ANAK-anak Indonesia semakin laris di mata para calon orang tua angkat. Berbagai yayasan yang khusus menyediakan calon-calon anak angkat pun muncul untuk melayani berbagai pesanan dari luar negeri, terutama Eropa. Tapi berbagai akibat pun datang beruntun. Penculikan, lalu penjualan anak sering terjadi. Di Jakarta kasus Niah alias Kurniati yang pernah menampilkan beberapa penculik bayaran di pengadilan, masih berekor panjang -- bahkan berbelit. Di daerah-daerah lain tampaknya banyak terjadi serupa itu, meskipun hanya beberapa yang terungkap. Di Jawa Timur kasus-kasus pengangkatan anak eks-penculikan -- dengan begitu berarti tak memenuhi prosedur semestinya -- juga sering terjadi. Karena itu Ketua Pengadilan Tinggi Surabaya bersama Gubernur Jawa Timur, April lalu mengeluarkan larangan (sementara) bagi Pengadilan-pengadilan Negeri di daerah itu memproses permohonan adopsi. "Sebelum proses penelitian selesai, tidak diperkenankan mengadakan pengangkatan anak untuk keperluan warga negara asing," begitu antara lain isi larangan Gubernur Ja-Tim. Sebuah tim yang ditugasi Gubernur Ja-Tim untuk meneliti permohonan-permohonan yang sudah masuk maupun yang sudah disahkan, memang belum menyelesaikan tugas. Tapi sudah tercatat, di Pengadilan Negeri Surabaya saja, tahun 1981 diproses dan disahkan hampir 400 permohonan adopsi dari berbagai negara, sebagian besar Belanda. Sedang untuk tahun ini, sampai April, sudah tercatat lebih dari 100 pemohon. Menurut pengamatan Ketua PN Surabaya, Soejoedi SH, anak-anak yang telah resmi diadopsi "umumnya berasal dari orang tua yang tidak bertanggung jawab -- yang tidak laku di masyarakat kita." Hal ini rupanya menjadi salah satu dasar surat edaran Pengadilan Tinggi Ja-Tim tadi. Juga, menurut Soejoedi, tak tertutup kemungkinan penyalahgunaan pengangkatan anak untuk mendapat keuntungan tertentu, misalnya dengan memalsukan data. Ia menyebut kasus terakhir yang masih menjadi pembicaraan di daerah itu hingga saat ini. Yaitu hilangnya Halimah, 6 tahun, yang kini dikabarkan ada di Negeri Belanda. Anak ke-8 dari 10 bersaudara, dari keluarga Muhammad alias Tegil, petani Desa Rohayu, Sampang (Madura) itu, hilang dari rumah sejak Maret 1981. Setelah dicari berbulan-bulan dan menghabiskan sebagian hak milik petani miskin itu, diketahui bahwa Halimah telah diculik Muslimah, yang masih ada hubungan keluarga dengan Tegil. Setelah Muslimah tertangkap, terungkaplah: Halimah telah dijual penculiknya Rp 100.000 kepada sebuah keluarga -- yang kemudian menjualnya pula pada Yayasan Anak Sejahtera di Surabaya. Dalam akta notaris ketika menyerahkan anak itu kepada yayasan tadi disebutkan, Halimah (dikatakan bernama Mislah) adalah hasil hubungan gelap Muslimah (mengaku bernama Chatimah) dengan seorang laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Yayasan Anak Sejahtera yang sudah dikenal di beberapa negara Eropa sebagai penyalur anak-anak yang mau diadopsi, kemudian menyerahkan Mislah kepada sebuah keluarga di Negeri Belanda melalui seorang pengacara di Surabaya. Adapun Chatimah alias Muslimah akhirnya divonis PN Sampang dua tahun penjara. Untung, kemudian pihak Yayasan Anak Sejahtera yang kegiatannya terhenti sejak pelarangan sementara memproses adopsi, menjanjikan, "akan mengurus pengembalian Mislah bila orang tuanya menghendaki." Tapi sampai pekan lalu Muhammad alias Tegil belum mengajukan permintaan resmi. Yang pasti, menurut Ny. Umar Said, dari Yayasan Anak Sejahtera, dari sekitar 200 anak yang dikirim yayasan itu ke Negeri Belanda sejak 1979, hanya Mislah yang berekor panjang. Menurut nyonya itu, yayasannya sampai sekarang masih menyimpan permohonan adopsi dari Italia, Prancis dan banyak lagi dari Negeri Belanda. Ia tak mau menyebut berapa besar yayasan mendapat imbalan dari para pengangkat anak. Tapi, katanya, yayasan memberikan rata-rata Rp 150.000 kepada setiap orang tua yang menyerahkan anaknya. "Sekitar 90% anak-anak yang telah diadopsi melalui yayasan berasal dari hubungan gelap," ungkap Nyonya Umar Said. Mahkamah Agung sendiri, melalui Surat Edaran April 1979 kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, telah memberikan petunjuk-petunjuk terperinci tentang prosedur adopsi. Surat edaran itu menyebut peraturan perundang-undangan yang ada sekarang ternyata tidak cukup mencakup berbagai bentuk pengangkatan anak. Namun berbagai kasus adopsi di Jawa Timur dinilai menyalahi peraturan yang ada. Hal itulah rupanya yang mendorong Pengadilan Tinggi dan Gubernur Jawa Timur menghentikan sementara pemrosesan adopsi. Sumber TEMPO di Pengadilan Tinggi Jawa Timur menyebutkan, tak mustahil dari hasil pemeriksaan tim nanti, beberapa pengangkatan anak yang sudah berlangsung akan ditinjau kembali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini