BELUM ada ungkapan "lampu kristal" waktu itu - istilah yang, berpuluh-puluh tahun kemudian, diperkenalkan Gubernur Ibrahim Hasan bagi usaha memenangkan Golkar di Aceh. Memasuki pendapa gubernuran, saya bersiap turun dari boncengan sepeda Ayah - yang segera menuju ke samping gedung dan memarkir kendaraan kami di sana. Kami menaiki tangga yang tidak begitu tinggi, ke sebuah ruang luas tanpa dinding, dan duduk bersila di ubin yang licin. Ayah menunggu anak Gubernur Ali Hasjmy kepala daerah Aceh pertama setelah masa Gubernur Militer Daud Beureueh - untuk diajar mengaji. Aceh sedang bergolak, waktu itu, walau hampir memasuki tahap akhirnya. Tarikan "ideologi" Islam bercampur kebanggaan kedaerahan, yang direproduksikan oleh sejarah perangnya yang panang, masih sangat melekat. Bahkan hingga 1982 sisa-sisa kekuatan itu masih memperlihatkan keliatannya. Tapi rentangan jauh sejak sebelum kemerdekaan itu, hingga pemilu sebelum ini, hanya dalam lima tahun kemudian mulai bergeser arah. Dalam pemilu 1987, setelah 16 tahun diperjuangkan, perolehan suara Golkar berhasil menandingi perolehan PPP di basisnya yang terkuat. Benarkah Aceh sedang "memasuki alam kemerdekaan", seperti dikatakan seorang penduduk desa dekat Meulaboh? Ataukah kekuatan struktur religio-politik masyarakat di sini mulai merosot, sebuah pertanda umum sebagian besar negara berkembang? Ada faktor Asas Tunggal, memang, menjelang pemilu kemarin. Ada perpecahan besar dalam tubuh PPP. Ada pula penampilan gubernur yang Golkar (tentu saja) dan simpatik, bahkan di kalangan pendukung PPP. Toh tidak hanya satu-dua orang terperangah melihat jumlah massa PPP waktu kedatangan Naro - sementara massa Golkar yang mengikuti kampanye Sudharmono dikatakan hanya seperempatnya. Barangkali saja tidak seorang berani meramalkan kemenangan Golkar di daerah Serambi Mekah. Tapi Golkar unggul. Tidak spektakuler, memang. Barangkali saja semacam kemenangan psikologis Sultan Agung, yang berhasil menaklukkan Wirasaba, daerah yang tidak sekuat Surabaya tapi pusat utama kekuasaan Majapahit di masa lampau. Betapapun, tidak seperti yang diperlihatkan PDI di Jakarta (jumlah massa dalam kampanye mencerminkan jumlah pemilih, dan ia pun mumbul ke atas PPP), Golkar di Aceh bagai sengaja tidak menunjukkan seluruh tubuh sampai ia dicoblos beramai-ramai dan unggul. Tapi di mana bagian tubuh yang lain itu? Aceh memang tak lagi seperti di zaman anak Ali Hasjmy belajar mengaji. Ditemukannya berbagai sumber daya alam, di daerah itu, secara fisik telah mengubah wajah. Hadirnya pendatang dari berbagai pelosok, terutama di pusat-pusat industri besar, dibarengi pula oleh munculnya lapisan terdidik yang secara bersama-sama mempercepat perubahan formasi sosial. Di samping jumlah penduduk menjadi semakin besar, dan makin aneka ragam dalam orientasi budaya serta politik, juga proporsi mereka yang terikat pada sektor pertanian tradisional makin berkurang, walau dalam angka absolut cenderung menetap. Sebagai gantinya, proporsi penduduk yang bekerja di sektor industri besar, walau mayoritasnya masih bukan orang asal setempat, cenderung bertambah. Di tengah kelangkaan lapangan kerja nonpcmerintah, jumlah pegawai negeri - serta peminat muda yang baru lulus perguruan tinggi - terus membengkak pula. Lapisan pengusaha, setidaknya yang menempel pada keglatan industri besar atau aneka proyek pembangunan pemerintah lokal, dalam pada itu tidak lagi berjalan tertatih-tatih. Itulah semua, suatu susunan lapisan baru yang dalam 10 tahun terakhir cenderung semakm mekar, yang mungkm merupakan sumber utama suara Golkar. Keterikatan ekonomis mereka pada berbagai lapangan yang hampir sepenuhnya di bawah kontrol "partai pemerintah" itu boleh mempercepat terpotongnya saluran "ideologi lama". Memang, kelompok (besar) yang dianggap sangat menikmati hasil pembangunan di Aceh itu pada dasarnya tetap kecil di tengah-tengah (dan relatif terpisah dari) penduduk luas. Tetapi bukan tidak bisa diperkirakan, proses komunikasi politis mereka dengan massa Aceh berlangsung lewat proses reorientasi politik di "kalangan Aceh Baru" di luar dan di antara mereka. Pertarungan antara golongan ulama dan ule'balang, yang pernah berlangsung di Cumbok di awal Kemerdekaan, dan kemudian berlanjut dalam perebutan posisi-posisi strategis pemerintahan, tampaknya sudah berakhir. Tetapl kemenangan kaum ulama di masa lampau telah memberikan kesempatan cukup bagi anak-keturunan mereka untuk memanfaatkan segala peluang. Untuk sebagian besar merekalah kini yang menduduki jabatan-jabatan penting dan untuk jangka 10 tahun terakhir ini anak keturunan mereka pula yang paling banyak memasuki perguruan tinggi. Sehingga, boleh dikatakan, lapisan menengah Aceh dewasa ini hampir melulu lapisan keturunan kaum kiai. Ibrahim Hasan sekarang, atau Madjid Ibrahim sebelum dia, hanyalah dua contoh yang menonjol dalam gugusan itu. Berbareng dengan gebrakan pembangunan fisik yang dilakukan gubernur yang baru (dengan beberapa jalan utama dan jembatan-jembatan di Aceh Barat diselesaikan terburu-buru), kesamaan budaya para pejabat yang anak ulama dengan penduduk luas mempermudah komunikasi. Di samping pernah beberapa kali mendengarkan pidato atau ceramah agama Ibrahim Hasan, di Lhokseumawe, saya menyaksikan bagaimana Sayid Mudhahar memperagakan kemampuannya mengikat rakyat. Jadi, tampaknya, lapisan lebih muda yang telah mengubah orientasi politik dan ideologi itulah yang sudah berhasil meyakinkn saudara-saudara yang lain. Memang. Aceh tidak lagi seperti di masa putra Ali Hasjmy belajar mengaji.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini