Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Menteri Satryo: Obral Guru Besar Harus Dibenahi Rektor dari Dalam

Pihak kampus sendiri yang bertanggung jawab untuk membereskan soal obral guru besar.

12 November 2024 | 15.18 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro mengatakan obral gelar akademik atau jabatan guru besar bukan kewenangan Kemendiktisaintek untuk menatanya. Menurut dia, pihak kampus sendiri yang bertanggung jawab untuk membereskan hal tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Itu sebetulnya bukan kami yang menata. Mereka (kampus) yang akan menata sendiri. Kan tahu salah, tapi dikerjakan juga. Bapak rektor yang harus benahi dari dalam. Sekali kampus bikin seperti itu, namanya tercemar kan,” kata Satryo dalam wawancara dengan Tempo di kantornya, di Jakarta, 30 Oktober lalu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemberian gelar guru kehormatan, khususnya honoris causa, memang diberikan oleh pihak kampus, sementara Kementerian Pendidikan Tinggi hanya memberikan tunjangan. Meski begitu, dia mengakui masih ada praktik-praktik kotor dalam pemberian gelar akademik. “Kalau universitas melakukan seperti itu, percayalah, next time akan dicibir masyarakat. Masyarakat yang menilai, masyarakat yang menghukum,” tuturnya.

Soal manipulasi seperti di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Satryo mengklaim memang ada permainan di kampus tersebut. “Di tempat kami juga ada yang enggak benar menanganinya sehingga lolos. Seharusnya kami lebih ketat. Kalau lolos di bawah, semestinya di atas ada yang bisa mencegah,” ucap dia. 

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa masalah gelar akademik yang melibatkan lobi dan intervensi politik pejabat negara akan menjadi perhatian kementeriannya. Dia juga menyinggung pemberian gelar di Amerika Serikat yang dilakukan melalui proses penilaian akademik di antara anggota komunitas ilmuwan. Contohnya, guru besar fisika akan dinilai pakar-pakar fisika. “Saya maunya seperti itu. Jadi yang menilai adalah komunitas sejawat,” katanya.

Di Indonesia, kata Satryo, masyarakat masih terlalu mendambakan gelar ketimbang ilmu atau kompetensinya. Dia pun mempertanyakan undangan kawinan yang menyebutkan gelar panjang. 

“Undangan kawinan enggak ada urusannya dengan gelar. Ke depan saya mencoba, dan sudah mencoba, penulisan nama saja, tidak usah menggunakan embel-embel gelar. Kalau orang mau tahu saya, baca CV saya saja,” kata Satryo. “Menulis gelar panjang-panjang, repot lho. Nama itu sudah karunia Tuhan. Syukurilah nama kita, enggak usah macam-macam. Yang lain akan merasa malu sendiri ya. Masa menterinya saja enggak pakai gelar, yang lain pakai.”

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus