Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH pertama kalinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha menjatuhkan hukuman. Dengan perangkat baru Undang-Undang Antimonopoli Tahun 1999, komisi tersebut memvonis PT Caltex Pacific Indonesia agar membatalkan sebuah tender pengadaan pipa. Sebab, proses tender itu melanggar larangan persaingan sehat karena ketiga perusahaan peserta tender, yakni PT Citra Tubindo, PT Purna Bina Nusa, dan PT Patraindo Nusa Pertiwi, melakukan persekongkolan.
Akankah sampai batas waktu Jumat pekan ini Caltex menaati vonis perdana yang amat berarti bagi dunia bisnis di Indonesia itu, yang selama ini dihantui ekonomi biaya tinggi gara-gara praktek monopoli dan persaingan tak sehat?
Kasus praktek bisnis manipulatif itu berawal dari tender pengadaan pipa Caltex untuk periode tahun 2000. Dalam aturan tender tersebut, para rekanan bisnis harus menawarkan semua jenis pipa, baik yang berkelas tinggi maupun rendah, secara paket. Rekanan yang hanya memiliki fasilitas pipa berkelas rendah harus memperoleh surat dukungan dari perusahaan dalam negeri yang memiliki fasilitas kelas tinggi. Di Indonesia hanya ada dua perusahaan berkualifikasi begitu, yaitu PT Citra Tubindo dan PT Seamless Pipe Indonesia Jaya.
Ternyata, pelaksanaan tender tak diumumkan di media massa. Ketika tender akan berlangsung, Caltex hanya mengundang empat perusahaan, yakni PT Seamless, PT Citra, PT Purna, dan PT Patraindo. Karena Purna dan Patraindo tidak mempunyai fasilitas berkelas tinggi, kedua perusahaan itu harus melengkapi surat dukungan dari Seamless atau Citra. Namun, Purna dan Patraindo hanya meminta surat kepada Citra. Rupanya, itu karena Citra berlokasi di Batam, yang berdekatan dengan gudang Caltex di Dumai, Riau.
Akhirnya, dua perusahaan itu memperoleh surat dukungan dari Citra. Toh, dukungan itu bukannya diterima secara gratis. Ceritanya, pada 1 Mei 2000, pukul 19.30, di satu kamar di Hotel Aryadhuta, Pekanbaru, atau sehari sebelum tender dibuka, Citra, Purna, dan Patraindo bertemu. Dalam pertemuan itu, Citra akan memberi surat dukungan asalkan Purna dan Patraindo menunjukkan harga penawaran tender dari mereka. Citra juga berjanji akan membagi tender itu kepada kedua perusahaan saingan itu bila telah menang tender.
Tak dinyana, dua perusahaan saingan itu menuruti kemauan Citra. Walhasil, Citra pun memenangi tender pada 2 Mei 2000 di Rumbai, Pekanbaru. Citra mengajukan penawaran terendah senilai US$ 15,4 juta atau Rp 184,8 triliun berdasarkan kurs Rp 12 ribu per dolar AS.
Di hadapan komisi yang persidangannya dipimpin Mohammad Iqbal, Caltex mengajukan dalih atas kejanggalan proses tender. Menurut Caltex, perusahaan yang punya fasilitas perlu digandeng agar proyek lebih efisien. Hitungan Caltex, cara itu mampu menghemat biaya US$ 10 juta atau Rp 120 triliun per tahun. Caltex juga mengatakan bahwa proses tender begitu sudah dikonsultasikan kepada pemerintah.
Namun, komisi ini berpendapat bahwa proses tender itu mengandung kolusi oleh ketiga peserta, sehingga Citra bisa menang. Kendati Caltex dianggap tak terlibat persekongkolan, melalui putusan tertanggal 20 April 2001 komisi ini tetap mengharuskan Caltex membatalkan tender dimaksud. Untuk itu, Caltex punya hak naik banding selama 14 hari ke pengadilan negeri.
Sayangnya, vonis perdana komisi itu terkesan amat rendah. Sebab, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Antimonopoli, pelanggar larangan persaingan sehat mestinya didenda minimal Rp 5 miliar atau lima bulan kurungan. Wakil Ketua Komisi, Syamsul Maarif, hanya mengatakan bahwa undang-undang tak mengharuskan hukuman kumulatif berupa pembatalan kontrak, ganti rugi, ataupun denda sekaligus.
Tak mengherankan bila Caltex, sebagaimana diutarakan juru bicaranya, Renville Almatsier, merasa lega dengan vonis komisi itu. "Kami cukup puas karena tak diputuskan bersalah," ujarnya.
Kalau preseden semacam itu berulang, agaknya Undang-Undang Antimonopoli menjadi tak efektif. Padahal, praktek bisnis monopoli dan persaingan tak sehat hingga kini masih merebak. Contohnya, perusahaan retail Indomaret yang diduga menyebabkan kematian warung-warung di sekitarnya. "Komisi masih menyelidiki apakah warung-warung tutup karena kehadiran Indomaret atau karena faktor lain," kata Syamsul.
Demikian pula Bogasari, Asahi Mas, Indofood, dan Pertamina, yang diperkirakan telah menguasai pasar lebih dari 50 persen. Menurut Syamsul, komisi ini juga terus memantau kasus gaya bisnis empat perusahaan itu.
Agus S. Riyanto, Hendriko L. Wiremmer
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo