Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Maraknya hujan badai atau hujan lebat yang disertai petir dan angin kencang di wilayah Jawa akhir-akhir ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yang pertama adalah aktivitas pembentukan vorteks (pusat tekanan rendah) di Samudera Hindia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN, Erma Yulihastin, menjelaskan bahwa vorteks itu berperan memindahkan uap air ke daratan dan secara tidak langsung menciptakan angin kencang lewat fenomena badai squall line atau bow-echo. Hal itu sejalan dengan hasil pengamatan radar cuaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Pada beberapa kejadian cuaca ekstrem berupa hujan badai merusak yang luas seperti di Cimahi, Cianjur, Bogor, Bekasi, dan Kendal, angin kencang dipicu oleh pecahnya badai squall line," tuturnya pada Minggu, 10 November 2024.
Squall line disebutnya merupakan gulungan panjang awan badai yang menghasilkan barisan hujan dalam formasi garis memanjang. Squall line yang pecah akan menimbulkan angin kencang dengan atau tanpa disertai hujan deras.
Berdasarkan pengamatan radar cuaca, fenomena squall line bisa dideteksi dari hujan deras berbentuk pola memanjang dan membusur yang menunjukkan bahwa aktivitas awan konvektif terus tumbuh dan memanjang. Setelah squall line pecah, wilayah yg mengalami hujan deras akan meluas bahkan dapat membentuk dua sel badai.
"Itu seperti kasus yang terjadi di pesisir utara Jawa Tengah pada Sabtu malam lalu, 9 November," kata profesor riset bidang klimatologi ini.
Menurut Erma, pada dasarian (10 hari) kedua November, aktivitas vorteks di Samudera Hindia diprediksi akan membesar dan menguat. Faktor ini disebutnya bakal terus mempengaruhi cuaca ekstrem dan memuncak hingga Desember dasarian pertama.
Faktor selain aktivitas vorteks tersebut adalah angin baratan kuat yang bertemu dengan angin timuran di atas Jawa. Kedua faktor ini, ditambah pula dengan suhu permukaan laut yang menghangat, disebut Erma memberi hasil akhir cuaca ekstrem yang massif di atas Pulau Jawa.
Awan mendung usai hujan di atas gedung perkantoran di kawasan Sudriman, Jakarta, 5 November 2024. Hujan lebat menyebabkan kemacetan dan banjir di beberapa titik di Jakarta dan sekitarnya. TEMPO/Tony Hartawan
Tentang faktor yang terakhir, Erma menambahkan, sama seperti yang memicu bencana banjir bandang Spanyol. Banjir bandang yang menyebabkan lebih dari 200 orang tewas di Valencia pada akhir Oktober lalu didahului dengan curah hujan hingga 500 mm.
"Lautnya panas betul di sana hingga menghasilkan hujan torensial yang persisten," katanya sambil menerangkan, hujan torensial adalah hujan ekstrem yang suplai uap air-nya ditransfer dari laut menuju daratan.
Menurut Erma, hal itu bisa terjadi karena Valencia berhadapan dengan laut. Begitu juga kota-kota di pesisir utara Jawa. Dia berharap pemantauan terhadap potensi cuaca ekstrem terus dilakukan, "Dan masyarakat selalu mencari tahu informasi tentang cuaca harian dari BMKG untuk keamanan dan keselamatan aktivitas sehari-hari."