Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Rezeki Ponton

Dua buah ponton selundupan yang disita oleh kejaksaan negeri samarinda telah disewakan. Ketika perkaranya diputus & harus dimusnahkan, ternyata malah di jual. persoalannya kini ditangan jaksa agung. (krim)

31 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDAPAT baru, "agar tidak semua harta selundupan dimusnahkan sudah mendapat tempat di kalangan sarjana hukum di daerah. "Saya setuju barang selundupan yang tidak membahayakan dimanfaatkan kata Panuju Taufik SH, Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda yang baru, "asal pemanfaatannya untuk keperluan sosial dan bukan komersiil". Tapi lebih dari itu, ternyata soal memanfaatkan barang yang masuk secara haram ini sudah pula pernah dilaksanakan oleh Suharna SH, yang waktu itu menjabat Kepala Panitia urusan Piutang Negara (PUPN) dan Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda. Entah untuk kepentingan siapa, yang jelas pemanfaatan barang selundupan tersebut telah menimbulkan buntut panjang, yang kabarnya termasuk penyebab kepindahannya sendiri dari ibukota Kalimantan Timur itu. Sial Mula-mula PT San Timber memasukkan barang-barang mekanis ke Kalimantan Timur, dari Singapura dengan menggunakan dua buah ponton. Tahun lalu PT ini mengundurkan diri dari kegiatan usaha di kawasan itu. Dan akan dua ponton tadi, penguasaannya diserahkan kepada HasnuI Basri, bekas pegawai perusahaan tersebul. Hasnul kemudian menyewakan tongkang tersebut ke sana ke mari, hingga sempat pula membuahkan duit. Penghasilan yang mengalir ke saku Hasnul ini agaknya yang menyebabkan seorang bekas pegawai lainnya iri hati. Dengan senjata surat kuasa dari Direktur San Timber di Jakarta -- yang kabarnya palsu bekas pegawai ini berusaha merebut ponton itu dari tangan Hasnul. Tentu Hasnul tidak mau sebab toh ia punya surat kuasa pula. Barangkali orang cemburu tadilah yang diduga membocorkan kepada yang berwajib bahwa ponton-ponton yang dikuasai Hasnul itu barang haram. Sebab sewaktu dimasukkan dari Singapura tidak dibereskan legalisasinya. Mudah saja: pihak berwajib segera menyita kedua alat pelayar yang memiliki kode AM 1300 dan AM 1301 ini. Ketika dalam sitaan inilah, Suharna mengambil manfaat dari barang selundupan ini dengan menyewakannya kepada yang memerlukan -- di antaranya kepada Helmy Effendy BA untuk mengangkut batu kerikil. Untuk setiap kubik Helmy membayar Rp 1.000 kepada Suharna. Tetapi sial menimpa si penyewa. Ponton tadi tenggelam di muara Mahakam - sampai satu setengah bulan kemudian baru bisa timbul kembali. Sementara ponton masih tenggelam, di Samarinda timbul perkembangan baru. Suharna menyetujui permohonan Tadjri, Direktur CV Kartanegara untuk menyewa ponton tersebut dengan tarif Rp 500 ribu sebulan. Jadi sejak 2 Desember 1974 ponton berada di tangan Tadjri, meskipun yang sebuah masih tenggelam. Ketika yang tenggelam ini akhirnya bisa ditarik kembali, Tadjri menyodorkan kwitansi Rp 750 ribu kepada Helmy, yang menyewa ponton itu selama satu setengah bulan. Yang ditagih menolak, sebab ia mempunyai perjanjian tersendiri dengan Suharna. Yakni perjanjian sewa menyewa per meter kubik, bukan per bulan. Nah, karena Helmy bertahan tak mau membayar, Tadjri mengadukannya kepada polisi. Yang diadukan ditangkap. Setelah mendekam di sel selama 17 hari, seperti dikatakannya kepada Dahlan Iskan dari TEMPO, Helmy dipindahkan ke kejaksaan dengan tempat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan. Sempat juga ia bergaul selama 23 hari dengan narapidana di situ. April 197 Helmy diadili. Jaksa Andi Arifuddin mendakwanya menggelapkan uang sewa ponton dan minta tertuduh dihukum satu setengah bulan penjara dalam masa percobaan dua bulan. Namun Majelis Hakim memvonis dengan "bebas dari segala tuduhan", tanggal 4 April. Karena urusan ponton ini, HeImy bukan saja sempat bergaul dengan masyarakat a hukum, tetapi ia juga dinon-aktifkan dari jabatannya di kantor gubernur setempat. Kini ia sedang mempersiapkan gugatan perdata melawan Tadjri. Hampir bersamaan dengan diadilinya Tadjri, ponton gelap itu diperiksa juga. Pengadilan Negeri Samarinda dengan Hakim Tunggal memutuskan bahwa ponton harus dimusnahkan. Sebagai pelaksana, Suharna sekali lagi memanfaatkan harta ex terlarang itu. Ia tidak memusnahkan barang tersebut, tapi menjualnya kepada PT MKT -- kabarnya seharga Rp 34 juta. Jumlah pasti memang tidak dapat diketahui, kecuali mungkin oleh Jaksa Agung Ali Said sendiri yang ketika ramai-ramainya perkara ini memerlukan datang ke propinsi penghasil kayu itu. Setelah diketahui bahwa ponton tadi tak jadi dimusnahkan, barang itu sekali lagi disita -- dan begitu statusnya hingga sekarang. Sumber TEMPO di sana menyebutkan bahwa kini persoalannya berada di tangan Jaksa Agung. Mungkin akan diurus bagaimana supaya keputusan Pengadilan Negeri itu ditinjau kembali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus