BATMOBILE, mobil milik tokoh rekaan Batman yang bisa melesat ke udara, sekarang memang hanya khayalan anak-anak. Namun, sebentar lagi kendaraan secanggih itu juga akan menjadi impian orang dewasa untuk memilikinya. "Mobil terbang" bakal bisa dimiliki umum setelah Skycar M400X, produksi Moller International, perusahaan penelitian pesawat dari California, Amerika Serikat, baru saja dinyatakan lolos uji keselamatan terbang. Dalam beberapa bulan mendatang Skycar akan mengukirkan namanya dalam sejarah transportasi manusia dengan melakukan penerbangan pertamanya.
Laksana sedan, Skycar bisa ditumpangi empat orang. Ukurannya sebanding dengan limosin enam pintu: panjang 4,6 meter, lebar 2,3 meter, dan tinggi 1,5 meter. Seperti mobil, Skycar juga berbahan bakar bensin. Dan tak seperti pesawat, Skycar tak memerlukan landasan pacu untuk terbang karena pesawat jet ringan ini bisa take off secara tegak lurus. Karena itu, pesawat yang nyaris tanpa sayap dan bentuknya lebih mirip mobil itu mungkin pula diparkir di halaman parkir yang tak terlalu luas.
Bila akan diterbangkan, tinggal naik ke atas dan wus-wus-wus, langsung melesat. Jalanan macet tak jadi soal. Bila kaum jet set mau berkantor sekaligus di dua kota pun tak akan jadi masalah. Dengan kecepatan 560 kilometer per jam dan daya jelajah 900 mil (1.440 kilometer), jarak Jakarta-Surabaya hanya akan ditempuh sekitar dua jam.
Semua kecanggihan itu tidaklah diperoleh dengan mudah. Paul Moller telah merintisnya sejak tiga dasawarsa lalu dan menghabiskan US$ 100 juta untuk riset. Karya pertamanya, XM2, yang diciptakan pada 1969, belum sempurna. Guncangan saat XM2 terbang kelewat kencang sehingga tak aman untuk pesawat penumpang. Moller yang pengajar di University of California, Davis, Amerika Serikat, itu tak putus asa. Dua puluh tahun kemudian, ia menciptakan M200X yang bermuatan dua penumpang. Sayang, M200X sering mogok saat di udara hingga tak layak untuk diproduksi massal.
Dibandingkan dengan dua produk sebelumnya, Moller yakin Skycar M400X jauh lebih bagus. Harganya memang masih mahal, US$ 1 juta atau sekitar Rp 800 juta dengan kurs Rp 8.000 per dolar. Tapi, bila sudah diproduksi massal oleh Moller's International, harga bakal bisa ditekan. "Sebanding dengan harga mobil mewah," kata Moller.
Sebagai ancer-ancer, Moller menyebut angka US$ 60 ribu atau sekitar Rp 480 juta. Tidak terlalu jauh, memang, dengan harga sedan BMW atau Volvo yang di Amerika dihargai sekitar US$ 40 ribu. Rencananya, Moller akan memproduksi sekitar 500 unit Skycar per tahun.
Dari sisi teknologi, sebenarnya Skycar tidak betul-betul baru. Pada 1957, Felix Wankel, ilmuwan dari Jerman, telah membuat mesin rotor untuk jet yang sederhana dan efisien. Moller kemudian memodifikasi mesin Wankel ini menjadi super-ringan dengan bahan baku aluminium. Pada awal 1980-an, datang lagi inspirasi dari Sea Harrier, pesawat jet milik armada tempur Inggris. Dengan mesin VTOL (vertical take off and landing), Sea Harrier jadi bintang di tengah arena Perang Malvinas, 1982. Areal supersempit tak jadi soal, karena Sea Harrier bisa bermanuver lincah, tinggal landas, dan mendarat secara tegak lurus.
Menurut ahli aeronautika dari Industri Pesawat Terbang Nusantara, Bandung, yang kini menjadi deputi kepala bidang teknologi industri rancang bangun dan rekayasa di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Dr. Said D. Jenie Sc. D., prinsip kerja Skycar seperti umumnya mesin pesawat terbang turboprop atau baling-baling. Hanya saja volantor seperti Skycar itu pada saat take off bisa naik secara vertikal. "Naiknya itu karena ada pergerakan mekanisme pipa sembur gas (deflected nozzle). Pancaran gas yang disemburkan ke bawah mengangkat badannya ke atas," kata Said.
Berbeda dengan pesawat serupa buatan Rusia, pesawat Yak 42 yang memakai dua mesin, pesawat buatan Moller ini cukup hanya dengan satu mesin. Pada Yak 42 ada mesin untuk keperluan naik ke atas dengan semburan gas ke arah bawah dan satu mesin lagi untuk semburan gas ke belakang.
Sementara itu, Skyfar hanya menggunakan satu mesin yang disebut ducted fans, yaitu gabungan antara propeler (baling-baling) dan turbo fan. Baling-baling itu diberi selubung sehingga ada dua gas yang disemburkan, yaitu gas dingin dari baling-baling dan gas panas dari mesin pembakaran. Pancaran gas diperoleh dari pembakaran udara yang dihisap serta baling-baling yang berputar, yang berasal di selubung. Nah, kedua semburan gas itu tinggal diatur. "Jadi teknologinya tidak begitu baru tapi aplikasinya yang baru," kata Said.
Di mata Said, dari segi harga, bukan sesuatu yang mustahil bila orang superkaya Indonesia kepincut Skycar. Maklumlah, mobil Jaguar atau Porsche model mutakhir senilai Rp 1 miliar pun tak jarang dijumpai di tengah macetnya jalanan Jakarta. Dari sisi teknologi pun tak ada hambatan. Cukup banyak peminat penerbangan yang sanggup mengantisipasi perbaikan mesin atau kesulitan lainnya.
Cuma, kemungkinan penggunaan pesawat ringan yang bisa melayang di ketinggian mulai dari 40 kaki sampai 30 ribu kaki (12-9.000 meter) itu cukup mengherankan Said. "Yang jadi soal, dengan awak satu sampai empat orang, lantas, untuk apa terbang tinggi itu?" tanya Said.
Sementara itu, pemerintah—bahkan pemerintah negara maju—kemungkinan besar akan menimbang berpuluh kali untuk mengizinkan Skycar sebagai pesawat pribadi, yang umumnya terbang rendah. Alasannya, Skycar bisa mengganggu sistem navigasi pesawat komersial yang ada di lintasan 30-42 ribu kaki. Bila diizinkan sebagai pesawat pribadi, Said menekankan, Skycar harus diatur garis lintasnya secara tegas. "Kalau tidak ingin terjadi kesemrawutan di udara," katanya.
Pesawat praktis seperti Skycar, diakui pengamat dunia penerbangan yang sehari-hari adalah pemimpin redaksi majalah Angkasa, Dodi Sudibyo, memang mungkin berguna bagi instansi yang membutuhkan langkah supercepat, misalnya patroli keamanan, pelayanan kesehatan di wilayah terpencil, dan pemantau kebakaran hutan.
Namun, bagi yang berminat, jangan dulu berharap besar untuk segera bermobil terbang. Skycar tidak akan dengan segera masuk ke Indonesia. "Masih lama. Pesawat Ultra Light saja untuk masuk ke sini lama sekali mendapat persetujuan pemerintah. Helikopter kecil Robin, misalnya, kategorinya juga belum ada di Indonesia sehingga pemasarannya sampai sekarang masih tersandung karena peraturannya tidak ada," kata Dodi.
Mardiyah Chamim dan Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini