Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa gedung guru

Gedung guru yang dibangun pgri di tanah abang, jak-pus, diresmikan presiden. tersedia fasilitas untuk penginapan, seminar, pameran, dst. dibangun dari potongan gaji guru rp 1000 tiap bulan.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAHLAWAN tanpa tanda jasa kini telah punya gedung. Berdiri megah berlantai lima seluas hampir 4.000 m2, gedung PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) ini makan biaya sekitar Rp 2,3 milyar. Gedung yang terletak di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, di atas tanah lebih dari 1.500 m2 inilah pada 21 April lalu diresmikan oleh Presiden. Lewat gedung itulah, diimbaukan oleh Presiden agar para guru terus meningkatkan pengabdiannya di dunia pendidikan. Bangunan cukup megah, lengkap dengan lobi, ruang kantor, ruang pengembangan kesenian, dan kamar-kamar itu sendiri sebenarnya telah mencerminkan "pengabdian" guru. Sekitar 1,2 juta dari 1,5 juta anggota PGRI seluruh Indonesia masing-masing merelakan Rp 1.000 dari gajinya guna memungkinkan gedung ini dibangun. Itu sebabnya, bila H. Basyuni Suriamihardja, Ketua Umum PGRI, melihat Gedung PGRI sebagai lambang perjuangan. "Inilah wujud prestasi gotong royong para guru," katanya. "Sebuah gedung kebanggaan nasional yang monumental." Dan sesuai dengan namanya, bangunan yang di lantai IV-nya menyediakan 18 kamar untuk menginap dengan kapasitas seluruhnya 66 oran ini direncanakan memprioritaskan para guru. Cukup dengan hanya memperlihatkan kartu anggota PGRI, seorang guru bisa diterima menginap di sini. Nanti, seberapa lancar urusan menginap ini dilaksanakan, akan menjadi barometer penilaian, bagaimana sebenarnya Gedung ini menerima guru. Akankah ia diterima sebagai "tuan rumah" ataukah "orang asing." Kemudian, dari ruang pertemum berkapasitas 500 orang, tentulah diharapkan diskusi, seminar, dan sejenisnya yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan masyarakat luas. Perlengkapan ruang yang dinamakan Ruang Indonesia ini tak tangung-tanggung: disediakan peralatan untuk membantu penerjemahan dari dan ke bahasa Indonesia, Inggris, Jepang, Spanyol, dan Jerman, tutur Basyuni pula. Pun, pameran-pameran seni rupa, pergelaran tari atau teater, misalnya, di ruang pengembangan keseniannya, jelas akan menentukan citra Gedung ini. Seberapa jauh nilai pameran dan pergelaran itu mendukung pendidikan, mestinya perlu diperhitungkan. Dengan kalimat lain, sebenarnya hingga diresmikan Presiden April lalu, Gedung Guru masih menunggu diberi makna. Maka itu, batu prasasti seberat empat ton - konon diambilkan dari bongkahan gunung bernama Batara Guru di Jawa Barat dengan biaya Rp 1,8 juta - boleh hanya menjadi simbol keborosan. Yakni, apabila ternyata Gedung Guru gagal menyumbangkan sesuatu dalam sejarah pendidikan Indonesia. Bila ditengok kembali, pendapat Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan kita, bahwa mendidik anak adalah juga berarti mendidik rakyat, atau masyarakat, peran guru memang makin terasa diperlukan. Masalahnya kini, bila diakui peran guru penting, diimbau untuk ini dan itu, seberapa jauh PGRI mendukung peran itu, dan nanti, seberapa bermanfaat Gedung Guru bagi profesi guru. Seorang guru di SMA Negeri VIII, Jakarta, merasa sulit melihat manfaat Gedung Guru. "Bagaimana saya bisa melihat manfaatnya saya baru mendengar, belum menyaksikan sendiri gedung itu," katanya. "Yang saya tahu, gaji saya memang dipotong Rp 1.000 untuk itu." Dan potongan itu di luar sumbangan resmi tiap bulan yang Rp 350, tambahnya. Bagi guru yang telah mengajar sejak akhir 1950-an ini fungsi PGRI itu sendiri "baru ada secara tidak langsung." Maksudnya, kata guru yang berpesan agar namanya tak disebut, wadah profesi guru itu antara lain telah memperjuangkan nasib guru, misalnya soal gaji. Namun, "perjuangannya ada, hasilnya belum," katanya. Beberapa guru di Jakarta yang mengikuti berita peresmian Gedung Guru mengakui, mula-mula agak keberatan terhadap pemotongan Rp 1.000. Kini, mendengar manfaat yang akan diberikan oleh gedung itu, tak ada lagi yang mempersoalkan potongan seribu perak dan cuma sekali itu. "Bahkan itu wajar, sebagai lambang atau penghargaan bagi guru-guru yang tak kenal lelah," kata Yulius, Kepala SMAN 70, Jakarta "Coba, apa Gedung Guru mau dibangun ala kadarnya, sementara gedung-gedung sekolah di DKI Jakarta ini megah-megah?" Memang soalnya bukannya megah atau tidak megah. Seperti disebutkan oleh guru yang tak bersedia dicantumkan namanya itu, nilai Rp 1.000 dari tiap-tiap guru di seluruh Indonesia ini bukan pada sosok bangunan Gedung Gurunya itu sendiri. Tapi, adakah sesuatu yang keluar dari gedung itu yang bisa dlmanfaatkan oleh para guru. Seumpama mengharapkan yang bersifat materlil sulit, kata guru itu, mestinya yang moril dan spiritual bisa diberikan. Dan harapan itu tentu tak berlebihan, bagi bapak-ibu guru yang tiap bulan menyumbang Rp 350 untuk PGRI. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus