Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perhelatan Biennale Jogja 17.
Menghadirkan karya seniman dalam dan luar negeri serta para seniman ahli.
DI selembar kain hitam, disorotkan visual lalu-lalang aneka mobil dan kendaraan bermotor berjalan mundur. Dari bawah kotak proyektor, mengalun lagu. Poster-poster Black Brothers bergelantungan di sisi kiri dan kanan serta depan layar. Bagi yang lahir pada era 1960-1970-an, lagu-lagu itu akan menyeret memori ke masa lalu, mengenang kelompok musik Papua Barat yang dibentuk pada 1975 di Nabire tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Siku Ruang Terpadu, ruang alternatif seni dan budaya kontemporer di Makassar, yang mengusung pameran instalasi arsip dan video Black Brothers. Band itu dulu berawak tujuh musikus. Mereka adalah Hengky Miratoneng Sumanti atau dikenal dengan Hengky M.S. (gitar dan vokal), Benny Betay (bas), Agustinus Romaropen (gitar), Jochie Pattipeiluhu (keyboard), Amri Kahar (trompet), Stevie Mambor (drum), Sandy Betay (vokal), Marthi Messet (vokal utama), dan David Rumagesan (saksofon). Mereka tampil dengan rambut gondrong dan kribo serta celana cutbrai dan belel yang menjadi tren pada masa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelompok musik percampuran Papua; Sangihe Talaud, Sulawesi Utara; dan Ambon, Maluku, itu pindah ke Belanda, lalu ke Australia. Konon mereka mendapat tekanan rezim Orde Baru karena “punya lagu bahaya” tentang kebebasan, keadilan, dan kemanusiaan. Sebut saja lagu berjudul “Derita Tiada Akhir” dan “Lonceng Kematian”. Berikut ini penggalan “Lonceng Kematian” ciptaan Jochie dalam album ketiga.
Hey kau yang munafik/Kapan akhir sandiwaramu/Saling berlomba/Mengejar kekayaan/Tak kau bawa mati nanti.
Kasihani mereka/Hidupnya melarat/Suatu waktu kau akan jatuh/Neraka tempatmu.
“Dong tinggal sembunyi-sembunyi sampai pas 1980-an dia minta suaka politik ke Belanda,” begitu selarik kutipan pada poster yang berjudul “Black Brothers, Mencari Kebebasan dari Negara ke Negara dengan Rege”. Juga ditampilkan sampul kaset dari total 11 album yang telah mereka lahirkan. Salah satu lagu yang kondang adalah “Kisah Seorang Pramuria” yang dipopulerkan The Mercy's dan lagu “Persipura” untuk tim dan suporter Persatuan Sepak Bola Indonesia Jayapura atau Persipura.
Video dan instalasi arsip Duta Rock dari Tanah Papua karya Siku Ruang Terpadu dalam Biennale Jogja 17 di Taman Budaya Yogyakarta, 22 Oktober 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Karya Siku Ruang Terpadu satu dari karya sekitar 70 seniman dan kolaborator yang tampil dalam Biennale Jogja 17. Jumlah itu diyakini Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta Alia Swastika adalah yang terbanyak ketimbang jumlah seniman dalam pameran-pameran sebelumnya yang berkisar 40-45 orang. Selain dari Indonesia, mereka berasal dari 14 negara dari Eropa Timur, Asia Selatan, juga Asia Tenggara.
Karya-karya mereka dikuratori oleh Adelina Luft dari Rumania, Eka Putra Nggalu dari Indonesia, serta Sheelasha Rajbhandari dan Hit Man Gurung dari Nepal. Perhelatan Biennale Jogja kali ini mengusung judul “Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds” dan berlangsung pada 6 Oktober-25 November 2023 di Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Judul tersebut sekaligus mengawali putaran baru Biennale dari tema serial Equator (2011-2021) ke serial Trans-Lokalitas dan Trans-Historisitas.
Sejumlah seniman residensi dalam dan luar negeri unjuk karya, seperti Monica Hapsari dari Tangerang, Banten; Dan Vezentan dari Bukarest, Rumania; serta Alyen Foning dari India. Mereka tinggal di Yogyakarta selama dua bulan untuk melakukan riset sebelum menggarap karya seni. Alyen Foning, misalnya, berkolaborasi dengan kolektif seni Matrahita dari Yogyakarta. Setiba di Yogyakarta, dia terpesona oleh Gunung Merapi yang mengingatkannya pada Gunung Kangchenjunga di timur Himalaya, tempat ia berasal.
“Saya melakukan riset di area-area Merapi untuk mencari persamaan dengan India,” ucap Foning. Ia menemukan banyak persamaan. Sejumlah sungai mengalir yang bersumber dari Merapi. Di Gunung Kangchenjunga terdapat Sungai Teesta yang dialiri lelehan es yang mencair dari gunung. Persamaan lain adalah kepercayaan masyarakat di sekitar gunung itu terhadap mitos dan kekuatan spiritualnya. Mereka pun punya ikatan kuat dengan alam dan lingkungannya. Seperti masyarakat di sekitar Merapi yang tidak berani menebang pohon di sana, masyarakat suku Lepcha tidak berani membuang biji-bijian yang jatuh dari pepohonan di sekitar Gunung Kangchenjunga. “Biji-bijian itu digunakan untuk berdoa agar mendapat berkah,” ujar Foning.
Ia mewujudkan hasil risetnya bersama Matrahita dalam instalasi seni berbahan tekstil yang diberi judul Eiikam-Interconnected. Menggambarkan kondisi biodiversitas di gunung, mereka membuat bola dari benang-benang yang dijalin. Di dalamnya terdapat miniatur gunung yang terbelah dua. Bagian sebelah menampakkan aliran magma dan bagian sebelahnya lagi menampakkan kulit luar gunung yang hijau dengan aneka tumbuhan dan bunga. Gunung itu disangga akar yang kuat dan batang akarnya dililit dua naga—naga air bernama Oong Sader yang hidup di Kangchenjunga dan Naga Raja di kaki Merapi yang apinya bisa menjaga tanah dari longsor. Sementara itu, satwa-satwa liar, seperti harimau dan singa, menempati empat sudut pada jalinan bola tersebut.
Foto karya Alfred W. Djami dari Atambua dan Tayuko Matsumura dari Jepang dalam Biennale Jogja 17 di Taman Budaya Yogyakarta, 22 Oktober 2023. Tempo/Pito Agustin Rudiana
Di ruangan TBY yang luas itu juga dipajang karya fotografi dari duet fotografer Alfred W. Djami dan Tayuko Matsumura. Alfred yang tinggal di Atambua, Nusa Tenggara Timur, dengan aktivis sosial yang hadir saat terjadi tsunami Aceh dan gempa Padang, Tayuko Matsumura berasal dari Okinawa dan tinggal di Hyogo, Jepang. Mereka merekam kehidupan warga Kerajaan Leimean di Timor bagian timur yang kini tinggal di Sadi, Timor bagian barat. Pembagian wilayah itu terjadi seusai referendum Timor Leste pada 1999. Terpisah secara administratif di antara dua negara, warga membutuhkan paspor dan visa ketika saling berkunjung. Meski begitu, untuk urusan ritual, perbatasan itu menjadi samar. “Hubungan kekerabatan tak mengenal ‘batas’. Mereka bisa bertemu lewat jalan-jalan ‘tikus’,” kata Alfred.
Selain menampilkan karya seniman kontemporer, Biennale Jogja 17 menghadirkan karya seniman-seniman lokal dengan karya kerajinan tertentu. Seperti Gunjiyar, yang sejak 1970 menekuni pembuatan topeng kayu Panji klasik dari Krebet, Bantul, untuk pergelaran wayang lakon Panji. Kerajinan topeng Panji klasik pernah menjadi tren pada 2006. Topeng ini menjadi kerajinan di rumah-rumah penduduk, bahkan menjadi ekstrakurikuler wajib di sekolah-sekolah di Kecamatan Pajangan, Bantul. Ketika pesona topeng Panji meredup, Gunjiyar tetap bertahan membuat topeng. Selain itu, dia berinovasi dengan wayang batok kelapa, wayang duri, wayang golek, dan wayang kreasi.
Kehadiran Gunjiyar sekaligus menandai perbedaan hajatan Biennale tahun ini dengan sebelumnya. Nukan hanya seniman profesional kontemporer yang hadir, tapi juga para maestro seni tradisi. Selain Gunjiyar, ada seniman wayang Sagiyo, pelukis kaca Subandi, dan seniman batik Nur Rohmad. “Biennale kali ini juga menampilkan kolaborasi seniman dengan warga desa,” tutur Alia Swastika.
Misalnya karya seniman Monica Hapsari yang bersama ibu-ibu Panggungharjo menciptakan lagu tentang keseharian warga desa dengan iringan musik gejog lesung. Ada dua desa yang menjadi jujugan dalam Biennale Jogja 17 ini, yaitu Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon; dan Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, yang berada di Kabupaten Bantul. Dua desa di selatan Kota Yogyakarta itu dipilih lantaran menjadi representasi desa yang berubah menjadi desa kota. Namun dua wilayah ini tetap mempertahankan kultur aslinya dengan ilmu titen (mengamati dan menandai) itu.
“Ini adalah wujud dari menubuh (embodied) seniman dengan desa. Kami mendokumentasikan pengetahuan kembali ke alam desa,” Alia menjelaskan. Lokasi pameran pun tak sebatas di TBY, melainkan melebar ke dua desa itu, baik di dalam maupun luar ruangan, di belasan lokasi. Selain di TBY, lokasi lain adalah Monumen Bibis, Sekar Mataram, gudang desa, area Lohjinawi, sebuah rumah tua di desa, The Ratan, Kampoeng Mataram, Karang Kitri, Joning Artspace, area food court Madukismo, dan Pendhapa Art Space.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul " Antara Black Brothers dan Perajin Topeng Panji"