Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM setiap kejadian hujan, dari yang sangat lebat dan berkepanjangan hingga yang hanya gerimis di tengah musim kemarau, selalu ada data yang namanya curah hujan. Data ini biasanya memiliki satuan milimeter dan dituai hanya di stasiun-stasiun cuaca.
Di Indonesia, ada 178 stasiun seperti itu, yang, menurut Dedi Sucahyono, Kepala Stasiun Klimatologi Dramaga, jumlahnya amatlah minim. "Peralatan cuaca sangat mahal harganya," kata Dedi, Selasa pekan lalu.
Masalah kerapatan stasiun cuaca yang rendah di Indonesia—bahkan di dunia—inilah yang melatarbelakangi tim peneliti di Delft University, Belanda, menciptakan sebuah payung cerdas. Begitu dikembangkan, payung tidak cuma menjadi pelindung dari hujan, tapi juga berfungsi mengukur curah hujan yang turun saat itu.
Kuncinya ada pada sensor yang mampu mengukur getar kanvas payung akibat tetesan air hujan dari langit. Sensor tersambung ke perangkat Bluetooth telepon seluler, yang lalu mengirim informasi getaran tersebut ke komputer.
Satu payung mungkin tak bermakna. Tapi bayangkan kalau puluhan, ratusan, atau ribuan payung terkembang di banyak wilayah setiap kali hujan turun. "Kita akan memiliki begitu banyak alat ukur curah hujan, dan itu artinya perbaikan besar untuk kemampuan memahami hidrologi suatu kawasan urban," ujar Rolf Hut, ketua tim peneliti. "Ini akan membuat kita lebih mampu memprediksi banjir dan mengukur jika segala sesuatu memburuk."
Hut dan timnya telah menunjukkan prototipe payungnya itu—yang bergambar Winnie the Pooh—dalam Sidang Umum European Geosciences Union di Wina, Austria, 27 April-2 Mei lalu. Saat itu, mereka mempresentasikan data dari hasil eksperimen yang dilakukan di halaman belakang rumah saat gerimis. "Hasilnya berkorelasi dengan yang terukur menggunakan alat yang sudah dikalibrasi sebelumnya yang ada di halaman," katanya.
Hut membayangkan teknologi ini bisa diaplikasikan pada setiap payung atau setidaknya "payung premium". "Jika Anda ingin terlibat langsung dalam pengukuran hujan, tinggal kembangkan payung saja."
Meski mengakui pengukuran bisa lebih massal dan, yang terpenting, lebih murah, Dedi tidak menganggap pengukuran unsur cuaca, termasuk curah hujan, sederhana. Kecerdasan payung Hut disebutkannya sebatas mengumpulkan dan mengirim data. "Data masih harus diolah dan dianalisis," ujarnya.
Menurut dia, komputer pengolah data yang digunakan umumnya menerima input dari hasil pengamatan yang sudah permanen koordinatnya dan memiliki data historis serta homogenitas data. "Sebab, bukan hanya peralatan, saat ini di Indonesia juga sangat minim sumber daya manusia untuk memantau dan menganalisis cuaca," kata Dedi setengah mengeluh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo