Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

BPPN Tak Kebal Hukum

PTUN Jakarta mempersalahkan BPPN, yang membatalkan perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT EGP. Apakah vonis ini bisa menggilas kasus korupsi Bank Bali?

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERS internasional tentu tidak luput mewartakan vonis Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menonjok Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Lembaga supersakti ini Kamis pekan lalu dipersalahkan oleh PTUN karena membatalkan perjanjian cessie antara Bank Bali dan PT Era Giat Prima (PT EGP). Setumpuk wewenang BPPN, antara lain berhak bertindak sebagai pengadilan, Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara, dan wali pengampu dari bank yang dirawatnya, ternyata tidak membuat lembaga ini kebal secara hukum.

Kekalahan BPPN setidaknya akan dimonitor terus oleh pers asing karena vonis pengadilan dalam kasus Bank Bali akan ikut memengaruhi penilaian mereka terhadap upaya penegakan hukum di Indonesia. Majelis hakim yang diketuai M. Arif Nurdua mengajukan alasan: keputusan pembatalan cessie yang dilakukan BPPN terkategori sebagai penyalahgunaan wewenang dan dianggap tak menaati asas-asas umum pemerintahan yang baik. "BPPN bukanlah lembaga yang kebal hukum, sehingga tak dapat dikontrol oleh peradilan," kata hakim Arif Nurdua.

Sebelumnya, pada 1 Desember 1999, Mahkamah Agung meloloskan BPPN dari sanksi hukum. Majelis hakim agung yang diketuai M. Yahya Harahap menolak gugatan judicial review (hak uji materiil) yang diajukan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI). Organisasi advokat itu menuntut agar Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1999 tentang BPPN dibatalkan karena bertentangan dengan berbagai undang-undang.

Sebagaimana diketahui, perjanjian cessie pada 11 Januari 1999 antara Bank Bali dan PT EGP menjadi pemicu yang menggelembungkan skandal Bank Bali. Dengan perjanjian itu, pada 1 Juni 1999, PT EGP berhasil mencairkan piutang Bank Bali sebesar Rp 904 miliar di Bank Dagang Nasional Indonesia. Selanjutnya, EGP memperoleh imbalan sebesar Rp 546 miliar.

Tapi, bukan cessie yang penuh kejanggalan itu yang dipermasalahkan oleh Direktur Utama PT EGP, Setya Novanto—yang bersama Direktur PT EGP, Joko S. Tjandra, juga menjadi tersangka kasus korupsi Bank Bali. Setya memerkarakan keputusan BPPN tanggal 15 Oktober 1999, yang membatalkan perjanjian cessie tersebut. Lalu, melalui O.C. Kaligis, ia menggugat BPPN ke PTUN Jakarta.

Ternyata, majelis hakim PTUN menilai keputusan BPPN tergolong penyalahgunaan wewenang. Alasannya, sewaktu kontrak cessie dibuat, 11 Januari 1999, Bank Bali belum berstatus sebagai bank rekapitalisasi. Status selaku bank take over (BTO) dan dirawat BPPN baru dialami Bank Bali pada 23 Juli 1999. Jadi, ketika cessie dibuat, BPPN tidak berwenang menangani Bank Bali, apalagi membatalkan kontrak cessie. Lagi pula, sewaktu BPPN melakukan pembatalan, kontrak cessie-nya sudah terlaksana.

Majelis hakim menilai, BPPN telah melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik, khususnya dalam prinsip kehati-hatian. Inilah prinsip utama yang harus dicermati BPPN bila hendak menggunakan wewenangnya yang sangat besar, sesuatu yang juga pernah diutarakan Mahkamah Agung melalui putusan hak uji materiil pada gugatan AAI. Selain itu, pada pertimbangan keputusan BPPN disebutkan bahwa perjanjian cessie telah merugikan Bank Bali. Padahal, Bank Bali tak pernah menyatakan bahwa perjanjian itu merugikannya.

Selain itu, oleh hakim, BPPN pun dianggap melanggar prinsip keterbukaan. Sebab, keputusan BPPN diambil tanpa memberikan kesempatan sedikit pun kepada Bank Bali dan PT EGP untuk membela diri. Berdasarkan itu semua, majelis hakim membatalkan keputusan BPPN.

Tak pelak lagi, putusan itu menggembirakan Setya Novanto. Bahkan, Y.B. Purwaning M. Yanuar dari kantor pengacara O.C. Kaligis akan mengajukan putusan itu pada sidang perkara Joko Tjandra di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dan Senin pekan ini, pengadilan akan mengeluarkan putusan sela untuk memastikan layak-tidaknya Joko diadili.

Pengacara BPPN, Abdul Hakim Garuda Nusantara, menyatakan naik banding dan melaporkan putusan itu ke Mahkamah Agung. "Keputusan BPPN itu dikeluarkan dalam keadaan darurat. Jadi, PTUN tak berwenang mengadilinya. Masyarakat juga mengecam perjanjian cessie yang mengakibatkan munculnya kasus Bank Bali," kata Abdul Hakim.

Ia juga bersikukuh bahwa Setya tak berhak menggugat BPPN. Sebab, proses akuisisi PT EGP oleh Setya Novanto dan rekan-rekannya, bahkan pengangkatan Setya sebagai Direktur Utama PT EGP, tak pernah diumumkan lewat iklan di dua surat kabar nasional, sesuai dengan peraturan.

Yang pasti, vonis PTUN itu menjadi peringatan bagi para pejabat pemerintah agar menjalankan hukum administrasi secara benar, kendati kalah satu langkah, kasus cessie—yang merupakan satu sisi dari skandal Bank Bali—tak akan terhenti di sini. Kasus korupsinya mudah-mudahan tak terhindar dari jangkauan hukum. Di pihak lain, pers asing dan IMF juga akan terus memantau semua keputusan hakim, baik dalam kasus cessie maupun kasus Joko Tjandra. Pendeknya, pemulihan ekonomi Indonesia secara tak langsung ikut dipertaruhkan di atas meja pengadilan PTUN dan Joko Tjandra.

Happy S., Wenseslaus Manggut

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus