Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMBAH pabrik menjadi masalah lingkungan terberat sejak manusia beralih dari era agraris ke industri. Di Indonesia, pencemaran air, tanah, dan udara menjadi masalah serius karena teknologi menetralkan pencemaran masih amat mahal. Dwi Andreas Santosa, dosen Institut Pertanian Bogor, mengembangkan reaktor pencuci limbah. Dia memakai mikroorganisme lokal untuk menetralkan kandungan logam berat dengan biaya murah.
Dosen ilmu tanah dan sumber daya alam itu menemukan bahwa Bacillus sp. ICBB 7859 dari air hitam Kalimantan lebih ampuh mencuci merkuri ampas pabrik batu bara ketimbang bakteri dari Amerika Serikat yang dipakai PT Chevron Pacific.
Dalam penelitiannya di PT Caltex Pacific di Minas, Riau, dia menemukan bahwa kecepatan Bacillus menurunkan polutan air limbah empat kali lebih cepat. Biayanya juga lebih murah.
Sementara bakteri Amerika butuh biaya US$ 30 (sekitar Rp 300 ribu) per meter kubik limbah, Bacillus sp. hanya perlu US$ 20. Dwi membuat reaktor sendiri untuk membiakkan mikroorganisme itu. Dia juga baru saja menemukan Pseudomonas pseudomallei ICBB 1512 yang dapat menetralkan merkuri. "Kemampuan mencucinya-setelah modifikasi 98,5 persen-hanya perlu setengah jam," kata Dwi pekan lalu.
Bioreaktor berupa bak penampungan buatan Dwi kini sudah menghasilkan setidaknya lima jenis mikroorganisme. Hewan-hewan superkecil ini mampu menetralkan asam sulfat, air asam, dan logam berat pada limbah-limbah pabrik batu bara. Inovasi Dwi ini tak dihasilkan dalam waktu singkat. Ia telah meneliti dan membuat bioreaktor ini selama tujuh tahun.
Fokus Dwi adalah membuat mesin pencuci limbah dengan biaya semurah mungkin. Bioreaktor yang sudah dibikinnya bisa menghemat biaya hingga 50 persen. Terutama bila dibanding teknik bioremediasi yang umum dipakai pengolah limbah di Indonesia.
Saat ini perusahaan-perusahaan tambang masih doyan menimbun limbah dengan drum ketimbang memakai teknik bioremediasi. Biayanya US$ 25 per meter kubik. Selain mahal, berbahaya bagi lingkungan.
Bioreaktor
Pembuat: Dwi Andreas Santosa
Lembaga: Institut Pertanian Bogor
Ukuran: 100 x 50 meter
Biaya pembuatan: US$ 25 ribu (sekitar Rp 250 juta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo