CEPAT ternyata bukan segalanya. Paling tidak, begitulah yang terbukti dari medan perang Malvinas, April 1982 lalu. Dalam duel udara antara penerbang Argentina dan Inggris ternyata skornya 22-0 untuk Inggris. Padahal, pilot dari negeri Pangeran Charles itu menggunakan pesawat terbang Sea Harner yang kecepatannya separuh pesawat Mirage milik Argentina. Mengapa ? Tentu saja bukan cuma kualitas penerbang yang menyebabkan Inggris sukses besar di Malvinas. Kemampuan pesawat yang digunakan turut menentukan kemenangan Inggris. Sementara itu, pesawat Argentina saat itu lebih dipersenjatai untuk menenggelamkan armada Inggris. Selain itu, pesawat Argentina tak punya cukup bahan bakar untuk berduel terlalu lama di atas Malvinas. Karena skornya sangat telak, maka bisa dlkatakan bahwa kualitas pesawat yang dimiliki tentu juga punya peran penting. Persoalannya barangkali karena kecepatan tinggi memang tak banyak manfaat dalam duel udara, kecuali -- tentu saja -- untuk kabur atau menyusup tiba-tiba. Sebab, pengalaman di Malvinas membuktikan bahwa pertempuran udara umumnya dilakukan pada kecepatan 450-700 knot saja. Walhasil kelincahan melakukan olah gerak pada kecepatan itu yang jadi penting. Antara lain pelajaran inilah rupanya yang menyebabkan British Aerospace mengembangkan konsep SABA (Small Agile Battlefield Aircraft) untuk melawan kekuatan udara musuh. Terutama untuk menghadapi helikopter, rudal jelajah, dan juga pesawat supersonik untuk pertempuran pada ketinggian rendah. Karena dirancang sebagai pelindung kekuatan darat, SABA didesain untuk memenuhi beberapa persyaratan tertentu. Antara lain mampu mengudara dari landasan tanah sepanjang sekitar 300 meter, mampu berbelok 180 derajat dalam 5 detik, dapat mencapai kecepatan 740 km/jam, sanggup mengudara terus-menerus selama 4 jam dan sangat lincah. Untuk memenuhi kriteria di atas, SABA akhirnya berbentuk agak aneh, sayap utamanya terletak menjorok di belakang dan berlainan dengan umumnya pesawat terbang -- mengarah ke depan. Untuk mengimbanginya, di depan sayap utama diletakkan tiga sayap kecil (canard), yakni sepasang di samping dan satu di bagian bawah. Kehadiran canard ini memungkinan pesawat mengadakan olah gerak yang aneh-aneh tanpa mengalami risiko stall (rontoknya pesawat karena tiba-tiba kehilangan daya angkatnya sebagai akibat olah gerak tertentu). Kelincahan ini tentu harus didukung pula oleh daya dorong mesin yang cukup kuat. Dan para pakar British Aerospace memilih mesin jenis turboprop untuk SABA. Tapi bukan sembarang turboprop, melainkan dari jenis terbaru, yaitu jenis berbaling-baling terbuka. Direncanakan baling-baling berbilah 12 atau 18 akan terpasang di ekor dan terdiri atas dua buah yang berputar berlawanan. Penempatan mesin di ekor ini juga merupakan faktor penyumbang bagi kelincahan garak pesawat. Dengan mesin yang bertenaga sekitar 3.500 kW ini diharapkan pesawat berbobot sekitar 2,5 ton ini akan mampu membawa sistem persenjataan seberat hampir 2 ton. Sistem senjata itu kemungkinan besar berupa enam rudal jarak pendek antipesawat, AIM-9L, atau ASRAAM (Advanced Short Range Air to Air Missile) dan sebuah kanon 25 mm dengan 150 peluru. Persenjataan ini, sebenarnya, tak banyak bedanya dengan persenjataan yang dibawa oleh pesawat tempur lainnya. Yang berbeda adalah banyaknya kesempatan untuk membidik dan menembakkan. Pasalnya, kendati sistem persenjataan ini sangat canggih, toh tetap harus diarahkan ke sasaran. Artinya, sasaran harus ada di depan pesawat. Dalam hal inilah SABA unggul. Kemampuannya untuk membelok lebih tajam membuatnya memiliki lebih banyak kesempatan membidik dan menembak ketimbang pesawat biasa. Jangankan helikopter, pesawat tempur unggulan AS, F-16, pun SABA sanggup mengimbangmya. Tapi itu 'kan rencana para perancangnya yang harus dibuktikan ketika pesawat itu sudah diproduksi di tahun 1990-an nanti. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini