Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Divisi Nefrologi di Departemen atau Kelompok Staf Medis Nefrologi Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit dr. Hasan Sadikin Bandung, Dany Hilmanto, mengatakan rumah sakit tersebut sejauh ini menangani sepuluh anak yang mengalami gangguan ginjal akut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Penyebab penyakit yang misterius kini sedang diteliti, sementara penanganan oleh dokter mengikuti pedoman dari Kementerian Kesehatan. “Kalau ditangani secara dini, biasanya bisa baik kembali,” kata Dany, Senin, 17 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Ketua Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Barat itu mengatakan masyarakat tidak perlu panik. Jika ada anak yang mengalami demam, batuk, pilek, dan ada diare setelah satu minggu, maka harus berobat ke dokter. “Fasilitas kesehatan juga akan memeriksa kreatinin. Jika kreatinin cenderung tinggi, maka anak harus dirujuk dan dirawat,” ujarnya.
Dany mengatakan sejauh ini belum banyak laporan soal gangguan ginjal akut pada anak ini dalam publikasi ilmiah internasional. Sebaran kasusnya disebut sporadik, hanya di tempat-tempat tertentu. “Sehingga kita masih perlu investigasi lagi,” kata dia.
Pada beberapa laporan kasus diketahui penyakit itu menyerang pada kalangan anak berusia kurang dari 18 tahun. Paling banyak usianya kurang dari enam tahun. “Semakin muda anaknya atau bahkan bayi, itu lebih berat,” kata Dany.
Fungsi ginjal secara umum untuk melakukan filtrasi atau penyaringan, penyerapan kembali, dan melepaskan beberapa hormon. Ketika ada gangguan fungsi ginjal, pasien biasanya datang dengan keluhan kurang atau tidak keluar kencing, walaupun pola minum airnya normal. Karena gangguan ginjal itu, air menumpuk dalam darah, sehingga tubuh anak menjadi bengkak, misalnya pada mata, perut, dan tungkai.
Gejala seperti itu tidak ditemukan pada kasus sakit ginjal pada anak sebelumnya yang telah diketahui penyebabnya karena infeksi bakteri, diare, atau penyakit pada ginjalnya. Keterlambatan penanganan bisa membuat pasien harus menjalani cuci darah, yang berdampak pada organ lain. Perburukan kondisi bisa membuat pasien meninggal dunia.
Sementara itu, Guru Besar dalam Ilmu Kesehatan Anak di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil, mengatakan salah dosis atau kebanyakan minum semua jenis obat akan menyerang ginjal. “Bukan hanya satu obat, misalnya parasetamol, antalgin, antibiotik tidak sesuai dengan aturan dokter, ginjal juga bisa rusak,” kata dia. Adapun semua obat yang sudah dijual bebas sudah diuji coba dan aman.
Sama seperti membuat vaksin, menurut Kusnandi, pembuatan obat punya beberapa fase. Tahap pertama diberikan pada binatang. Setelah aman, ke fase dua, yaitu uji coba dosis pada manusia. “Kalau tidak ada efeknya, diteliti di banyak negara pada fase tiga. Hasilnya harus sama, baru boleh obat itu dijual,” ujarnya. Selanjutnya, konsumen harus mempertahankan obat dalam kondisi bagus dengan penyimpanan yang benar dan mencegah obat terkontaminasi.