Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian peneliti atau periset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang resah. Penyebabnya, arahan agar seluruh periset yang tersebar di daerah-daerah pindah ke homebase unit penelitian masing-masing sesuai penempatan dan kepakarannya di pusat atau organisasi riset BRIN mulai tahun depan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arahan itu diberikan dalam apel pagi Senin, 7 Oktober 2024, tentang kebijakan penataan SDM periset. Disampaikan pula opsi-opsi jika mereka menolak arahan tersebut, yakni pindah ke BRIN daerah (pemda) dengan jabatan fungsional tetap sebagai periset, kembali ke kementerian/lembaga asal dengan alih jabatan fungsional selain periset, atau mundur sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Defri Simatupang, salah satu peneliti BRIN yang kini berada di bawah naungan Kawasan Kerja Bersama (KKB) Naniek Harkantiningsih di Medan, Sumatera Utara, menyampaikan bahwa kebijakan atau arahan itu akan sangat berpengaruh terhadap kinerja penelitian yang telah dibangun selama ini. Doktor dari Pusat Riset Arkeologi Lingkungan, Maritim, dan Budaya Berkelanjutan ini menekankan bahwa keberadaan para peneliti di daerah sangat penting untuk menjaga relevansi penelitian dengan konteks lokal.
“Sejak awal terbentuknya BRIN, kami para periset dari eks kementerian/lembaga, yang suka tidak suka harus bergabung ke BRIN, tentu direpotkan kalau ke pusat karena objek penelitian kami sudah di daerah masing masing,” katanya ketika dihubungi Tempo, Senin 14 Oktober 2024.
Defri bersama beberapa rekannya di KKB Medan telah melayangkan surat terbuka kepada Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko, untuk menyuarakan pertimbangan tersebut. Seperti dituturkan pula dalam surat, Defri menegaskan bahwa keberadaan peneliti di daerah telah terbukti efektif dalam membangun kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, perguruan tinggi lokal, dan sektor swasta setempat.
“Apabila seluruh periset akan pindah ke homebase, maka dikhawatirkan kegiatan tersebut sulit untuk dilanjutkan mengingat efisiensi biaya (keterbatasan APBD), hambatan komunikasi, dan koordinasi,” bunyi salah satu poin surat tersebut.
KKB Medan mewadahi periset BRIN yang berdomisili di Sumatera Utara dan Aceh. Dalam diskusi oleh para perisetnya dihasilkan beberapa catatan tantangan yang akan dihadapi jika harus mematuhi kebijakan baru. Salah satunya, keluarga yang tidak dapat berpindah tempat tinggal secara mendadak. Banyak dari periset disebutkan memiliki pasangan yang bekerja di instansi lain dan anak-anaknya yang sedang bersekolah atau kuliah.
Defri juga menilai bahwa selama ini mereka berhasil berkomunikasi secara efektif melalui platform daring dan malah menghemat anggaran negara. “Selama 3 tahun ini, BRIN berhasil menghemat anggaran karena kami tidak perlu diundang ke Jakarta untuk rapat,” tuturnya. Dia berpendapat bahwa kebijakan baru justru dapat mengurangi produktivitas periset karena menjauhkan mereka dari lokasi penelitian yang relevan.
Lebih lanjut, Defri menyinggung pentingnya penegakan disiplin yang adil dengan sanksi yang tepat bagi oknum yang tidak patuh tanpa merugikan semua peneliti. Dia mengungkap alasan pimpinan BRIN untuk pemindahan karena ada pegawai yang tak pernah lapor bahkan berada di luar negeri. “Bagi kami itu kasuistik. Ya, dihukum saja si oknum, jangan dipukul rata ke semua,” katanya.
Ketika dihubungi terpisah, Kepala BRIN Handoko menjelaskan bahwa kebijakan homebase unit penelitian tersebut merupakan tahap akhir transisi di BRIN. “Secara umum benar, karena ini tahap akhir transisi di mana teman-teman eks K/L dalam 2 tahun terakhir masih diberi kesempatan untuk tetap di domisilinya sembari diberi waktu untuk memilih, apakah bergabung ke lokasi pusat riset atau mutasi ke pemda (BRIDA, dll) di daerahnya,” kata dia.
Sementara terkait opsi mundur dari ASN, Handoko menegaskan bahwa itu merupakan pilihan normatif. “Karena sesuai ketentuan ASN, sejak awal telah bersedia ditempatkan di mana saja,” katanya.