Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB) Harkunti Pertiwi Rahayu yang terlibat dalam proyek pendeteksi tsunami memberikan klarifikasi terkait penjelasan pakar manajemen bencana dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat, Louise Comfort. Louise Comfort mengatakan adanya perselisihan antar-lembaga di Indonesia atas tanggung jawab pemasangan pendeteksi tsunami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Saya coba meluruskan sedikit tentang apa yang disampaikan Comfort jadi berkepanjangan seperti ini, terus terang bikin bingung banyak pihak," ujar Harkunti kepada Tempo melalui pesan singkat, Jumat, 5 Oktober 2018.
"Penelitian ini melibatkan beberapa individu, ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan institusi Amerika dan Indonesia. Saya garis bawahi, proyek ini dijalankan individu, pakar di mana masing-masing insitutisi memberikan surat dukungan (letter of support) yang lebih menekankan kontribusi kepakaran dan manfaat dari penelitian. Jadi, bukan antar-negara."
Hal tersebut berawal dari komentar Comfort yang menjadi pemberitaan media Asing, yang menjelaskan bahwa proyek senilai US$ 69 ribu (setara Rp 1 miliar), hanya sampai pada pembuatan prototipe yang dikembangkan Amerika Serikat dengan dana dari US. National Science Foundation. Comfort menyebut proyek pendeteksi tsunami di Indonesia ini gagal karena perselisihan antar-lembaga di Indonesia.
"Bagi saya ini bukan sekadar tragedi kemanusiaan, tapi tragedi ilmu pengetahuan," ujar Comfort, ketua proyek dari tim Amerika Serikat, seperti dilansir laman TIME, 1 Oktober 2018. Proyek ini juga melibatkan para ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institute dan pakar bencana di Indonesia.
Harkunti, yang juga pakar planologi, menjelaskan, bahwa perannya dalam tim tersebut lebih banyak dalam pengembangan jaringan sosial dan jaringan komunikasi di darat untuk evakuasi tsunami. "Saya tidak involved secara langsung untuk jaringan sensor bawah laut tetapi sebagai team pakar tentunya saya tahu manfaat dan duduk permasalahannya," kata Harkunti.
Perempuan yang juga Ketua Umum Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia itu memberikan beberapa poin tentang apa yang disampaikan Comfort:
1. Proyek yang dikerjakan kami bersama Louise Comfort kalaupun lengkap dan dipasang (deploy) masih berupa prototipe dan masih jauh dari siap pakai karena masih skala uji coba.
2. Komponen yang disampaikan Comfort adalah manfaatnya untuk deteksi perubahan kolom air, yang hanya bagian kecil dari sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Comfort kurang memahami sistem peringatan dini tsunami Indonesia. "Walau sudah berpuluh kali saya jelaskan," ujar Harkunti.
3. Sistem peringatan dini tsunami (PDT) di Indonesia ada empa tahapan yang sudah diakui oleh negara-negara yang berada di Samudera Hindia:
- Pertama (PDT1), memberikan informasi potensi tsunami yang akan menimpa kawasan dengan waktu tiba dan ketinggian gelombang tsunami.
- Kedua (PDT2), pemutakhiran (updating tsunami) yang disasarkan pada model dengan data yang lebih lengkap dari seismometer sensor. Hal ini perlu waktu minimal 5-8 menit setelah PDT1, artinya sekitar 10-13 menit dari gempa. Idealnya tahapan kedua ini bisa dilengkapi dengan informasi dari perubahan kolom air yang bisa dideteksi dengan sensor bawah laut yang kemudian datanya dikirim ke BMKG untuk diolah. Deteksi perubahan kolom air bisa menggunakan buoy, kabel, dan lain-lain.
- Ketiga (PDT3), berisi kepastian tsunami telah sampai atau menghantam suatu kawasan. Informasi ini dideteksi oleh tide gauge dan dikirmkan ke BMKG Pusat.
- Keempat (PDT4, berisi informasi pengakhiran tsunami yang artinya semua gelombang tsunami sudah terjadi. Data terakhir ini dibituhkan team SAR untuk mencari dan menyelamatkan korban.
4. Melihat tahapan pada poin 3, maka untuk sebagian besar wilayah Indonesia yang paling kritis untuk tanda evakuasi adalah PDT1. Itu karena waktu yang sangat pendek. Jadi, jelas tampak keberadaan bouy akan bermanfaat untukk kawasan yang memiliki travel time tsunami (waktu tiba tsunami) di atas 30 menit. Sedangkan untuk wilayah yang travel timenya di bawah 30 menit setelah gempa, seperti Palu. Fase PDT1 akan lebih penting guna menyelematkan warga.
5. Lokasi proyek yang disebut Comfort berada di laut antara Siberut dan Pulau Sumatera bagian barat. Jadi, kalau dikaitkan dengan Palu tentunya sangat tidak pas. Karena kita tahu sendiri lokasi Palu dan Sumatera Barat sangat jauh. Tentu, pernyataan Comfort soal "could have save more people" membingungkan pembaca karena Comfort tidak memberikan informasi yang utuh soal proyek ini.
"Ini sebetulnya proyek individu dengan letter of support dari institusinya masing-masing. Peneliti asing pun pakemnya begitu. Kebetulan para peneliti yang dilibatkan mempunyai hati dalam pengurangan bencana tsunami. Sehingga mau berupaya agar penelitian ini jalan dan memberikan sumbangsih," kata Harkunti yang memimpin tim dari Indonesia.
Harkunti juga tidak membaca Letter of support-nya Badan Pengkajian dan Penerapan (BPPT). Tapi, kata dia, BPPT sudah berbaik hati dengan memberikan cable penelitiannya untuk melengkapi milik WHOI partner Comfort dari America yang menyediakan OBU (ocean bottom unit sensor).
"Karena peneliti BPPT sama dengan yang lain, menjalankan ini dengan hati agar riset selesai dan bisa diuji coba. Tapi ternyata, cable yang dibutuhkan untuk menyambung OBU ke darat kurang panjang. Saya tidak mengerti kenapa bisa team WHOI dan Louise Comfort tidak menghitung dengan cermat dan memasukkan semua komponen ke dalam proposal mereka ke pemerintah Amerika yang mendanai," kata Harkunti.
Iyan Turyana, perekayasa dari Pusat Teknologi Reduksi Risiko Bencana BPPT, menyatakan bahwa BPPT memang pernah diajak proyek tersebut pada 2005. "Kami sangat mendukung itu, awalnya. Tapi BPPT tidak dilibatkan penuh, " ujar dia saat ditemui di Gedung BPPT, Kamis, 5 Oktober 2018. "Mulai saat itu kami fokus ke cable based tsunameter (CBT) kami sendiri."
Sampai akhirnya pada 2016, Iyan bercerita, BPPT diajak bergabung kembali untuk membangun CBT yang rencananya akan digabung dengan akustik milik Amerika. Namun, kata dia, sejak 2016, BPPT sudah tidak lagi memiliki dana anggaran untuk riset tsunami. "Jadi kami coba cari dana lain dari BMKG maupun BNPB yang sampai saat ini tidak berhasil didapatkan. Tentu sulit. Instansi mana yang bisa mengeluarkan dana sebanyak itu tanpa perencanaan yang matang?" kata Iyan.
Iyan dan tim BPPT lain pun heran saat Comfort dan timnya meminta dana sebesar itu pada 2016. Musababnya, di awal program tidak ada pembicaraan detail mengenai pembiayaan sistem kabel. "Saya kira semua instansi yang terlibat sudah berusaha maksimal, termasuk BNPB dan BMKG. Tapi kan tentu ada prosedur yang harus dilewati. Jangan malah niat baik ini berakhir dengan pemeriksaan KPK karena ada prosedur yang dilabrak," ujarnya.
Di tempat berbeda, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) Daryono menolak jika dikatakan alasan mandek yang disebut Comfort karena kekurangan dana. Daryono berdalih saat ini pemerintah sedang fokus terhadap perbaikan infrastruktur pasca gempa bumi dan tsunami melanda Palu, Sulawesi Tengah pada 28 Oktober lalu.
"Butuh dana besar kan itu. Jadi ada prioritas, mana yang perlu didahulukan," kata dia di gedung BNPB, Jakarta Timur pada Kamis, 4 Oktober 2018. Sedangkan BNPB belum bisa dikonfirmasi terkait masalah ini.
Simak kabar terbaru seputar sistem pendeteksi tsunami Indonesia hanya di kanal Tekno Tempo.co.
KHORY ALFARIZI | ANDITA RAHMA