedubes
Inggeris, dan Kedubes Jerman Barat yang antene-antenenya bakal
'ketutupan' oleh hotel Mandarin itu. Komposisi gedung-gedung
pencakar langit yang rapat begitu, diperkirakan akan mengganggu
arus udara di sekitar bundaran Hotel Indonesia itu. Kabarnya
rencana pendirian hotel Mandarin persis di tikungan jalan Imam
Bonjol-Husni Thamrin arah ke Kebayoran itu sudah diprotes oleh
ahli bangunan Prof Roosseno dari segi tata angin itu. Namun
jalan terus.
Semangat membangun gedung jangkung itu memang agaknya perlu
dilengkapi dengan studi yang lebih mendalami akibat ekologisnya.
Sebab daya tahan bangunan pencakar langit -- begitu baru-baru
ini disimpulkan di Australia -- tidak semata-mata tergantung
pada kondisi tanah dan struktur fondasinya saja. Selain daya
dukung tanah -- yang kurang diperhitungkan para arsitek Italia
kuno ketika membangun menara Pisa yang condong itu -- yang
diragukan adalah seberapa jauh sebuah gedung dapat tahan
menghadapi hujan dan angin. Tanpa mengalami bocor. Untuk menguji
hal itu, para ahli bangunan Australia telah berhasil menciptakan
hujan-angin buatan dengan kecepatan 200 Km/jam. Alat pencipta
angin & hujan itu sudah dipakai sejak pertengahan 1975, khusus
untuk menguji bangunan perkantoran bertingkat 30. Seperti
misalnya Capital Tower yang bakal jadi jantung niaga Melbourne.
Menara Pertamina
Ternyata setelah pengujian dilakukan, beberapa bagian depan
bangunan mengalami perubahan kecil. Setelah mengalami perbaikan
kecil, gedung itu tidak perlu dikhawatirkan akan memerlukan
perbaikan ulang. Usaha penelitian itu bukannya tanpa sebab.
Maskapai-maskapai asuransi di Melbourne yang dalam setahun
dipaksa menelan kerugian sebesar Rp 500 juta akibat angin &
hujan telah mendesak diadakannya penelitian itu. Gedung pencakar
langii memang mudah dirembesi air hujan. Angin yang kencang
sekali menerjang setiap celah bagian depan bangunan kerangka
jendela dan sambungan-sambungan, yang dapat mengakibatkan
timbulnya kebocoran.
Untuk membiayai penelitian itu, Bagian Penelitian Bangunan CSIRO
(LIPInya Australia) telah berhasil memancing perhatian
kontraktor-kontraktor bangunan. Maka terbentuklah suatu
konsortium guna membiayai pengujian dan pembuatan alat penguji
Sirowet itu. Alat Sirowet ini terdiri atas bagian-bagian
polyester yang diperkuat lagi dengan serat fibreglass. Lalu
disambung dan ditempelkan ke permukaan bangunan setinggi
setengah jumlah tingkat gedung yang bakal dibangun. Unit
pengujian itu tingginya 7 modul dengan lebar 5 modul (module =
satuan panjang dalam ukuran gedung). Luasnya 35 mÿFD. Itulah bagian
yang bakal jadi korban terpaan hujan-angin. Ada pun hujan
dihasilkan oleh penyemprot air besar dengan mulut pipa-pipa yang
terletak dalam kotak diarahkan ke gedung anginnya dihasilkan oleh
tekanan udara dalam kotak itu yang lemah-kencangnya diatur oleh
sebuah kipas.
Sebelumnya, di dinding gedung sudah ditautkan alat-alat pengukur
elektronis yang mencatat mana bagian yang bocor, dan berapa
kencangnya angin menerobos masuk. Alat uji yang telah diakui
oleh American Society for Testing Materials ini memang mudah
diterapkan oleh para perencana bangunan pencakar langit, di mana
pun. Termasuk Jakarta, di mana gedung-gedung jangkung sudah
tumbuh sampai 30 tingkat (Wisma Nusantara), malah ada yang sudah
berani melampauinya (Menara Pertamina).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini