Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari seorang gay dalam Arisan, menjadi pacar yang dominan dan menyebalkan dalam Janji Joni, kemudian masuk dalam sosok wartawan senior Aristi-des Katoppo dalam Gie; lantas menjadi seorang ayah yang mencemplungkan putrinya ke rumah yatim piatu -da-lam film yang baru saja beredar pekan silam, Untuk Rena. Surya Saputra, 30 tahun, mungkin satu dari sedikit pemain yang bisa dianggap all round alias bunglon dalam perfilman Indonesia.
Mungkin karena kerendahan hatinya, sosok Surya Saputra selalu berhasil hilang total, dan berhasil memunculkan sosok baru. Atau mungkin karena dia rajin bertanya dan rajin melakukan riset, atau mungkin karena alasan yang paling sederhana: dia berbakat! Tak mengherankan jika ia diganjar gelar Aktor Pembantu Terbaik FFI tahun lalu dalam Arisan.
Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila ini meng-awali karier di dunia hiburan dari kontes cowok sam-pul di majalah remaja. Bersama Ari Wibowo, Ari Sihasale, Teuku Ryan, lelaki dengan tinggi 1,87 meter itu mendirikan grup vokal Cool Colors. ”Sekarang vakum, cuma menyanyi di kamar mandi,” katanya tertawa. Anak tertua da-ri tiga bersaudara dari pemain sinetron Linda Lolita Hoessen ini akhirnya terjun ke dunia seni peran di televisi sejak 1995. Di antaranya dia bermain dalam Cerita Cinta, Pemburu Hantu dan Metropolis, dan Bunda bersama Dinna Olivia dan Tora Sudiro.
Di tengah kesibukannya mempromosikan film Untuk Rena, Surya kini juga tengah bersiap memerankan se-orang bos pemilik bar dan gembong narkoba dalam serial- televisi Dunia tanpa Koma arahan Maruli Ara. Berikut petikan wawancara Evieta Fadjar dari Tempo dengan Surya Saputra.
Peran Anda dalam setiap film sangat beragam, dari gay, la-lu pacar yang dominan, lalu Aristides Katoppo, lalu se-karang seorang ayah, dan nanti menjadi bandar narkoba kelas kakap. Sejauh mana Anda melakukan riset untuk sebu-ah peran?
Biasanya riset dan observasi. Untuk peran gay, saya ke kafe tempat gay Jakarta berkumpul untuk mempelajari gerak dan bahasa tubuh. Saya juga diminta Joko (Joko An-war, sutradara Arisan—Red) menyaksikan serial Queer as Folk untuk memahami bagaimana seorang gay tertarik pada lelaki lain. Untuk memerankan Pak Tides, saya melihat cuplikan wawancara Aristides Katoppo. Juga melihat kebiasaan-kebiasaan dan gesture badan dan cara berbicara. Tapi, khusus untuk film Untuk Rena, saya diminta menggali dari diri sendiri. Mas Riri Riza melihat saya se-nang anak-anak. Sejak dulu saya ingin sekali punya anak. Saat itu saya juga punya rasa kehilangan yang besar. Nah, saya diminta menggali rasa itu lagi. Pengalaman masa la-lu ketika berpisah dengan mantan istri menjadi bahan saya menggali emosi untuk peran Yudha Narendra. -Kalau dilihat di adegan itu, saya seperti tidak punya semangat hidup.
Apa yang dibayangkan untuk menciptakan sedih dalam film Untuk Rena?
Saya membayangkan bagaimana rasanya berpisah de-ngan anak bertahun-tahun. Ada jurang komunikasi. Ma-lah tokoh Yudha lebih mudah mendekati Hamdani, yang lebih polos dan lebih simpel. Rena adalah pemimpin ka-wan-an anak-anak itu, the leader of the pack. Pemikirannya lebih kritis tentang orang di sekitar dia.
Ketika adegan menangis, harus take berulang-ulang?
Enggak. Ada dua sudut pengambilan kamera. Saat itu gue benar-benar menangis sampai sembap, padahal gue tergolong orang yang jarang menangis. Buat gue, itu ribet—rumit dan merepotkan. Harus benar-benar merasa-kan kehilangan. Gue memang perasa, tapi jarang bisa me-nangis.
Peran-peran variatif ini karena seleksi Anda atau karena- memang tawarannya yang beragam?
Dua-duanya. Saya sengaja mengambil peran beragam, biar tidak stereotype. Kebetulan yang ditawarkan beda-beda. Soal bisa atau tidak, Insya Allah.
Ceritanya bagaimana, terlibat dalam beberapa film dan juga sinetron sekaligus?
Memang selama ini ada beberapa perbedaan antara film dan sinetron. Kalau film lebih realistik, lebih nyata. Kalau di sinetron, memang b-a-nyak peristiwa dan ka-rakter yang hiperbolik, sorry to say. Saya tidak pernah keberatan main sinetron, tapi saya i-ngin sekali mengubah pandangan orang bahwa gaya akting di televisi itu tidak harus hiperbolik. Lihat saja serial televisi Barat, lebih rea-listik. Karena itu, lebih dekat de-ngan penontonnya.
Anda kagum dengan akting siapa?
Mentor saya yang saya kagumi- adalah Didi Petet, Slamet Rahardjo, dan Christine Ha-kim-. Sedangkan pema-in Ba-rat yang berwatak bu-at-- saya adalah Mel Gibson, Robin Williams, dan Johnny Depp.
Peran sulit?
Semua sama tantang-annya, juga peran kecil sebagai Aristides dalam Gie. Kalau bisa dimainkan dan memberi kesan sendiri, akan menjadi asyik karena berhasil melalui tan-tangan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo