Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Menggiring Golkar ke Pengadilan

Selain dituduh main curang, Golkar digugat karena menerima Rp 15 miliar dari limpahan dana skandal Bank Bali. Partai itu terancam dibekukan atau tak boleh mengikuti Pemilu 2004.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GOLKAR kini mulai diadili untuk dosa-dosa politik yang dilakukannya di masa lalu. Keberhasilannya menggaet posisi kedua dalam perolehan hasil pemilihan umum 7 Juni 1999 tidak memungkinkan partai politik itu—yang selama tiga dasawarsa mendominasi panggung politik Indonesia—bisa melenggang bebas begitu saja. Partai yang dulu leluasa menghitamputihkan sejarah dan mutlak-mutlakan mendukung Soeharto itu kini tampil sebagai tergugat di Mahkamah Agung. Golkar digiring ke meja hijau oleh sebelas partai politik peserta pemilihan umum yang lain, seperti Partai Keadilan dan Persatuan, Partai Uni Demokrasi Indonesia, dan Partai Nasional Indonesia versi Supeni. Tuduhannya: Golkar telah melakukan penyalahgunaan uang untuk kepentingan politik (money politics).

Persidangan di Mahkamah Agung itu terhitung langka. Selama ini, baru dua kali peradilan tertinggi itu membuka sidang untuk umum. Yang pertama, persidangan kasasi perkara Endang Widjaya; dan yang kedua, vonis kasasi pembredelan TEMPO. Sidang itu juga terhitung pertama kalinya dalam sejarah kepartaian. Pada masa lalu, partai politik seperti Golkar tak mungkin diadili meski acap dituding melakukan kecurangan.

Dalam gugatan yang sama, Golkar dituduh melakukan politik main uang lewat dana Rp 15 miliar dari skandal Bank Bali. Uang panas itu masuk ke rekening Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Golkar melalui Wakil Bendahara Golkar, Marimutu Manimaren. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, sumbangan perorangan dibatasi maksimal Rp 15 juta dan sumbangan dari badan hukum maksimal Rp 150 juta.

Uang itu diduga berasal dari imbalan PT Era Giat Prima (EGP) yang berhasil mencairkan piutang Bank Bali di Bank Dagang Nasional Indonesia. Dari imbalan itu, sebesar Rp 30 miliar dikucurkan PT EGP ke PT Ungaran Sari Garmen milik Marimutu. Selanjutnya, Marimutu mengalirkan dana sebesar Rp 15 miliar ke Arung Gauk Jarre. Dari Arung, uang itu lantas mengalir tiga kali, masing-masing Rp 5 miliar, ke Bappilu Golkar.

Selain melanggar ketentuan uang sumbangan, menurut koordinator kuasa hukum sebelas partai politik tadi, R.O. Tambunan, Golkar juga main curang dalam pemilihan umum lalu. Partai Beringin itu telah membagi-bagikan uang kepada calon pemilih agar mereka mencoblos tanda gambar Golkar. Di samping itu, Golkar menggunakan aparat pemerintah untuk memaksa pemilih, memanfaatkan dana jaring pengaman sosial, dan mencuri start kampanye sebelum dimulai.

Dalam penilaian Tambunan, perbuatan Golkar telah melanggar prinsip pemilihan umum yang jujur dan adil. Dengan demikian, Mahkamah Agung sebagai pengawas partai politik peserta pemilihan umum berwenang membekukan atau membubarkan Golkar. Setidaknya Mahkamah Agung bisa mencabut hak Golkar untuk mengikuti Pemilu 2004 akibat kasus sumbangan tersebut.

Namun, pengacara Golkar, Yan Djuanda Saputra, membantah tuduhan tersebut. Katanya, Golkar tak pernah mendapat dana dari skandal Bank Bali. "Golkar hanya mengembalikan pinjaman sebesar Rp 15 miliar dari Manimaren. Soal pinjaman dari seseorang kepada partai politik, itu sama sekali tak dilarang undang-undang," katanya.

Argumentasi Yan Djuanda juga didukung bukti berupa hasil audit Komisi Pemilihan Umum, yang menyatakan tak ada aliran dana tersebut ke rekening Golkar. Yan juga menambahkan, sebelas partai politik itu hanya mendasarkan gugatannya pada kliping koran tentang aliran dana kasus Bank Bali ke Golkar. Berdasarkan hal itu, Golkar menuntut balik para penggugat untuk membayar ganti rugi Rp 1 triliun karena dianggap telah mencemarkan nama baik Golkar.

Terbukti-tidaknya kecurangan Golkar masih akan dikaji lewat sidang-sidang yang digelar Mahkamah Agung selama dua bulan ke depan. Yang pasti, supremasi hukum untuk menegakkan sistem kepartaian dan pemilihan umum yang demokratis tak bisa ditawar-tawar. Apalagi hasil audit Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pernah mengungkapkan bahwa 16 partai politik, termasuk Golkar, menerima sumbangan melebihi ketentuan. Akuntan Publik Soejatna dan Mulyana menyinyalir Golkar menerima sumbangan Rp 125 juta dari tiga orang yang tak disebutkan namanya.

Penegakan hukum harus dilakukan tanpa kecuali. Dan dalam pelaksanaannya, badan peradilan memang dituntut mampu bersikap tegar menghadapi siapa saja, termasuk nama-nama besar dari kalangan TNI dan polisi, pengusaha, bahkan politisi wakil rakyat. Keadilan dan etika politik juga tiap kali harus diperjuangkan, bahkan di negeri yang sistem hukumnya paling canggih seperti Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu, tak ada yang membantah keberhasilan Bill Clinton sebagai presiden. Tapi kasus dana kampanye Partai Demokrat—partainya Clinton—terus diusut, kendati masa jabatan sang Presiden akan berakhir sepuluh bulan lagi.

Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus