Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Perlukah Pembatasan Media Sosial untuk Anak-anak?

Pemerintah menyiapkan peraturan tentang perlindungan anak di ruang digital. Membatasi anak mengakses media sosial.

21 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi anak membuka laman media sosial Instagram. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pada November 2024, Australia mengesahkan undang-undang yang melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial.

  • Prancis sejak 2023 mewajibkan anak di bawah usia 15 tahun mendapat izin orang tua sebelum membuat akun media sosial.

  • Kementerian Komunikasi dan Digital tengah mempertimbangkan aturan pembatasan media sosial untuk anak-anak.

KEKHAWATIRAN terhadap dampak media sosial pada anak terus meningkat di berbagai belahan dunia. Australia, misalnya, pada akhir November 2024 mengesahkan undang-undang pembatasan media sosial yang melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan platform media sosial, seperti TikTok, Snapchat, Instagram, X, dan Reddit. Regulasi ini bertujuan melindungi kesehatan mental dan fisik anak-anak selama masa penting perkembangan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Adapun Prancis sejak 2023 mewajibkan anak di bawah 15 tahun mendapat izin orang tua sebelum mendaftar di media sosial. Platform media sosial juga diwajibkan menerapkan sistem verifikasi untuk memastikan izin itu benar-benar diperoleh. Pemicunya adalah data L'Association e-Enfance yang menunjukkan 82 persen anak di bawah umur terpapar konten berbahaya secara daring, seperti penjualan narkotik, senjata, serta gambar dan video tak pantas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini Indonesia tengah mempertimbangkan penerapan regulasi serupa. Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengungkap hal tersebut setelah mengikuti rapat terbatas dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Merdeka pada Senin, 13 Januari 2025. Meutya mengaku banyak berdiskusi seputar strategi pemerintah dalam perlindungan anak di ruang digital, termasuk pembuatan aturan perlindungan anak di Internet.

Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid memberikan keterangan usai rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto yang membahas peraturan pemerintah atau undang-undang perlindungan anak di ranah digital, di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, 13 Januari 2025. TEMPO/Imam Sukamto

Menurut Meutya, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah lebih dulu. Kemudian Kementerian Komunikasi dan Digital akan mengkaji upaya perlindungan anak di ranah digital itu untuk dimasukkan ke undang-undang. "Kami pelajari dulu betul-betul. Tapi, pada prinsipnya, sambil menjembatani aturan yang lebih ajek, pemerintah akan mengeluarkan peraturan pemerintah lebih dulu," ujarnya.

Politikus Partai Golkar itu menuturkan pemerintah akan melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menentukan rumusan aturan yang tepat. "Sekali lagi, kami keluarkan aturan sambil berbicara dengan DPR mengenai undang-undang seperti apa yang bisa kami terbitkan untuk melindungi anak-anak," ucapnya.

Rencana pembatasan usia pengguna media sosial sebenarnya bukan barang baru. Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2020 pernah mengusulkan batasan usia pengguna untuk bisa memiliki akun media sosial dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yakni 17 tahun. Di bawah usia tersebut, harus ada persetujuan dari orang tua untuk bisa mendaftar di media sosial. Namun rancangan undang-undang yang disahkan pada 20 September 2022 itu tidak mengakomodasi usul tersebut.

Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Akbarshah Fikarno Laksono menegaskan bahwa pemerintah akan segera menyusun aturan mengenai isu yang tengah menjadi perhatian publik itu. "Pemerintah akan menggodok aturannya seperti apa dan kami akan me-review sejauh mana efektivitas kebijakan tersebut," katanya, Senin, 20 Januari 2025.

Dave mengimbuhkan, DPR membuka peluang membahas regulasi tambahan jika diperlukan. "Bila dibutuhkan produk legislasi lebih lanjut, kami siap membahas pembuatan undang-undang demi mengatur hal tersebut." Namun ia mengaku DPR belum menggelar rapat kerja dengan Kementerian Komunikasi dan Digital karena masih reses.

Di sisi lain, Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian meminta rencana pembatasan usia pengguna media sosial tidak menghalangi akses anak untuk mendapatkan informasi. Menurut dia, pembatasan itu tak menjadi masalah, asalkan ada alternatif media sosial untuk anak. "Melarang penggunaan media sosial bisa membuat anak kehilangan kesempatan mengakses informasi yang memberi manfaat," ujarnya, Kamis, 16 Januari 2025.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik, 80,32 persen pelajar usia 5-24 tahun menggunakan Internet pada 2024. Sebanyak 67,65 persen di antaranya mengakses media sosial. Survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia terhadap 8.700 responden pada tahun lalu juga menemukan 48 persen anak di bawah usia 12 tahun memiliki akses Internet, dengan sebagian di antaranya menggunakan platform Facebook, Instagram, dan TikTok.

Sebelumnya, penelitian Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) pada 2023 mengungkapkan bahwa 89 persen anak di Indonesia menggunakan Internet setiap hari dengan durasi 5 jam 24 menit. Sebanyak 13,4 persen anak di antaranya memiliki akun yang dirahasiakan dari orang tua. Anak-anak itu menghadapi risiko yang signifikan, termasuk terpapar konten tidak pantas, perundungan siber, serta eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring.

Penelitian yang dilakukan dengan mewawancarai 510 anak itu juga mendapati 42 persen anak merasa tidak nyaman atau takut terhadap pengalaman daring mereka. Sebanyak 48 persen di antaranya pernah dirundung anak lain. Selain itu, 50,3 persen anak pernah melihat konten bermuatan seksual dan 2 persen anak pernah diperlakukan atau diancam untuk melakukan kegiatan seksual. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa banyak anak dan orang tua tak punya pengetahuan menjaga keamanan diri yang memadai.

Belajar melalui kanal YouTube saat peluncuran layanan internet desa di Desa Banteng, Tersono, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, 8 Agustus 2024. ANTARA/HARVIYAN PERDANA PUTRA

Berangkat dari data yang mengkhawatirkan itu, Direktur Eksekutif Information and Communication Technology Institute Heru Sutadi menilai pembatasan umur pengguna media sosial merupakan hal baik. Tujuannya, kata dia, membatasi anak dari terpaan negatif media sosial. Namun, ia melanjutkan, alih-alih membuat regulasi baru, pemerintah seharusnya berfokus melaksanakan aturan yang sudah ada, mengedukasi masyarakat, dan menuntut platform media sosial mematuhi kebijakan di Indonesia.

"Daripada membuat aturan baru, coba kita jalankan dulu nih aturan yang sudah ada di media sosial. Kita sisir lagi akun-akun yang di bawah umur," ucapnya. Heru menegaskan bahwa langkah ini akan lebih efektif jika diiringi dengan upaya mendidik masyarakat untuk tidak memalsukan usia saat membuat akun media sosial, serta memaksa platform digital menjalankan regulasi usia minimal pengguna.

Ia pun menyoroti tantangan implementasi regulasi di Indonesia. "Membuat aturan itu gampang, tapi yang sulit adalah pelaksanaan, pengawasan, dan pengendaliannya,” kata Heru. Menurut dia, pemerintah perlu menunjukkan keberanian dan ketegasan dalam menindak platform yang tidak mematuhi aturan, termasuk memastikan proses verifikasi usia berjalan efektif.

Sebenarnya, Heru menyebutkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sudah mengatur perlindungan anak. Pasal 16A dan Pasal 16B menekankan kewajiban penyelenggara sistem elektronik (PSE) melindungi anak-anak yang menggunakan atau mengakses sistem elektronik. PSE yang melanggar ketentuan itu bisa dikenai sanksi teguran, denda, penghentian sementara, dan pemutusan akses. "Jadi tinggal dibuat peraturan pemerintah sebagai turunan UU ITE."

Peneliti Center for Digital Society Universitas Gadjah Mada, Hafiz Noer, menegaskan bahwa pembatasan usia pengguna media sosial harus dikaji secara holistik dan tak terburu-buru. "Pemerintah harus menilai dulu upaya literasi digital di Kementerian," ucapnya. Hafiz mempertanyakan konsistensi kebijakan pendidikan digital, mengingat pelajaran teknologi informasi dan komunikasi pernah ditiadakan dalam Kurikulum 2013 dan kini hanya bersifat bimbingan. "Bagaimana bisa memberikan literasi digital bagi anak-anak?"

Hafiz menyoroti kompleksitas pelaksanaan pembatasan, terutama efektivitas kerja sama pemerintah dengan platform untuk memperketat proses registrasi. Menurut dia, larangan penggunaan media sosial dapat menimbulkan efek psikologis yang tidak diinginkan. "Pelarangan menjadikan rasa ingin tahu anak lebih besar dan bisa berdampak lebih buruk," ujarnya. Dia justru mengusulkan pendekatan yang lebih berorientasi pada pendidikan orang tua.

Senada dengan Hafiz, Direktur Pusat Kajian Kurikulum Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang Edi Subkhan menuturkan pembatasan penggunaan media sosial bagi anak perlu diiringi dengan pengawasan yang ketat oleh berbagai pihak, terutama orang tua. Menurut Edi, orang tua berperan penting memastikan anak hanya menggunakan media sosial pada usia yang tepat.

Rizky Yusrial dan Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Defara Dhanya Paramitha

Defara Dhanya Paramitha

Memulai karier jurnalistiknya di Tempo pada 2022. Alumni Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia ini meraih penghargaan karya antikorupsi dari KPK. Kini menulis isu seputar sains, teknologi, dan lingkungan. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus