Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Reaktor Biogas Kantong Plastik

Harga reaktor biogas buatan startup asal Jember, Jawa Timur, ini diklaim bisa separuh harga reaktor konvensional. Menjuarai kompetisi global di bidang energi yang diikuti 19 negara.

14 Desember 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kotoran hewan menjadi persoalan besar peternak sapi perah seperti Zaini di Desa Ringintelu, Kecamatan Bangorejo, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Tiap hari, seekor sapi bisa menghasilkan 20-25 kilogram kotoran yang menumpuk di sekitar kandang. Zaini kian kerepotan bila lahan penampungan sudah tak ada, sehingga ia harus menyewa pikup untuk membuangnya. Masalah tetangganya itu melatari upaya Izza Auliya Amukholidi dan teman-temannya, alumnus Program Studi Teknik Energi Terbarukan Politeknik Negeri Jember, mengembangkan reaktor biogas yang harganya terjangkau bagi peternak.

Reaktor biogas itu dinamai BioPE, yang merupakan kependekan dari biogas polyethylene. Sesuai dengan namanya, reaktor ini terbuat dari plastik tebal polyethylene (PE). BioPE adalah salah satu produk perusahaan rintisan Jember Futura Energi (JFE) yang Izza dirikan bersama Abdau Zidni, Rahayu Dwi Agustin, Arifatul Kamila, Mohammad Fadil Luqman, dan Febi Romana Devi. Harga BioPE ini bisa separuh dari reaktor biogas konvensional yang menggunakan beton, ujar Izza, yang menjadi Chief Executive Officer JFE.

Sebagai perbandingan, harga per meter kubik reaktor biogas berbahan beton antara Rp 2,5 juta dan Rp 3 juta. Adapun reaktor yang terbuat dari serat kaca, kata Izza, lebih mahal lagi. Kalau BioPE Rp 1-1,5 juta per meter kubiknya, ujar Izza, 24 tahun, saat ditemui di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, Kamis, 5 Desember lalu. Harganya tergantung kondisi lapangan karena proses instalasi pun berbeda.

Reaktor BioPE ini pula yang mengantarkan JFE menjadi pemenang pertama Shell LiveWIRE Top Ten Innovators Awards 2019 yang diumumkan pada 18 November lalu. Ini adalah kompetisi global di antara para alumnus Shell LiveWIRE—program investasi sosial Shell International yang memberikan pendampingan bisnis dan manajemen serta konsultasi teknis kewirausahaan kepada kaum muda berusia 18-35 tahun. Tahun ini terdapat 98 aplikasi dari 19 negara yang ikut kompetisi dalam tiga kategori.

Reaktor BioPE berbentuk tabung berdimensi panjang 4 meter dan diameter 2 meter yang membutuhkan lahan seluas 6 x 3 meter. Menurut Abdau Zidni, reaktor harus ditanam secara horizontal di tanah dengan menyisakan sepertiga bagian di atas permukaan tanah. Agar proses fermentasi oleh bakteri lebih optimal. Kalau mau diberi atap, sebaiknya yang transparan agar sinar matahari tak terhalang, ujar Abdau, yang menjadi Chief Technology Officer JFE.

Izza mengatakan BioPE kini sudah terpasang enam unit di Kabupaten Banyuwangi dan satu unit di Mamuju Tengah, Sulawesi Barat. Reaktor BioPE yang paling kecil berukuran 10 meter kubik, yang bisa mengolah limbah peternakan dengan 5 ekor sapi atau 100 kilogram kotoran hewan per hari. Reaktor akan menghasilkan gas metana setelah 30 hari pertama masa fermentasi. Setelah itu, volume gas metana yang dapat dipanen per hari setara dengan 1 kilogram elpiji. Reaktor juga menghasilkan slurry atau pupuk cair 150 liter per hari.

Menurut Anita Setyorini, Social Investment Manager PT Shell Indonesia, BioPE sebagai pemenang pertama mendapat hadiah US$ 20 ribu (sekitar Rp 280 juta) dan menyisihkan 15 aplikasi di kategori energi dan mobilitas lainnya karena menemukan solusi inovatif yang mempromosikan ekonomi sirkular. Bisnis JFE ini bisa dikatakan full circle karena memberi solusi yang sangat lokal, lalu mengolah limbah menjadi energi serta pupuk, dan solusi tersebut mudah diakses oleh peternak, ujar Anita.

Izza memberikan contoh ekonomi sirkular yang diciptakan BioPE. Peternak, kata dia, memberikan pakan ke sapi, yang sebagian besar berupa batang jagung yang merupakan limbah setelah petani memanen jagungnya. Dulu sebagai imbalan peternak memberikan susu, sekarang slurry yang diberikan ke petani, ujar Izza. Ada perputaran pemanfaatan limbah. Batang jagungnya dimakan sapi, lalu kotoran sapi menjadi pupuk untuk tanaman jagung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus