Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apakah penandatanganan kesepakatan antara pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka akan mengakhiri konflik di Aceh secara menyeluruh? (10-17 Agustus 2005) | ||
Ya | ||
29,67% | 108 | |
Tidak | ||
64,84% | 236 | |
Tidak tahu | ||
5,49% | 20 | |
Total | 100% | 364 |
PEMERINTAH Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka meneken nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) damai di Helsinki. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebut kesepakatan itu sebagai langkah positif untuk melenyapkan konflik bersenjata di Aceh selama-lamanya. ”Yang tenang, sejahtera, dan demokratis di bumi Nanggroe Aceh Darussalam,” kata Yudhoyono.
Harapan yang terdengar indah itu tentu tak mudah dicapai. Bahkan, sebelum ke-sepakatan damai ditandatangani, peme-rintah dihujani kritik karena dianggap berjalan sendirian ke Helsinki dan menutup-nutupi isi kesepakatan.
Beberapa politisi, seperti mantan pre-siden Abdurrahman Wahid, mantan pre-siden dan Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Sukarnoputri sempat mendesak agar isi rancangan itu dibuka dahulu sebelum diteken.
Harapan senada sempat disuarakan oleh Ketua DPR Agung Laksono. Pemerintah diminta tak menyimpan kesepakatan damai yang telah ditandatangani, dan di-minta menyebarluaskannya ke seluruh masyarakat.
Setelah butir-butir kesepakatan terang-benderang, Megawati sontak bersuara lantang. Ia menyatakan kekecewaannya terhadap isi kesepakatan damai Aceh. Megawati menilai kesepakatan itu dapat mengancam keutuhan wilayah Indonesia.
Nota kesepahaman itu dinilai telah me-muat substansi kemerdekaan bagi peme-rintahan Aceh, dengan menganugerahkan kedaulatan di bidang politik, ekonomi, dan budaya.
Untung bagi pemerintah, sejauh ini para wakil rakyat tak bersuara miring. Seusai menyaksikan siaran langsung penandata-nganan kesepakatan tersebut, Agung berjanji DPR akan mengamankan butir-butir kesepakatan damai.
Sikap DPR yang memilih berdiri di belakang pemerintah ternyata tak cukup meyakinkan para responden Tempo Interaktif bahwa konflik di Aceh akan segera berakhir. Dalam jajak pendapat selama sepekan kemarin, mayoritas responden tak melihat korelasi langsung antara penandatanganan kesepakatan damai dan tuntasnya konflik di Aceh.
Salah satunya B. Simarmata, warga Depok responden Tempo Interaktif. ”Gerakan itu mustahil bisa bertahan puluhan tahun kalau tidak ada yang mendanai,” ujar Simarmata. Ia juga berharap semoga ke-sepakatan itu tidak menjadi awal lepasnya Aceh dari Indonesia.
Indikator Pekan Ini: Kepolisian Daerah Metro Jaya meng-incar 40 preman kelas kakap dalam razia ber-sandi ”Operasi Serutama 2005”. Kepala Ke-polisian Metro Jaya, Inspektur Jenderal Firman Gani, mengatakan seluruh aparat kepolisian di Jakarta dan sekitarnya tengah- menempel ketat para preman tersebut. Yang dimaksud preman kelas kakap oleh Firman bukanlah para penjahat jalanan semacam pencopet, perampas motor, atau penjambret. ”Preman-preman ini ber-operasi di perkantoran. Mereka meminta proyek dengan memaksa, menagih utang, menjadi beking lahan sengketa, sampai mendalangi pembunuhan.” Apakah Anda percaya Operasi Serutama 2005 jitu untuk mengurangi tindak kejahatan di Jakarta dan sekitarnya? Kami tunggu jawaban dan komentar Anda di www.tempointeraktif.com |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo