JURUSAN Seni Rupa Institut Teknologi Bandung ternyata tak cuma menghasilkan sesuatu yang melulu estetis. Tapi, juga sesuatu yang bermanfaat - yang mungkin lahir dari kombinasi belas kasih dan keterampilan merancang. Paling tidak, itu muncul dari Mizan Allan de Neve, 29, ketika menyelesaikan tugas akhirnya di Jurusan Desain Seni Rupa ITB. Ia mendesain sebuah mesin tulis bagi tunanetra. Alasannya, menurut Mizan, "Karena mesin ketik Braille masih harus diimpor, dan harganya tak terjangkau para penderita cacat netra." Saat ini, di pasaran tersedia dua jenis alat tulis bagi kaum tunanetra. Mesin ketik Braille, yang berkecepatan 66 huruf per menit, berharga Rp 500-750 ribu. Sedangkan alat bantu yang lebih sederhana, slate, berharga Rp 7-12 ribu. Tapi, slate hanya dapat digunakan untuk membuat 24 huruf per menit. Lambannya penulisan dengan huruf Braille bisa dimaklumi. Sebab, setiap huruf dibuat dari kombinasi enam tusukan jarum. Adalah dengan meraba tonjolan pada tiap titik, orang buta dapat mengetahui huruf apa yang dimaksud. Nah, slate yang lebih sederhana itu, sebenarnya hanyalah berupa dua lempengan logam berukuran 20 x 8 cm, yang dilengkapi lubang-lubang, dan dihubungkan dengan engsel. Untuk menulis, selembar kertas tebal, misalnya karton manila, diletakkan di antara kedua lempeng logam itu. Lalu, dengan menggunakan jarum khusus, huruf-huruf dibuat dari kanan ke kiri. Bila ingin membaca, karton dibalik hingga tonjolan yang tercetak dapat diraba. Kombinasi enam tonjolan pada tiap huruf ini mempunyai 63 makna, tergantung di mana tusukan di lakukan. Bila yang digunakan mesin ketik Braille, tonjolan tadi dibuat dengan menekan enam tombol yang tersedia. Dan, hasil ketikannya tetap berupa tusukan. Untuk mengetik dengan mesin ini, biasanya dibutuhkan dua tangan. Karena jari satu tangan manusia cuma lima, 'kan? Nah, dalam soal inilah mesin buatan Mizan menonjol keunggulannya. Sebab, kedudukan tombol dibuat berdempetan sedemikian rupa, sehingga pemakainya dapat mengetuk 1, 2, atau 3 tombol secara bersamaan. Caranya, kalau cuma butuh satu tusukan cukup menekan si tombol untuk satu tusukan. Jika butuh dua tusukan, tekan perbatasan dua tombol, dan perbatasan tiga tombol untuk tiga tusukan. Kelebihan lain, pengetikan bisa dilakukan dengan dua jari saja. Pengetikan dengan satu tangan ini, menurut Mizan, menyebabkan seorang penulis huruf Braille dapat mengetik lebih cepat. Soalnya, satu huruf hanya membutuhkan ketukan dua jari, sehingga tangan yang lain dapat digunakan untuk membacanya. Selain itu, ukurannya, berupa kotak persegi 5 x 9 x 32 cm, adalah seperlima dari mesin ketik Braille. Sedangkan harganya sekitar Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per buah. Wajar kalau tim penguji melontarkan pujian kepada Mizan. "Biasanya, para mahasiswa menyesuaikan desainnya dengan selera konsumen. Tapi, Mizan tidak," kata Drs. Yusuf Effendi, 49, salah seorang dosen penguji. "Ia malah membuat alat tulis untuk membantu para tunanetra. Ini jelas harus dihargai," tambah Yusuf. Apalagi, tambah Yusuf, Mizan membuat rancangannya hingga menjadi prototype siap pakai. Mahasiswa lain biasanya selesai pada pembuatan model. Tapi, bukan berarti produk Mizan sudah sempurna. Iryanto, sarjana muda IKIP Bandung, yang tunanetra, setelah mencoba alat buatan Mizan berkomentar, "Memang alat ini lebih praktis dan lebih cepat. Sayangnya, tidak terdapat tanda bel setiap mencapai ujung baris tulisan." Selain itu, mutu komponen pun harus diteliti lagi sebelum dapat diproduksi masal. "Misalnya, apa kawat baja yang dipakai sudah memenuhi syarat," kata Imam Buchori Zainuddin, Kepala Kelompok Bidang Keahlian Desain Produk Industri Fakultas Seni Rupa ITB. Mungkin karena itu Mizan cuma dapat nilai B untuk yudisiumnya. Bambang Harymurti, Laporan Aji Abdul Gofar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini