AHLI teknologl Indonesia sebenarnya bisa dengan mudah
menghindari tuduhan menjiplak ciptaan orang asing. Asalkan
mereka rajin membalik-balik dokumen di gedung Paten Indonesia di
Tangerang, Jawa Barat. "Dokumen paten bisa dipakai untuk
mengecek apakah penemuan itu baru atau tidak," kata David
Hughes, pejabat kedubes Amerika Serikat di Jakarta. Pemerintah
AS, pekan lalu, menyerahkan 300.000 dokumen paten kepada
Sekretaris Jenderal Departemen Kehakiman Nasrun Syahrun.
Untuk menghindari "penjiplakan", Direktorat Paten dan Hak Cipta
Departemen Kehakiman, membuka koleksinya untuk umum. "Tapi,
ilmuwan dan ahli teknologi kita belum banyak memanfaatkannya,"
ujar Direktur Jenderal Hukum dan Perundang-undangan Harsono
Adisumarto. "Padahal kumpulan semacam itu, kecuali sebagai
pembanding, juga menjadi pameran teknologi." Dokumen paten yang
berisi formula, gambar, dan penemunya itu bisa dipelajari dan
dikembangkan lagi menjadi penemuan baru yang lebih sempurna.
Bagaimana dengan hak paten di Indonesia? Departemen Kehakiman
sudah menyusun Rencana Undang-undang (RUU) Hak Paten. "Salah
satu konsep RUU itu ialah siapa yang mendaftarkan lebih dahulu,
dialah yang akan memperoleh hak paten," kata Harsono. Hak paten
akan berlaku untuk tujuh tahun dan bisa diperpanjang delapan
tahun lagi bila benar-benar dilaksanakan.
Sampai sekarang para penemu di sini praktis tidak mempunyai hak
paten. "Belum ada undang-undang yang melindunginya," kata
pengacara kawakan Sudargo Gautama. Mereka hanya diberi
kesempatan mendaftarkan saja dan mendapatkan prioritas hak paten
bila undang-undangnya disahkan. "Dengan demikian, penjiplakan
hanya dianggap kecurangan," katanya.
Tapi Todung Mulya Lubis, dosen hukum dagang FH-UI, menganggap
Surat Keputusan Menteri Kehakiman 1953 sudah "memberikan"
perlindungan hukum bagi seseorang yang mendaftarkan penemuannya.
Kini terdaftar sekitar 9.000 paten pada Departemen Kehakiman.
"Cuma tidak jelas hak eksklusifnya," kata Mulya lubis. Artinya:
pendaftaran itu belum melindungi penemuan yang didaftarkan,
sehingga penemunya tak bisa menuntut sanksi tegas bagi peniru.
Akibat belum adanya undang-undang hak paten, beberapa penemu
Indonesia terpaksa mendaftarkan ciiptaannya di luar negeri.
"Dengan demikian, mereka mendapatkan pengakuan," kata Mulya
Lubis, "dan kemudian dapat mengadakan perjanjian untuk membuat
dan mengembangkan penemuannya itu dengan perusahaan yang
berminat." Ini, terutama, penemuan baru dan eksklusif oleh
perorangan yang tidak terikat pada suatu perusahaan atau
pemerintah.
Bagi peroranan yang bekerja pada swasta? Hak paten atas
penemuannya menjadi hak sepenuhnya perusahaan itu," kata Mulya
Lubis. Pegawai negeri, setelah penemuannya disetujui dan
disahkan LIPI, juga mesti menyerahkan hak patennya kepada
departemen atau lembaga tempat mereka bekerja.
Ternyata, tidak semua penemu eksklusif merasa perlu mendapatkan
hak paten. Agus Gussery, perancang mesin pemisah serat jute
menjadl serat halus, misalnya, menganggap pendaftaran untuk
mendapat hak paten tidak bermanfaat. "Rahasia hak paten di sini
tidak terjamin," katanya. "Sekarang didaftar, besok ada orang
meniru." Pensiunan RPKAD itu sudah membuat 10 mesin pemisah
serat.
Agus menyarankan pencipta lebih bai menamankan sendiri
penemuannya agar tidak mudah dijiplak. Ia sendiri misalnya
menyegel "bagian inti" mesin buatannya. "Kalau mau meniru,
berarti mereka mesti menghancurkan seluruh mesin," katanya.
Hal sama diungkapkan pula oleh Irwan Tampubolon, pencipta alat
pencatat pulsa telepon. "Di Indonesia, biar sudah dipatenkan,
tetap saja akan dibajak orang," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini