NEGERI Belanda mengeluh kelebihan sumber daya. Lho? Yang satu ini memang lain: limbah ternak. Mereka kebingungan karena industri ternak mereka "menelurkan" limbah yang mengganggu lingkungan. Di India dan Afrika orang memanfaatkan tahi kerbau dan sapi. Dibulat-bulatkan, lalu digepengkan, dan kemudian dikeringkan. Bukan, ini jelas bukan kue. Tahi kering itu dipakai sebagai bahan bakar. Dan itu, hanya bisa dilakukan oleh masyarakat yang kesrakat. Seorang teman terkejut ketika keluar dari bandara Schiphol dan mencium bau tahi ternak yang sengit bukan kepalang. Dan, itulah gangguan lingkungan terbesar yang terjadi. Ada orang yang secara usil mengusulkan. "Mari kita tumpuk semua limbah ternak itu untuk membuat gunung." Ide cemerlang. Soalnya, Negeri Belanda memang sangat rata dan tidak bergunung. Tetapi, masa gunung tahi? Ada juga yang cemerlang pikirannya. Di Indonesia gagasan seperti itu pasti bernama pemerataan. Karena yang kelebihan limbah ternak hanyalah bagian selatan Negeri Belanda, maka anak pintar ini lalu "mengekspor" limbah ternak ke bagian utara sebagai pupuk. Bisnis tahi ini, ternyata, boleh juga. Kita memang sedang membicarakan kelebihan dan bagaimana membuat kelebihan yang mengonggok itu menjadi rata. Malaysia mempunyai terlalu banyak industri. Pasar lokal tak mampu menyerap semuanya, sedang pasar internasional pun sedang dipagari bermacam-macam mekanisme proteksi. Lalu, Malaysia berpikir: mari memperluas pasar dengan memperbesar angka dasar kependudukan, mari bikin anak-anak untuk mengayu hayuning Malaysia. Swiss, misal yang lain, hanya punya empat juta penduduk. Ia juga sangat banyak bergantung pada pasar ekspor. Lalu, pisau tentara Swiss diekspor ke mana-mana, begitu juga keju Gruyerre yang lezat itu. Tetapi, di negara sekecil Swiss itu ternyata terdapat tiga perusahaan telekomunikasi yang memproduksi perangkat telepon dan sebangsanya. Untuk memeratakannya tak banyak pilihan tersedia: membunuh yang dua, atau menggabungkan ketiganya menjadi satu. Khususnya di bidang telekomunikasi, alternatif kedualah yang kelihatannya menjadi kecenderungan. Pasar telekomunikasi kini dihadang dilema: terlalu banyak penjual, sedangkan pembelinya kurang. F.C. Kuznik, Vice President Marketing AT&T and Philips, seusai ceramahnya di Jakarta dalam rangka pameran Intertelec, dua minggu yang lalu, mengatakan bahwa pada saat ini perusahaan telekomunikasi yang punya pangsa pasar di bawah 8% sulit melanjutkan eksistensinya. "Karena itu, sebaiknya mereka bergabung saja," kata Kuznik. AT&T, perusahaan terbesar di Amerika, dan Philips di Negeri Belanda, tidak berada pada kondisi terjepit dalam pangsa pasar yang kecil itu ketika mereka memutuskan untuk menggabungkan aktivitas mereka di bidang telekomunikasi pada 1984. Bersama-sama, mereka kini memegang 26% pasar duma telekomunikasi - terbesar di atas perusahaan-perusahaan lain. "Dalam beberapa tahun terakhir ini tampak nyata munculnya kebutuhan merasionalisasikan bidang industri telekomunikasi dalam rangka mencukupi permintaan yang makin canggih dari para pemakai jasa," kata Kuznik. Rasionalisasi itu, terutama, dituntut setelah terjadi "revolusi digital". Digital, yang menggeser sistem elektromekanik, banyak membawa implikasi baru. Yang paling penting, kebutuhan dana investasi berlipat ganda, dan menurunnya kebutuhan tenaga kerja di bidang manufakturing. Pendeknya, daur kehidupan produk teknologi tinggi juga mengubah pasar yang semula dimonopoli secara total, menjadi pasar dengan situasi persaingan yang ketat. Dan itu - mau tak mau - harus dicapai dengan usaha yang terkonsentrasi. Apalagi, dengan praduga dan ketakutan kepada konglomerasi, terasa agak janggal cara berpikir ini: bersatu padu untuk memeratakan pengadaan produk dan jasa yang diperlukan konsumen. Kita, ternyata, memang sering terjebak dalam semboyan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini