Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Tentang Kekuatan Cinta

Sebuah film keluarga yang sederhana dari Riri Riza. Kisah tentang hubungan seorang ayah dan putrinya.

17 Oktober 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rumah Matahari tak hanya me-nye-diakan perlindungan bagi anak-anak tak berorangtua. Ru-mah ini juga memancarkan cahaya dan kehidupan. Rena, 11 tahun, sebagai ”kepala geng”, Sri, Topan, dan si kecil Hamdani. Sehari-hari anak-anak yatim piatu ini mengisi hidupnya tanpa beban: sekolah, mengaji, berpuasa, men-cuci baju, dan bermain menyusuri pe-matang sawah. Satu lagi kegiatan asyik geng ini adalah ikut Bu Tia, kepala as-rama, berbelanja ke pasar. Mere-ka- asyik mendengarkan dongeng Pak Sutan, yang melambungkan mereka ke dunia ima-jinasi.

Keakraban mereka ini sesek-ali ter-gang-gu oleh kedatangan orang tua yang la-zimnya datang untuk meng--adop--si anak. Sebagai ”kepala geng” yang diberi tanggung jawab meng-urus ”adik-adik”-nya—dari menyuapi hingga menyempritkan peluit untuk mendi-si-p-linkan ”pasukan”—Rena (Maudy Ayunda) menyampaikan keberata-nnya jika ada orang tua yang ”merenggut kebersamaan ki-ta”, de-mikian bunyi protes- anak usia 11 tahun itu. Protes itu juga ditunjukkan oleh anak-anak de-ngan menyediakan berbagai bi-natang peliharaan ”masa kini” (hamster-, igu-ana) saat para calon orang tua angkat berkunjung.

Bu Tia mencoba me-me--nuhi janjinya untuk t-i-dak mencerai-bera-ikan anak-anak asuhnya, hing--ga suatu hari da-tang--lah seorang duda, Yudha Nayendra (Surya Saputra), yang kehadirannya mencurigakan. Justru karena dia begitu baik, begitu perhatian, ikut memperbaiki saluran air asrama dan mengajak anak-anak itu berbelanja dan berjalan-jalan. Kebaikan ini, meski mereka nikmati, dicurigai sebagai kebaikan penuh pamrih. Rena berasumsi pamrih itu ada-lah keinginan ”Om Yudha” untuk mengambil si kecil-lucu Hamdani.

Dari pemandangan yang memancarkan harmoni dan sinar matahari di kawasan Cipanas, kita kemudian diberi sekelebatan masa lalu muram kehidup-an Yudha yang sepi, yang ling-lung, yang hanya ditemani kolega Jepangnya, Ichiki (Noboyuki Suzuki). Perlahan, melalui debat Ibu Tia—yang belakang-an dijelaskan sebagai sepupu Yudha—dengan Yudha, barulah penonton paham bahwa Yudha adalah seorang suami/ayah korban kecelakaan belasan tahun silam yang menewaskan seluruh keluarganya. Kecelakaan itu, seperti hal-nya banyak musibah, masih menyi-sakan dua nyawa: Yudha dan bayi putrinya. Kedatangan Yudha ke Rumah Matahari untuk kembali men-cari putrinya.

Setelah sebuah film ko-losal yang sudah me-ngerahkan segenap ener-gi, uang, dan jiwa raga seperti Gie, film Untuk Rena bisa dikategorikan film Riri berikutnya dalam skala- yang lebih kecil: dari sisi anggaran, jumlah pemain, dan kedalaman riset. Selain film Gie berlatar belakang sejarah yang membutuhkan ketelitian dan wawasan yang luas dari sutradara, ia membutuhkan dana luar biasa untuk rekonstruksi sebuah masa. Untuk Rena adalah sebuah film ”sederhana” tentang keinginan yang ”sederhana” dari situasi yang kompleks. Film ”sederhana”, karena film ini berbicara tentang cinta seorang anak bernama Rena dan kerinduannya pada kebersamaan. Si-tu-asi yang kompleks itu adalah: tewasnya- keluarga Rena itu ternyata masih menyisakan sang ayah yang tak dikenalnya, yang mendadak muncul begitu saja.

Maka, pertanyaan yang muncul se-te-lah menyaksikan film ini adalah: apa alasan sang ayah mencemplungkan sang putri ke rumah yatim piatu? Stress disorder, depresi, dan perasaan disfungsi, yang dijelaskan melalui beberapa kalimat pendek sang ayah kepada Rena, tak cukup meyakinkan penonton bahwa seorang ayah akan tega ”membuang” anaknya untuk beberapa- tahun—hampir tidak pernah mene-ngoknya—untuk kemudian datang lagi dengan penuh rasa tanggung jawab. Untuk masyarakat Indonesia, yang berpegang- pada kepentingan keluarga b-esar (extended family), Rena yang berlama-lama dicemplungkan di Rumah Mata-hari—meski rumah ya-tim piatu itu milik Bu De Rossi, yang merupa-kan keluarganya juga—se-harusnya tetap men-dapat perhatian dari sanak saudara-nya yang lain (bukankah keluarga kita terkenal sering ikut campur dalam se-ga-la urusan kita?). Lalu, setelah lama anaknya di-buang, kenapa pula ayah-nya datang dengan- perasaan memiliki itu? Apakah dia menjalani- terapi? Atau hanya ka-rena dia melihat- foto ke--luarga yang telah berdebu? Ada sebuah lubang dalam jalan cerita yang agaknya dianggap tak penting bagi si-neas dan penulis skenario.

Surya Saputra tampil cemerlang. De-mikian juga penampilan Agus Nur Amal sebagai pendongeng dari Aceh, bersinar. Seandainya jalan cerita menambahkan informasi latar belakang situasi jiwa sang ayah, mungkin film ini akan bisa muncul lebih lengkap. Untuk sajian Ramadan dan Lebaran, jiwa film ini sangat pas: mengharukan, tapi berhasil menghindar dari ratapan. Optimisme dalam kekuatan cinta, tanpa jatuh dalam kecengengan.

Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus