Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Padi Unggulan

22 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebagai negara dengan makanan pokok nasi, Indonesia memiliki banyak varietas lokal, seperti beras Pandanwangi, Rojolele, dan Siam Unus. Selain pulen dan rasanya enak, beras lokal ini juga wangi. Sayang, produktivitasnya rendah dibandingkan dengan padi varietas unggul baru seperti IR-64, Way Apo Buru, Memberamo, Widas, Tukad Unda, dan Ciherang.

Apalagi, persilangan dan rekayasa genetik juga menghasilkan padi varietas unggul aromatik, seperti Celebes, Sintanur, Batang Gadis, dan Ciliwung. Varietas Batang Gadis memiliki aroma relatif sama dengan Rojolele dan Pandanwangi. Umur Batang Gadis pendek, cuma 110 hari, juga tahan wereng cokelat dan hawar daun.

Varietas unggul memang terbukti meningkatkan produksi padi, genjah (berumur pendek), tahan hama dan penyakit. Sayangnya, kini sebagian varietas unggul itu tidak mampu meningkatkan hasil. Ketahanan terhadap hama dan penyakit juga menurun karena terbatasnya kemampuan genetik tanaman. Kenyataan ini memicu upaya pemuliaan padi baru sebagai pengganti.

Dengan alasan meningkatkan ketahanan pangan nasional dan agrobisnis padi, setidaknya ada lima instansi yang secara khusus bertugas merakit padi unggul baru. Tiga di antaranya berlokasi di Bogor, yaitu Puslitbang Tanaman Pangan, Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, dan International Rice Research Institute (IRRI). Sedangkan Balai Penelitian Tanaman Padi berpusat di Subang, dan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian berada di Sumatera Utara.

Peneliti Puslit Bioteknologi LIPI, Inez H.S. Loedin, menyatakan bahwa tantangan menciptakan varietas unggul baru adalah harus mempertimbangkan banyak faktor. Bukan hanya tahan hama dan penyakit. Misalnya, 10 tahun ke depan temperatur akan makin panas dengan meningkatnya pemanasan global. Tak cuma tahan penyakit, produktivitas padi baru ini harus tinggi karena lahan pertanian makin sempit. ”Juga harus bisa ditanam di lahan marginal yang kurang subur,” ujarnya.

Doktor bioteknologi dari Universitas Leiden ini bekerja sama dengan Belanda untuk merakit padi yang tahan kekeringan sehingga bisa ditanam di lahan marginal. Pada saat ini dia telah berhasil mengembangkan padi tahan penggerek batang. Uji coba di 20 lokasi menunjukkan peningkatan produksi 20-129 persen.

Tapi, itu saja belum cukup untuk melepas padi varietas baru ini. ”Masih harus uji dampak lingkungan dan ketahanan pangan,” kata Inez. ”Butuh waktu dan biaya besar.”

TD

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus