Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERBURUAN itu dimulai di sebuah teluk di Jepara. Seorang lelaki pada sebuah siang yang terik berjalan menyusuri tepian Teluk Awur. Matanya tertambat pada pokok-pokok bakau (Acanthus ilicifolius) yang tumbuh subur.
Pepohonan pendek dengan daun hijau memanjang keras dan berduri ini sekelebat seperti rerimbunan pohon liar biasa. Orang kebanyakan yang melihatnya bisa jadi berpikir bakau ini sekadar berfungsi sebagai benteng pantai dari gempuran gelombang dan rumah untuk biota laut.
Tapi, tidak demikian bagi lelaki itu. Bakau jenis ini merupakan pabrik obat masa depan. ”Di Malaysia, tanaman -deruju ini kerap dimanfaatkan untuk meng--obati rematik,” kata Agus Trianto, sang le-laki pemburu bakau itu. Peneli-ti- dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Ke-laut-an Universitas Diponegoro ini me-ngerti benar, setumpuk literatur telah menyebut si Acanthus adalah obat multi-khasiat. Para nelayan Malaysia, misalnya, percaya bahwa mengunyah daun pohon ini dapat menangkal bisa gigitan ular. Deruju jenis lain, yakni Acanthus bracteatus, konon juga biasa dibuat jus untuk mencegah rambut rontok.
Di Thailand, deruju juga cukup po-pu-ler. Di Negeri Gajah Putih itu, deruju -bia-sa dimanfaatkan untuk mengobati batu ginjal. Ekstrak batang dan cabangnya bisa jadi obat demam dan alergi kulit. Adapun akarnya bisa dimanfaatkan sebagai antiseptik.
Berbagai keyakinan masyarakat terhadap kegunaan deruju itulah yang me-ng--aduk-aduk rasa penasaran Agus. De-ngan dibantu para mahasiswanya, Agus mulai memetiki buah deruju pada 2001. Untuk memperoleh sarinya, buah itu dikeringkan selama dua hingga tiga hari. ”Cukup dianginkan saja, tanpa kontak langsung dengan sinar mata-hari,” ujarnya.
Buah deruju yang sudah kering selan-jut-nya ditumbuk hingga halus dan di-rendam dengan metanol selama satu hari penuh. Rendaman itu kemudian di-sa-ring dengan kertas saring khusus, whatman. Hasilnya adalah sari deruju. Agar murni, larutan metanolnya di-uap-kan dengan alat rotary evaporator.
Kini tinggal Agus membuktikan secara ilmiah bahwa deruju memang obat berkhasiat—seperti diyakini masyarakat Thailand dan nelayan Malaysia. Atas bantuan Dr Tanaka—bekas pembim-bingnya di Universitas Ryukyus, Okinawa, Jepang—seluruh sampel tersebut dikirim ke laboratorium di Universitas Wisconsin, Amerika Serikat. Saat itu Tanaka memang menjadi peneliti tamu di universitas itu.
Selama dua minggu di Amerika, setiap sampel yang mengandung satu mi-ligram ekstrak deruju dari buah, batang, dan akar mengalami pengujian secara in-vitro. Artinya, melalui proses pemisahan sebuah sel dari lingkungan aslinya dan dipelihara pada sebuah medium untuk ditetesi ekstrak tertentu. Dalam percobaan ini, ditetesi ekstrak pohon berduri ini.
Eureka! Ternyata satu sampel yang -ber-isi ekstrak buah deruju terbukti- dapat mematikan pertumbuhan sel kan-ker kandung kemih. ”Ekstrak buah de-ruju yang kurang dari lima mikrogram per mililiter dapat mematikan sel kan-ker kandung kemih hingga 50 per-sen,” -katanya. Hasil itu memang baru dari pe-nelitian di laboratorium. Namun, Agus bangga karena ia telah berhasil selangkah membuktikan bahwa deruju adalah tanaman penggempur penyakit.
Meski begitu, Dr Frans D. Suyatna Ph.D, ahli farmakologi Universitas Indo-nesia, mengatakan bahwa jalan yang mesti ditempuh Agus masih panjang. ”Untuk diakui sebagai obat antikanker, masih jauh perjalanannya,” tuturnya. Di mata Frans, pengujian in-vitro masih terlalu sederhana. Soalnya, ada beberapa tahap pengujian lain yang harus dipenuhi, misalnya uji in-vivo atau pengujian pada hewan percobaan. Pengujian pada hewan percobaan itu juga tak bisa dibilang enteng karena harus terbukti bisa membunuh penyakit kanker tertentu.
”Kalau sudah berhasil pada hewan, be-lum tentu berhasil pula saat di-uji coba pada manusia,” ujar Frans. ”Namun, ha-rapan itu bukan sesuatu yang tak mungkin digapai,” ia menambahkan.
Agus sadar penelitiannya memang belum sempurna. Ini karena pe-nelitian terhadap deruju terhenti tahun lalu. Ga-ra-garanya, dana cekak. ”Saya terak-hir meneliti deruju tahun lalu,” kata-nya. Pe-nelitian itu pun terpaksa sedikit dibelokkan ke penelitian deruju sebagai bahan antibakteri, bukan antikanker. Hal ini di-sebabkan biaya untuk menyiapkan fasi-litas dan membuat agar-agar yang khusus untuk penelitian kanker sangat mahal. Maklum, sel kan-ker ini bila dibiakkan di cawan petri mudah mati dan butuh media tumbuh yang berkualitas tinggi.
Tahun depan, Agus berniat menguji temuannya itu secara in-vivo pada tikus dan uji klinis pada manusia. Untuk memuluskan harapannya, sejak tahun lalu ia sudah mengajukan proposal penelitian ke Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudaya-an. Kini, sembari me-nunggu kucuran dana, Agus ba-nyak menghabiskan hari-hari-nya dengan meneliti berbagai jenis spons (hewan lain yang berbentuk se-perti spons) dan Gorgonian isis hippuris (hewan yang berjuluk kipas laut). Kedua jenis hewan ini juga menjadi cikal-bakal obat antikanker.
Yandhrie Arvian, Bandelan Amarudin (Jepara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo