MENGELOLA perguruan tinggi swasta (PTS) mirip mengelola
perusahaan, harus dengan perhitungan dagang. Ini pernah
dikatakan D. Khumarga, rektor Universitas Tarumanegara, Jakarta.
Mungkin karena itu, kini ada pula mahasiswa PTS yang bersikap
dagang. Mereka beranggapan, pengeluaran mesti sesuai dengan
yang diperoleh. Tak jadi soal berapa besar uang kuliah yang
harus mereka bayar, asal PTS memberikan yang mereka cari,
misalnya fasilitas pendidikan yang cukup.
Namun, tak curma fasilitas yang dituntut para mahasiswa
perguruan tinggi swasta itu. Kini, ada pula mahasiswa PTS
yang memperhatikan mutu perguruan tinggi mereka. Kesehatan
dan Ekologi Surakarta (IKES). Mahasiswa mogok kuliah, minta agar
status Institut, yang selama ini seperti ditutup-tutupi,
dijelaskan. "Saya tak keberatan membayar uang kuliah Rp 200 ribu
dan uang pembangunan Rp l50 ribu," kata seorang mahasiswa asal
Wonogiri. "Asal mutu IKES terjamin. Misalnya dikatakan kepada
kami status IKES ini terdaftar atau bagaimana."
Singkat kata, mahasiswa PTS kini tak lagi puas dengan status
mahasiswa. Mereka pun menanyakan berapa persen uang yang
dikembalikan untuk kepentingan belajar mereka. Juga, seberapa
serius kampus mereka mengejar status dari Koordinator Perguruan
Tinggi Swasta setempat.
Sebab, besarnya uang kuliah di PTS memang menimbulkan dugaan
macam-macam: ke mana larinya uang itu. Taruh saja Universitas
Jayabaya yang memungut uang kuliah dari Rp 400 ribu sampai Rp
600-an ribu itu. Sayang, bagaimana Jayabaya membagi anggaran
tahunannya tak diketahui. Muslim Thaher, rektornya, seperti
menghindari wartawan belakangan ini.
Sebuah contoh bagaimana PTS mengatur anggarannya dengan
hati-hati datang dari Universitas Katolik Atmajaya, Jakarta. Di
sini uang kuliah ditentukan antara Rp 160 ribu dan Rp 450 ribu.
Dan untuk enam fakultas, tahun ini, menurut Gerard Bonang,
rektor Atmajaya, anggaran keseluruhan mencapai Rp 2 milyar.
"Setengah dari jumlah anggaran itu untuk kesejahteraan dosen dan
karyawan," katanya.
Sisanya, untuk pengadaan sarana akademis (antara lain untuk
pengadaan buku dan bahan praktikum). Juga untuk memberikan
beasiswa sejumlah mahasiswa (kini ada 250 mahasiswa yang
dibebaskan uang kuliahnya dan diberi beasiswa). Konon, uang
kulih dan uang pangkal mahasiswa baru (yang besarnya dari "nol
sampai sekian juta," kata Bonang) cuma menutup 60% anggaran.
Kekurangan ditutup pihak yayasan yang memang punya usaha, antara
lain, rumah sakit Unika Atmajaya.
Dengan cara itu Atmajaya mempertahankan mutu dan membayar
kembali uang kuliah ratusan ribu yang ditarik dari mahasiswa.
Juga IKES, yang ternyata baru punya izin operasional, meski baru
berdiri Agustus yang lalu, memakai 500 anggaran untuk membayar
dosen. Yang setengahnya lagi untuk pengadaan sarana perkuliahan,
biaya administrasi dan 20% untuk pengembangan institut,
termasuk antara lain penyiapan gedung. "Pokoknya, usaha kami
baru. Bagaimana tidak rugi ?" kata Sumijo, ketua yayasan yang
mendirikan IKES yang punya 220 mahasiswa ini.
Universitas negeri memang hanya memungut uang kuliah untuk
mahasiswa baru sekitar Rp 60 ribu dan mahasiswa lama Rp 30
ribu. Dan itu, menurut Doddy Tisnaamidjaya, direktur jenderal
pendidikan tinggi, hanya 10% ongkos yang harus dikeluarkan
pemerintah untuk membiayai perguruan tinggi negeri. Karenaitu
logikanya, bila sebuah PTS memungut uang kuliah Rp 300 ribu
sampai 600 ribu, paling tidak harus bisa menyediakan fasilitas
yang sama dengan PT negeri. Bila tidak terjadi, agaknya pantas
bila mahasiswa turun bertanya kepada pengelola
kampus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini