BARANG Made in Japan tampaknya bersiap untuk menyerbu pasaran pesawat tempur canggih. Januari, lalu, lima perusahaan raksasa Jepang telah bergabung untuk membuat pesawat tempur tercanggih. Melihat nama-nama mereka : Mitsubishi Heavy Industry, Ishikawajima-harima Heavy Industry, Kawasaki Heavy Industry, Fuji Heavy Industry, serta Mitsubishi Electric Co, persekongkolan ini agaknya tak dapat diabaikan. Kongsi ini sekarang sedang giat merayu kementerian pertahanan Jepang agar memesan pesawat rancangan mereka sebagai pengganti armada tempur Jepang, yang klni dianggap sudah tak memenuhi tuntutan zaman lagi. Rancangan pesawat jenis baru ini diberi nama kode FSX. Bila mereka berhasil imbalannya sangat menggiurkan: pemesanan 250 pesawat pendukung operasi darat pengganti F-1 (Mitsubishi) dan F-4EJ (Phantom) dengan nilai di atas 11 trilyun rupiah, alias hampir separuh dari APBN kita. Tak heran jika para industriwan Jepang menyatakannya sebagai proyek terbesar di abad ini. Kongsi Jepang itu bukan satu-satunya yang tertarik untuk menawarkan produknya. Dua perusahaan AS dan sebuah konsorsium perusahaan Eropa Barat sibuk menawarkan produk mereka. General Dynamic menawarkan F-16, McDonnell Douglas menawarkan F18 sedangkan Eropa mengajukan Tornado. Yang ditawarkan bukan jenis yang sekarang dioperasikan, melainkan jenis termutakhir yang dikenal dengan istilah Advanced Fighter Technology Integration (AFTI). Tapi cuma F- 16 AFTI yang banyak kesamaan dengan FSX rancangan Jepang: menggunakan sayap kecil tambahan (canard) untuk meningkatkan kemampuan olah geraknya. Dengan kehadiran canard ini pesawat dapat bergerak naik turun tanpa mengubah arah terbang. Ia juga dapat berbelok tanpa memiringkan badan dan mampu menukik atau mendongakkan hidungnya tanpa mengubah ketinggian pesawat. Kemampuan ini secara teknis disebut Control Configured Vehicle (CCV). Kesemua cara olah gerak ini sangat menguntungkan pilot dalam melakukan pertempuran. Sebab, selain memungkinkan mengelak dari rudal atau peluru lawan, jurus ini juga ampuh untuk segera menempatkan posisi pesawat ke belakang pesawat musuh untuk menembaknya. Adapun kemampuan menukikkan hidung tanpa mengubah ketinggian berarti pesawa{ dapat menembak sasaran di darat terus-menerus dalam sekali lintasan. Sedangkan pada pesawat tak ber-CCV, penembakan sasaran di darat harus dilakukan dengan menukikkan pesawat lalu menghindar dengan mengangkasa kembali. Artinya, bila sasarannya banyak, lintasan harus dilakukan beberapa kali. Walhasil, kemungkinan tertembak musuh semakin tinggi, terutama saat mengangkasa kembali, saat pantat pesawat menjadi incaran empuk rudal pencari panas. Jepang, yang memulai sejak 1978, telah menerbangkan prototip CCV jenis pancargas T-2 (buatan Mitsubishi) lima tahun kemudian. Pada pesawat ini digunakan tiga canard, dua horisontal di depan sayap dan sebuah vertikal. Sedangkan F-16 AFTI, yang dikembangkan sejak 1976, menggunakan dua pasang canard di perutnya dengan posisi mengangkang. Sukses CCV mereka membuat kelima perusahaan Jepang itu yakin dapat membuat FSX yang paling canggih dibandingkan saingannya. "Soalnya, pesawat F- 16 dan F- 18 itu 'kan dari generasi ketiga, sedangkan yang kami rancang dari generasi keempat," kata Takayoshi Furuya, Humas Mitsubishi Heavy Industry, berpromosi. Yang dimaksud grasi keempat oleh Furuya, selain penggunaan CCV ini adalah juga penggunaan teknologi baru lainnya. Misalnya penggunaan teknologi stealth (mampu menyusup jaringan radar lawan tanpa terdeteksi), penggunaan serat optik, serta teknologi perintah melalui suara pilot. Selain itu, komputer yang digunakan memiliki kemampuan tiga kali lipat dibanding komputer pada pesawat tempur andalan AS, F-15. Padahal, berat dan ukurannya lebih kecil, seperlima dan sepertiganya saja. Salah satu tugas penting komputer adalah mengatur kestabilan pesawat. Sebab, seperti juga pada F- 16, pesawat FSX yang dirancang sebenarnya sangat tidak stabil. Ini memang disengaja agar pesawat menjadi lincah. Sebab, bila pesawat dirancang stabil secara alamiah, akan diperlukan banyak energi untuk melakukan olah gerak. Sebaliknya, bila pesawat dirancang tak stabil secara alamiah (static instability), pesawat mudah sekali melakukan olah gerak, tapi memerlukan energi untuk membuatnya tidak berubah posisi. Para ahli fisika biasanya mengumpamakan ini sebagai kelereng di dalam cawan yang tak mau beranjak dari dasar, serta kelereng di atas cawan terbalik yang tak mau diam di tempat kalau tak dipegang. Pada pesawat CCV ini, tugas memegang tadi jatuh pada komputer. Sebab, hanya perangkat ini yang mampu memerintahkan pengatur posisi pada sayap-sayap pesawat agar bergerak bereaksi terhadap melencengnya gerak pesawat pada waktu yang tepat. Maklum, dalam satu detik saja diperlukan banyak perintah, dan pilot tak mungkin melakukannya sendiri. Berkat adanya komputer ini pesawat tak mungkin mengalami stall alias jatuh karena sudut terbang pesawat dan kecepatannya tak sesuai. Sebab, komputer tidak akan mengiinkan pilot melakukan gerakan yang mengakibatkan rontoknya pesawat. Tapi, boleh jadi, rontoknya FSX buatan Jepang justru diakibatkan oleh rudal politik. Pasalnya, AS kini sedang mendesak Jepang untuk mengurangi surplus neraca perdagangannya dengan membeli pesawat tempur buatan AS. "Segala teknologi baru buatan Jepang 'kan bisa ditampung dalam tubuh F-18," kata Presiden McDonnell Douglas di Jepang, James T. Burton. Kini perundingan alot sedang berlangsung. Dari perundingan itulah akan ditentukan pesawat mana yang akan jadi andalan angkatan udara Jepang mulai tahun 1995 nanti. Bambang Harymurti, Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini