Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Serapan Bercabang

28 Juni 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rohman Budianto
Wartawan

BAHASA adalah organisme. Kata-kata berinteraksi, menyerap, diserap, dan berbiak. Bahasa Indonesia tak terkecuali. Tak mengherankan kalau kamus bahasa akan makin tebal, termasuk Kamus Besar Bahasa Indonesia. KBBI tahun 1988 mengandung 62.100 lema (entri), 1991 ada 72 ribu lema, dan 2008 menggemuk menjadi 90 ribu lema. Banyak kata dari bahasa lain terus-menerus diserap oleh bahasa Indonesia. Yang termasuk paling dominan adalah bahasa Inggris, sebagai bahasa hegemonik dunia.

Penyerapan kerap hanya berupa terjemahan tunggal dari kata asal. Tapi seringkali penyerapan ini mengikuti logika pemakai bahasa yang menyerap. Kadang-kadang malah sebuah kata yang diserap dibentuk secara bercabang. Ini kreasi unik dari serunya serap-menyerap dalam bahasa.

Dalam dunia jurnalisme, sebagai misal, sudah lama dikenal jenis berita khas bernama feature. Sampai sekarang tak ada kata terjemahannya yang disepakati. Tulisan feature biasanya mengacu pada kisah human interest yang disajikan dengan cara bercerita. Dalam dunia teknologi, istilah feature ini diserap dengan sigap; terwujudlah kata fitur, yang berarti fasilitas dalam benda elektronik, seperti telepon seluler. Istilah ini tidak bisa dikembangkan untuk dunia jurnalistik yang kesulitan menyerap kata feature. Bukan ”Reporter sedang mengerjakan fitur”, melainkan tetap, ”Reporter sedang mengerjakan feature”.

Di dunia bisnis, kata account diterjemahkan bercabang. Untuk transaksi perbankan, account diterjemahkan sebagai rekening, tapi dalam dunia maya diserap sebagai kata akun. Penyerapan ini cerdik dan memudahkan pemakaian kata tersebut. Orang tak akan menyebut ”membuka akun di bank”, tapi ”membuka rekening di bank”. Sekaligus, orang tidak akan ”membuat rekening baru di Internet”, tapi ”membuat akun baru di Internet”.

Dunia usaha juga menyerap kata dealer dengan dua bentuk. Kalau yang dimaksud dengan kata itu adalah agen penjualan suatu produk, diterjemahkan dengan kata diler, misal diler mobil. Tapi, ketika asal katanya drug dealer, tentu tidak diterjemahkan sebagai diler narkoba, tapi pengedar narkoba.

Terkait dengan kata di atas, kata drug pun tidak selalu diterjemahkan sebagai narkoba (yang merupakan akronim dari narkotik dan obat-obatan terlarang), karena di hotel-hotel berbintang, termasuk di Indonesia, ada drug store. Tentu saja, di sana tak dijual narkoba, tapi obat-obatan atau barang-barang kecil keperluan sehari-hari.

Di bidang bisnis, populer kata polis untuk menunjukkan kontrak asuransi. Asal katanya insurance policy. Kata yang sama diserap atau diterjemahkan dengan cara berbeda dalam hal, misalnya, foreign policy. Tentu saja kata majemuk ini tidak diterjemahkan sebagai polis luar negeri, tapi kebijakan luar negeri.

Agama juga kreatif dalam menyerap sebuah kata agar bisa mengkomunikasikan maksudnya secara khas. Kita lihat kata khas yang berasal dari bahasa Arab ini bisa diserap juga secara bercabang dengan kata khos. Arti khas dan khos sama, yakni khusus atau spesial.

Kata khas dipakai secara umum untuk hal yang punya ciri tersendiri. Misal, kesenian khas Ponorogo adalah reog. Bisa juga untuk pasukan berkemampuan istimewa, misal Pasukan Khas milik militer kita. Adapun khos dipopulerkan oleh almarhum Gus Dur untuk menyebut ulama-ulama tertentu yang dianggapnya istimewa. Penyerapan itu bercabang dan punya tempat tersendiri yang tak bisa dipertukarkan. Alangkah anehnya bila dipertukarkan, misal pasukan khos atau kiai khas?

Kata council bisa diterjemahkan sebagai kata dewan dalam bahasa Indonesia, tapi juga bisa diserap dengan kata konsili. Orang langsung memahami kalau menyebut, misalnya, dogma ketuhanan Yesus dikukuhkan dalam Konsili Nikea. Umat Katolik tidak menerjemahkan pertemuan pemuka kristiani pada tahun 325, yakni Council of Nicaea, dengan Dewan Nikea, tapi Konsili Nikea. Dengan penerjemahan semacam ini, sebagai sarana komunikasi khas Katolik, pesannya tersampaikan lebih efektif.

Ada lagi kata al-syiar. Kata Arab ini diserap dalam dua bentuk. Untuk menggambarkan perkabaran umum, digunakanlah kata siar atau siaran. Tapi, untuk penyebaran dakwah agama Islam, orang akan menggunakan kata yang lebih spesifik dari kata serapan yang sama: syiar. Orang berkhotbah tidak disebut sedang siaran, tapi sedang syiar.

Dalam kesenian, kata asal dance tak selalu diterjemahkan sebagai tari. Balinese dance memang diterjemahkan sebagai tari Bali. Tapi, ketika banyak orang melantai sambil menari berpasangan di sebuah ballroom dengan busana ala Barat, disebut dansa; asal katanya juga dance. Mereka tidak disebut sedang menari.

Bahasa memang persis organisme. Selain menyerap manfaat dari lingkungannya, ia bisa menyesuaikan diri dengan tujuan pemakaiannya. Alangkah asyiknya mengamati bagaimana bahasa secara organik mengembangkan diri. Bahasa menyerap, tapi tidak mengurangi yang diserap; juga diserap, tapi jumlah entri kata-katanya justru makin banyak. Asyik nian jalin-berjalin dalam kehidupan berbahasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus