SEMULA persidangan kasus pemalsuan yang berlangsung sejak Februari 1999 di Pengadilan Negeri Medan itu tampak biasa-biasa saja. Tiba pada hari H, Selasa pekan lalu, majelis hakim yang diketuai R. Naibaho memvonis Datuk Syamsir, Datuk Usman, dan Datuk Adilsyah masing-masing dengan hukuman satu setengah tahun penjara. Ketiga bersaudara itu dianggap memalsu surat bukti kepemilikan tanah seluas 35 hektare di pusat Kota Medan.
Namun, tatkala Hakim Naibaho mengucapkan angka hukuman tadi, terdengar suara riuh dari 75 orang keluarga terdakwa. "Hakim botak, hakim tak adil," teriak kerabat para ahli waris almarhum Datuk Muhammad Cher itu. Sekalipun demikian, Naibaho, yang bertubuh gemuk dan berkepala botak, tetap menanyakan sikap para terdakwa atas vonisnya. Serempak ketiga terdakwa menyatakan naik banding.
Sampai di situ, situasi masih aman terkendali. Usai sidang, majelis hakim meninggalkan ruang sidang. Begitu pula segenap keluarga terdakwa—kebanyakan remaja dan ibu-ibu—mereka melangkah keluar. Tapi, karena kesal, mereka bersama ketiga terdakwa berkumpul di koridor, di depan ruang sidang. Mereka menganggap putusan hakim lebih membela pengusaha yang kini menguasai tanah warisan mereka.
Mendadak, beberapa remaja anggota keluarga itu, yang diikuti oleh para ibu, berteriak, "Ayo, kita cari hakim botak. Hakim tak adil yang bikin susah kita." Dalam sekejap, segenap kerabat itu berpencaran mencari-cari Naibaho serta dua hakim anggota, yakni M.H.J. Marpaung dan D. Tumanggor. Namun, ketiga hakim tak kunjung ditemukan. Sembari berteriak-teriak dan memukuli dinding ataupun pintu pengadilan, mereka terus mencari para hakim.
Suasana mulai panas. Mujur bagi Naibaho, para pemburu tak melihat dirinya yang bersembunyi di balik lemari di ruang kerjanya. Dengan bantuan petugas pengadilan, Naibaho diselamatkan melalui pintu belakang. Ia segera naik becak dan meninggalkan gedung pengadilan. Sedangkan Tumanggor sudah membaca gelagat buruk. Sebelum massa memergoki dirinya, ia sempat menghambur meninggalkan lokasi dengan kendaraan pribadi.
Nahas buat Marpaung. Para penyerbu melihat dia yang sedang berada di ruang panitera. Melihat massa yang marah, petugas pengadilan cepat-cepat menutup pintu ruang panitera. Tak terhindar lagi, daun pintu itu dipukuli massa. Namun, mereka tak sempat menangkap Marpaung karena hakim itu langsung lompat dari jendela setinggi dua meter. Sang hakim berlari ke kantor Kodim, yang terletak di sebelah gedung pengadilan.
Celaka dua belas, massa melihat lalu mengejarnya. Untung, petugas Kodim buru-buru melindungi Pak Hakim, yang kelihatan lemas dan wajahnya pucat karena dikerumuni massa. Ternyata, Marpaung tak diapa-apakan. "Mana hakim botak yang tak adil itu?" seru kerabat Datuk Cher. Namun, kemarahan massa itu tak sampai meledak, dan gedung pengadilan tidak dirusak. Lagi pula, petugas Kodim dapat segera mengatasi keadaan dan massa pun dibubarkan.
Hanya, peristiwa pahit itu tidak cuma merendahkan martabat hakim, melainkan juga mencoreng wibawa pengadilan. Keprihatinan itulah yang kini membebani pikiran segenap hakim di Medan. Apalagi Marpaung, yang telah mengabdi selama 30 tahun, mengaku baru kali itu mengalaminya. "Sampai-sampai anak dan istri saya menangis mendengar kejadian itu," ujarnya.
Yang mengherankan, para hakim itu mengaku tak hendak memerkarakan keluarga ahli waris almarhum Datuk Muhammad Cher. "Mungkin mereka cuma emosi karena kalah berperkara," kata Naibaho. Ia pun menyatakan bahwa vonis pidana terhadap ketiga terdakwa sudah berdasarkan bukti-bukti di persidangan dan keyakinan hakim.
Tak demikian halnya bagi tiga terdakwa dan kerabatnya. Bagi mereka, putusan itu jauh dari rasa keadilan. Sebab, surat bukti kepemilikan tanah berupa grand Sultan Tengku Otteman tahun 1935 itu memang asli. Grand milik ayah sultan Deli itu (almarhum Sultan Azmi Perkasa Alam) telah diberikan kepada Datuk Muhammad Cher. Dengan demikian, tanah itu menjadi milik sah para ahli waris Datuk Muhammad Cher.
Namun, pada 1987, menurut pihak terdakwa, Direktur Jenderal Agraria—waktu itu Sarwata—memberikan hak pakai atas tanah seluas 35 hektar itu kepada Yayasan Angkatan Udara (Yasau). Belakangan, pada 1990, Yasau menjual 21 hektare dari lahan itu kepada PT Taman Malibu Indah. Perusahaan pengembang itu lantas membangun rumah-rumah mewah berharga miliaran rupiah di situ.
Tentu saja ahli waris Datuk Muhammad Cher menggugat keputusan Direktur Jenderal Agraria. Sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung, mereka menang. Tapi, di tingkat peninjauan kembali, majelis hakim agung yang dipimpin Ketua Mahkamah Agung Sarwata mengalahkan mereka. Setelah kalah, 3 dari 13 ahli waris itu pun sekarang dipidana.
Happy S., Bambang Soedjiartono (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini