Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Februari lalu, Medco, salah satu perusahaan eksplorasi minyak di sini, telah membeli dua alat VSIT yang harganya masing-masing sekitar US$ 150 ribu. Rencananya, pada tiga bulan mendatang, Medco akan mencoba keunggulan teknologi itu di ladang minyak Sangasanga di Kalimantan. Sementara itu, Caltex juga telah mencoba alat VSIT di ladang minyak di Pagar, Duri, Riau, pada Agustus 1999. Hasilnya, produksi minyak ternyata meningkat sekitar 25 persen.
Boleh jadi kehebatan VSIT perlu diuji secara cermat di Indonesia. Soalnya, teknologi itu terhitung komoditi impor baru dari Rusia. Di Negara Tirai Besi itu, teknologi VSIT ditemukan oleh para ahli perminyakan pada 1980-an. Awalnya, mereka mencurigai besarnya produksi minyak di ladang minyak sepanjang jalur kereta api trans-Siberia dibandingkan dengan ladang lainnya. Mereka menduga, jangan-jangan fenomena itu akibat pengaruh getaran kereta api.
Lantas, Vniigas, lembaga penelitian minyak Rusia yang dipimpin Dr. Vladimir Belonenko, pada 1985 melakukan percobaan di laboratorium. Mereka mencoba teknologi berprinsip getaran untuk memisahkan minyak dari air dan bebatuan. Setelah berhasil, pengujian dilanjutkan ke lapangan dengan membuat gempa lokal bergelombang merambat. Dipilih frekuensi dan amplitudo rendah, tapi dengan panjang gelombang yang lama. Getaran alat VSIT menggunakan sumber kekuatan dari generator berdaya 40 kilowatt. Dengan getaran kontinu itulah, minyak di bebatuan mencair dan kemudian mengalir lewat pori batuan ke lubang perforasi (sumur).
Ternyata, produksi minyak di sebelas ladang meningkat secara mengagumkan. Di ladang Sutorminskoe dekat Siberia Barat, pada 1995, misalnya, produksi melonjak dari 4.000 barel menjadi 6.000 barel per hari. Ladang Manchavovksy, yang semula divonis bakal mati, ternyata juga masih bisa berproduksi 4.000 barel sehari sampai Juli 1997.
Tak ayal lagi, teknologi VSIT pun dianggap telah mengungguli teknologi EOR, yang selama ini digunakan. Teknologi EOR, yang menggunakan cara penyuntikan uap panas dan zat kimia untuk mendorong sisa minyak, hanya bisa menguras 80 persen minyak, sementara VSIT bisa menangguk 90 persen minyak. EOR juga tak mampu menyentuh minyak pada kedalaman 1.700 meter karena uap panas yang digelontorkan keburu mencair. EOR pun lebih boros lantaran memerlukan instalasi khusus untuk memisahkan uap panas, air, dan minyak. Walhasil, satuan ongkos EOR sekitar US$ 5 per barel minyak, sementara VSIT cukup dengan ongkos US$ 4,2 sebarel.
Semula, pengguna pertama teknologi VSIT adalah KGB, badan intelijen Soviet. Setelah Negeri Beruang Merah itu dilanda keterbukaan, VSIT tak lagi digunakan sebatas untuk kepentingan militer, tapi sudah dijadikan komoditi unggulan. Pada 1995, VSIT pun ditawarkan kepada pengusaha Indonesia. Namun, baru pada 1999 teknologi itu bisa masuk ke Indonesia lewat konsorsium "Wahana", yang dimiliki antara lain oleh Karnata Ardjani dan Chandra Alim. Menurut Fuad Melliyar, manajer operasional konsorsium itu, teknologi VSIT dari Vniigas sangat berguna bagi perusahaan minyak di Indonesia, yang kebanyakan mengelola sumur minyak tak produktif.
Dari konsorsium itu pula, Caltex sempat menguji kecanggihan VSIT di ladang minyak Pagar di Duri, Riau, pada Agustus 1999. Mesin vibrasinya tetap dipraktekkan oleh operator dan ahli seismik dari Rusia. Merekalah yang menentukan target standar produksi, misalnya 3.500 barel sehari, juga frekuensi gelombang getaran dan lokasi terbaik untuk meletakkan mesinnya. Mesin vibrator itu seperti mesin tumbuk dan digantungkan di bagian bawah truk. Mesin diturunkan sampai menyentuh tanah, mirip dengan pengoperasian mesin untuk pemadatan aspal jalan raya.
Setelah dua minggu percobaan, terbukti hasil ladang naik sekitar 25 persen. Bahkan, satu sumur yang sudah tidak berproduksi dan ditutup empat tahun lalu bisa menghasilkan 250 barel per hari. Yang menarik, ladang Pemburu, Tilan, dan Kelok, yang berjarak tujuh kilometer dari pusat getaran, juga mengalami peningkatan produksi. Sekalipun demikian, Caltex belum buru-buru membeli mesin VSIT. Mungkin setelah Medco berhasil mencoba dua mesin itu di ladang minyak Sangasanga, Caltex juga akan meninggalkan teknologi EOR.
Yusi A. Pareanom, IG.G. Maha Adi, Arif A. Kuswardono (Riau)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo