Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Rahasia berjalan di bara api

Para ilmuwan as menemukan rahasia para pendeta budha bisa berjalan di bara api. morfin-morfin tubuh (diantaranya enkephalin) mampu memblokir rasa sakit secara alamiah, yang bisa dikontrol lewat meditasi.(ilt)

19 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILMU gaib (magic) akhir-akhir ini menyerap lagi perhatian masyarakat Amerika. Berbagai cara mereka upayakan untuk mengungkapkan misteri yang sekilas tak masuk akal itu. Masih dalam semangat tersebut, belum lama ini, sebuah acara televisi yang cukup unik mereka sajikan pada pemirsa. Acara yang dikategorikan sebagai seminar psikologi itu separuhnya pertemuan ilmiah, separuh lagi acara sulap. Tema yang dibahas seminar itu: Mengapa para pendeta Budha, dalam upacara tertentu, bisa berjalan di bara api, tanpa merasa sakit dan tanpa luka bakar? Seminar itu diikuti semacam demonstrasi - sejumlah pembicara mendemonstrasikan kemampuan mereka berjalan di bara api. Lebih dari itu, demonstrasi yang terhitung mengejutkan masyarakat Amerika tersebut diikuti pula oleh sejumlah peminat awam. Tercatat 80 peserta ikut "main api" setelah membayar US$ 125 untuk sebuah kursus kilat: bagaimana membangun keyakinan agar bisa berjalan di bara api. Para peminat tampak berharap kepintaran US$ 125 itu bisa permanen, dan sewaktu-waktu bisa bermanfaat untuk melawan kebakaran akibat kompor, umpamanya. Majalah Psychology Today edisi Februari, yang menulis cerita kursus kilat itu, menyebut pada pelajaran mengatasi bara api, para peserta diminta membangun sebisanya kepercayaan din, sejalan dengan cara mengatur napas. Dalam berjalan di bara api, mereka diminta memusatkan perhatian ke langit, dan jangan sekali-kali menatap bara api yang berkobar di telapak kaki. Acara tengadah itu, katanya, harus dibarengi pembersihan pikiran-pikiran negatif perihal pembakaran - dilarang keras, umpamanya, membayangkan daging ayam yang hangus pada alat pemanggang. Di samping sugesti-sugesti konvensional itu, para peserta dilengkapi pula dengan mantra-mantra yang berasal dari kepercayaan Lamaisme. Dan, sebelum serta sesudah mengarungi delapan jalur bara api, peserta diminta menggosok-gosokkan kaki, yang tentu saja tanpa kasut, pada rumput dan tanah basah yang disediakan. Demonstrasi itu ternyata sukses. Dari 80 peserta, 75 orang berhasil menyelesaikan rutenya dua kali dengan selamat - tak kurang suatu apa pun. Hanya lima yang berteriak kesakitan karena panas bara api, dan terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat luka bakar yang mereka derita. Masih ada lagi yang lebih menakjubkan. Ketika giliran para pembicara seminar melangkahkan kaki ke bara api, suhu dinaikkan sampai beberapa ratus derajat. Lalu, mereka berlenggang kangkung tanpa sakit, tanpa luka, bahkan meringis pun tidak. Sesudah demonstrasi itu, seminar bertambah ramai. Berbagai tanda tanya dan rasa takjub peserta terlontar, dan bermacam pendapat dikemukakan sebagai jawaban. Seorang di antara pembicara mengemukakan, bunyi-bunyian yang menyertai prosesi main api bukan sekadar ilustrasi musik. Bunyi-bunyian ritmis, seperti musik untuk tarian, katanya, diperlukan untuk mempertinggi ketegangan. "Agar kondisi hormon adrenalin pada peserta tetap tinggi," ujar pembicara itu. Ini, tambah sang pembicara, akan mempertinggi spirit peserta. "Dan, ia tak akan merasa sakit." Betulkah begitu? "Ya," kata seorang peserta. "Semangat saya tinggi ketika berjalan di api itu, dan bara terasa seperti kulit kacang yang baru dipanggang, cuma hangat." Yang lain juga memberi pengakuan sama, dan tak satu pun di antara mereka merasakan sakit pada telapak kaki. Peristiwa itu sebenarnya tidak terlampau aneh. Sejak 1973, para peneliti telah menemukan pusat rasa sakit pada otak, juga mekamsme tubuh untuk mengatasl rasa sakit. Yang baru adalah bagaimana tubuh secara alamiah mampu mengurangi, bahkan mengatasi, rasa sakit. Dengan kata lain, bagaimana saraf-saraf pemberi isyarat rasa sakit dihambat kerjanya, sehingga isyarat sakit tak sampai ke otak. Pada 1973 itu, Avram Goldstein, ahli farmasi dari Universitas Stanford, Amerika Serikat, menemukan bahwa tubuh memiliki sejenis morfin yang mampu memblokir rasa sakit secara alamiah. Goldstein menamakan morfin tubuh itu enkephalin. Senyawa ini ada dalam tubuh, dan bekerja bila tubuh diserang rasa sakit yang hebat. Dalam percobaan terlihat enkephalin ini memiliki daya bius sekitar tiga kali lebih kuat daripada morfin. Ini terbukti ketika senyawa tersebut disuntikkan ke otak binatang percobaan. Setelah enkephalin dikenal, berbagai senyawa lain yang berfungsi sama ditemukan pula. Senyawa yang mirip enkephalin yang ditemukan kemudian adalah betaendorphin. Yang menarik dari senyawa ini, ia diproduksi pada sebuah kelenjar di bawah otak, dan senantiasa muncul bersama hormon ACTH yang biasanya mengalir ke dalam darah bila seseorang mengalami stres. Sejak beta-endorphin ditemukan, para ahli mulai yakin, tubuh memiliki mekanisme mengatasi rasa sakit. Ia muncul ketika manusia menghadapi rasa sakit, ketegangan, dan trauma. Para ahli mulai pula yakin bahwa morfin-morfin tubuh itu bisa dimobilisasikan, hingga proses alamiah itu bisa dikontrol antara lain dengan membangun semacam ketegangan dan semangat. Beberapa tahun setelah enkephalin dan beta-endorphin diketahui, H. Snyder dari Universitas John Hopkins, AS, menemukan senyawa yang lebih meyakinkan: neurotensin. Ia memiliki daya bius 1.000 kali lebih besar daripada enkephalin. Penemuan morfin-morfin tubuh itu membuat para peneliti berpaling ke kedokteran Timur. David Meyer dari Virginia Medical College, AS, menemukan hubungan akupungktur dengan produksi morfin tubuh itu. Tusukan jarum pada bagian tubuh tertentu, menurut Meyer, bertujuan merangsang morfin tubuh, khususnya enkephalin. Berdasar penelitian ini pula Meyer berpendapat, para pendeta Budha mampu mengontrol produksi morfin tubuh melalui sugesti diri, meditasi, dan olah tubuh lainnya. "Karena itu, mereka bisa berjalan di bara api tanpa merasa sakit sama sekali," kata Meyer. Mantra-mantra dan berbagai sugesti lain adalah usaha mengerahkan morfin tubuh, dan tubuh bebas dari rasa sakit. Tapi, bagaimana luka bakar bisa dihindari pula? Seorang pembicara seminar mengemukakan, ini masalah fisika yang bisa diterangkan. "Semua zat, kendati memiliki temperatur yang sama, tidak memiliki panas yang sama," kata pembicara itu. Ia memberi contoh kue yang dipanggang dalam oven. Udara di dalam oven relatif tidak panas bila dibandingkan dengan wadah kue - yang biasanya terbuat dari logam. Untuk mengecek kue, tangan biasanya dijulurkan ke dalam oven dan tidak terjadi apa-apa. Namun bila tangan menyentuh wadah kue, maka ia akan melepuh. Ini, kata pembicara itu, karena molekul-molekul udara relatif renggang. Kerenggangan molekul membuat zatnya tidak cepat merambatkan panas. Bara api, menurut pembicara tersebut, adalah zat yang tidak padat molekul-molekulnya. Karena itu, lambat dalam merambatkan panas. Juga ke kaki yang sedang melintas. Maka, telapak kaki tidak cukup panas untuk terbakar. Tidak naiknya suhu telapak kaki diakibatkan oleh cepatnya langkah diayunkan, hingga pertemuan daging kaki dengan bara api terjadi singkat saja. Ini terbukti pada demonstrasi berjalan di bara api seharga US$ 125 itu. Seorang peserta wanita melangkah terlampau lambat. Sehingga, belum tiga langkah berjalan, ia terkapar dengan kaki terbakar. Jim Supangkat, Bahan: Psychology Today, Omni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus