Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Berada di antara Samudera Hindia dan Pasifik membuat penting bagi Indonesia untuk memahami variabilitas curah hujan karena fenomena El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan (Indian Ocean Dipole) IOD. “Banyak penelitian menunjukkan bukti pentingnya wilayah ini terhadap variabilitas curah hujan karena IOD dan ENSO,” ucap pengamat Meteorologi dan Geofisika Muda-BMKG, Ari Kurniadi, dalam sebuah diskusi daring, Kamis 4 April 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ENSO merupakan pola iklim berulang yang melibatkan perubahan suhu perairan di Samudera Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Sedangkan IOD adalah perbedaan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik sebelah barat, yaitu di Laut Arab, dan timur yang ada di selatan Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ari, penelitian di Tanah Air yang berfokus kepada dampak ENSO dan IOD terhadap curah hujan ekstrem di Indonesia masih terbatas. Padahal, dia menyebutkan, dampak variabilitas alami dari kedua fenomena di dua samudera yang berbeda tersebut sangat penting untuk dipahami.
Berdasarkan data dalam risetnya, Ari yang sedang menyelesaikan S3 di University of Auckland, Selandia Baru, ini menunjukkan bahwa kejadian ENSO dan IOD bisa terjadi secara mandiri atau bersamaan. La Nina dan IOD Negatif yang terjadi berbarengan disebutnya akan berdampak kepada Indonesia yang lebih basah (banyak hujan).
"Ketika IOD positif berbarengan dengan El Nino, impactnya menimbulkan Indonesia cenderung kering ekstrem,” katanya.
Hujan Ekstrem Semakin Ekstrem di Masa Depan
Ari juga mengungkap berdasarkan data perbedaan suhu rata-rata global di dunia bahwa sepuluh tahun terakhir ini adalah dekade terpanas sepanjang masa. Tren yang sama, kata dia, terjadi di Indonesia.
Menurut Ari, meningkatnya CO2 di atmosfer memberikan pengaruh yang besar terhadap peningkatan temperatur di muka Bumi. Data dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Amerika Serikat pada Februari 2024 menunjukkan bahwa konsentrasi CO2 dari tahun ke tahun tidak pernah menurun.
“Data untuk Maret 2024 juga menunjukkan peningkatan terus, jadi indikasinya ya pemanasan akan terus terjadi,” kata Ari.
Dijelaskannya, kondisi pemanasan yang berlanjut akan memanaskan permukaan Bumi hingga menimbulkan penguapan air yang semakin tinggi. Uap air yang cukup banyak terkonsentrasi di udara lalu terdistribusi hingga turun hujan. Kondisi uap air yang jatuh ini bisa jadi tidak merata sehingga ada sebagian yang mengalami ekstrem basah dan yang lain ekstrem kering.
“Hal ini memberi efek terhadap kejadian bencana hidrometeorologi," kata Ari sambil menambahkan, "Data BNPB menunjukan dalam 10 tahun terakhir yaitu 2011-2020 kejadian bencana hidrometeorologi meningkat cukup signifikan.”
Ari menekankan bahwa, berdasarkan pemodelan iklim global, pemanasan di Bumi kemungkinan besar akan menyebabkan hujan ekstrem semakin ekstrem di masa depan. “Proyeksi curah hujan ekstrem di masa depan ini perlu menjadi perhatian para pengambil kebijakan di Indonesia,” kata Ari.
Kepala Pusat Riset Iklim dan Atmosfer di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Albertus Sulaiman, juga menyoroti yang sama. Menurutnya, penting meningkatkan pemahaman mengenai curah hujan ekstrem di Indonesia karena pengaruh ENSO dan IOD.
"Karena fenomena-fenomena itu mempengaruhi kondisi iklim kita saat ini dan beberapa tahun ke depan," kata dia dalam diskusi yang sama.